This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 Agustus 2025

JAGAT ARWAH (2022)

                                   JAGAT ARWAH (2022)

Entah pembuka apa yang harus saya tuliskan, pikiran saya buntu, bingung hendak mulai dari mana, menyaksikan Jagat Arwah dan kemudian menulis ulasan untuknya adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan. Ada perasaan percaya tak percaya mengingat filmnya berda di bawah Visinema Pictures yang selalu melahirkan film-film berkualitas, harapan saya terhadap filmnya pun demikian, sebagaimana Mencuri Raden Saleh memberikan variansi genre baru di khasanah perfilman tanah air, Jagat Arwah adalah horor sarat akan unsur fantasi dengan beragam mitologi yang jelas penuh potensi.

Pembukanya tampil mencolok, di mana sebuah epilog dengan visualisasi animasi tampil memukau, saya tengah menyaksikan sebuah film superhero bukannya horor. Setelahnya, sebuah adegan tampil tampak menjanjikan di sebuah museum sarat akan unsur mistisme dan sebuah guillotine ditampilkan, membawa sebuah kesan berbeda. Keinginan untuk menyaksikan hal serupa seketika runtuhnya tatkala Jagat Arwah perlahan mulai menampakkan sisi aslinya.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan protagonis utamanya yang bernama Raga (Ari Irham), anak muda yang bermimpi untuk menjadi seorang musisi yang terkendala akibat restu sang ayah, Sukmo (Kiki Narendra) yang dengan santai menyebut Raga belum siap. sama seperti kebanyakan remaja masa awal umumnya, Raga jelas marah, hingga kematian sang ayah membuka sebuah fakta baru: Raga adalah wangsa Aditya ke-7.

Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.

Ditulis naskahnya oleh Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) berdasarkan ide milik Mike Wiluan (Buffalo Boys), Jagat Arwah seharusnya memberikan sebuah pengenalan bagi sang protagonis dalam masa perjalanannya, yang sekali lagi lalai dijabarkan. Demikian pula dengan penyutradaraan Ruben Adrian yang dalam debut perdananya kurang piawai atau malah belum berpengalaman mengemas sebuah spektakel yang berkesan, terutama dalam budget-nya yang sulit untuk Disebut kecil.
Padahal premis dan idenya menarik, unsur klenik, mitos hingga fantasi dikawinkan secara bersamaan. Pun kepercayaan suku Jawa mengenai sedulur papat limo pancer turut disinggung, yang hanya berakhir sebagai pernak-pernik semata, nihil kontuniti maupun kontribusi.


Jagat Arwah memiliki tiga demit yang ditampilkan secara berbeda, ketimbang keseraman, kehadirannya lebih tepat sebagai wali. Mereka adalah Nonik (Cinta Laura Kiehl) si penyembuh, Kunti (Sheila Dara) yang memiliki kekuatan telekinesis hingga Dru (Ganindra Bimo) sang petarung. Yang ketiga jelas layak diberikan kisah lebih, yang justru tak pernah disinggung oleh naskahnya yang terlampau acuh mengembangkan karakteriasi. Saya bahkan belum menyebut sosok hollow yang sempat eksis di layar sebagai salah satu film antagonis ini.




INANG (2022)

INANG (2022)

Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya sangat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Demikian pula, seperti difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang pengaturan tempat jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dimiliki beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tidak memberikan perubahan.

Mengedepankan horor-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI buatan (monster di Creature 3D lebih baik dibandingkan ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.

Barisan karakternya pun demikian, di buat atas pelengkap dasar tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug Ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.

Mereka adalah pasangan orang tua, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou) yang semenjak kedatangan Wulan telah menunjukkan kasih sayangnya. Mudah memahami kenyamanan yang dirasakan oleh Wulan, meski penonton kita tahu bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kebaikan kedua orang tua tersebut. Dari sini sebuah ironi dramatis diterapkan, yang mana membawa narasinya perlahan tapi pasti menggiring penonton masuk ke sebuah rumah misteri, sebagaimana tikus yang bersamaan dengan kedatangan Wulan yang terperangkap dalam kurungan.

Penyutradaraan Fajar Nugros pun demikian, ia tengah bersenang-senang dengan sebuah mode menunggu malapetaka yang akan datang yang secara cermat ikut melempar sebuah semiotika maupun metafora lain (tikus, bubur, patung harimau, bunga) yang berjasa besar bagi filmnya untuk dekat ke ranah art house, meskipun beberapa di antaranya acap kali terlihat gamblang, namun itu bukanlah sebuah masalah selama penerapannya tak salah sasaran.

Horornya sendiri bermula dari sebuah ketidaknyamanan yang sepanjang durasi perlahan disibak kebenarannya, favorit saya adalah tatkala Nugros menampilkan sebuah adegan mimpi yang tampak surealis. Tak selamanya tampil kelam, Nugros yang berpengalaman menjajal drama hingga komedi turut menyelipkan elemen kegemarannya secara tersirat, itu berasal dari deretan dialog-dialog tanpa saringan hingga beragam kata-kata umpatan yang membuat filmnya terasa dekat dengan penonton. Bahkan, Naysilla Mirdad dalam debut layar lebar perdananya pun tampak menikmati melontarkan dialog yang berkebalikan dengan citra dirinya sebelumnya.

Paruh pertama Inang adalah sebuah introduksi yang seketika menggaet atensi lewat kedekatan personalisasi menengah ke bawah masyarakat yang menampilkan apa adanya, menggambarkan sebuah horor dalam realita guna menunjang kehidupan yang tak selalu sesuai keinginan. Inang juga pula menyinggung perihal male gaze melalui karakter yang dimainkan secara dijanjikan oleh Totos Rasiti sebagai bos Wulan dan Nita. Sayang, menjelang pertengahan hingga akhir, elemen tersebut kian terlupakan, seakan Nugros mengambil mode auto pilot secara dadakan.

Inang adalah sebuah folk-horror yang terkadang tak konsisten perihal pemanfaatan rebo wekasan, mampu memberikan sebuah teror berkesinambungan, teror yang tak selalu melulu berwujud setan selain sosok yang lebih nyata di mana kelicikan dan tipu daya kerap dijadikan senjata bagi mereka untuk penguasa yang berdiri di atas nama 'kepemilikan'.

Di pertengahan kita sempat diperkenalkan dengan Bergas (Dimas Anggara), putra semata wayang Eva dan Agus, yang meski penampilan Dimas Anggara memang layak dipuji (terutama ketika momen konfrontasi), sedikit meninggalkan cela tatkala kehadirannya bahkan mengambil alih cerita, menjadikan karakter Wulan sebagai seorang damsel in distress setelah sebelumnya ditampilkan penuh perlawanan. Memang kontradiktif, meski tak sampai mengurangi hasil akhirnya.
Konklusinya tampil layak, meski terkadang ada sebuah potensi untuk bisa tampil lebih. Saya menyukai adegan akhirnya, meskipun terkait adegan mid-credit miliknya bisa saja tampil sebagai pisau bermata dua (meski saya sendiri dapat dengan jelas memenuhi tujuan), Sekali lagi adalah horor yang cukup memuaskan dari seorang Fajar Nugros yang masih belum sepenuhnya berpengalaman. Meski terdapat beberapa kekurangan, kepekaan esensi semakin menegaskan bahwa semuanya bukan tanpa alasan, ada sebuah hukum kausalitas yang sulit untuk dijelaskan, terutama jika sudah mengancam kekuatan alam.

JUDAA HOKE BHI (2022)

 JUDAA HOKE BHI (2022)

Keseraman Raaz (2002) mungkin telah luntur semenjak banyaknya horor yang menampilkan degradasi ketakutan dalam cara yang berbeda. Namun, bagi seorang Vikram Bhatt, sutradara kawakan yang rutin menelurkan tontonan horor di luar franchise Raaz, masih merasa bahwa trik tersebut dirasa ampuh. Saya sudah khatam dengan horor buatannya di belakangan ini, yang seperti pada umumnya ia bekerjakan, Judaa Hoke Bhi pun tak ayal merupakan satu lagi horor dengan cita rasa yang sama. Tidak lebih.

Aman (Akshay Oberoi) adalah seorang penyanyi yang beralkohol. Hubungannya dengan sang istri, Meera (Aindrita Ray) kian merenggang, terutama setelah kecelakaan yang mengecewakan putra mereka. Dengan finansial yang buruk, Meera kemudian menerima tawaran untuk menulis otobiografi Siddharth Jaiwardhan (Meherzan Mazda) dan pergi ke Uttrakhand selepas mengetahui sang suami yang sudah sadar dari koma, ternyata masih mengulanginya dengan menyelundupkan alkohol.

Ditulis secara keroyokan oleh Mahesh Bhatt, Shwetha Bothra, Aman Puranik dan Suhrita Sengupta, Judaa Hoke Bhi memulai paruh pertama dengan menampilkan nomor musikal, meneruskan kebanyakan film Vikram Bhatt sebagai salah satu film dengan soundtrack yang dengan cepat mudah diterima. Poin plus ini sayangnya tidak didukung oleh narasi yang mumpuni, yang keberadaannya sebatas melempar teori tanpa pernah benar-benar memahami akan esensinya itu sendiri.

Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya sangat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Demikian pula, seperti difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang pengaturan tempat jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dimiliki beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tidak memberikan perubahan.

Mengedepankan horor-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI buatan (monster di Creature 3D lebih baik dibandingkan ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.

Barisan karakternya pun demikian, di buat atas pelengkap dasar tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug Ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.


CAPTAIN (2022)

 CAPTAIN (2022)

Menyandang status sebagai satu lagi film lokal hasil remake sineas Korea Selatan, Kalian Pantas Mati yang merupakan adaptasi resmi dari Mourning Grave (2014) kembali unjuk gigi dalam menampilkan remake yang pantas, bahkan di beberapa lini mampu menandingi film aslinya. Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio (Miracle in Cell No. 7, 12 Cerita Glen Anggara, Ranah 3 Warna) melakukan beberapa modifikasi (yang jadi keunggulan film ini adalah mengganti kalung liontin dengan gelang akar, yang mana lebih dapat diterima), meski secara secara masihlah sebuah remake yang setia pada materi aslinya.

Rakka (Emir Mahira, yang kembali menjajaki dunia akting selepas 9 tahun hiatus) adalah remaja yang kerap terganggu oleh kemampuan indigo miliknya yang kerap memicu teman sekelnya menyebut sebagai seorang yang aneh, perundungan pun kerap dialami olehnya, itulah mengapa ia memutuskan pindah dari Jakarta ke Bogor karena merasa jengah dengan apa yang dialaminya. Keputusan untuk pindah pun rupanya tak memberikan sebuah perbedaan, kali ini Rakka masih menjadi korban pengganggu bahkan kembali diikuti oleh seorang hantu tanpa identitas (diperankan oleh Zee JKT48, yang dalam debut perdanya tampil begitu natural dan menyenangkan).

Lambat laun, Rakka dan sang hantu remaja tersebut mulai menampilkan sebuah kedekatan, dari sini Kalian Pantas Mati mulai menjajaki ranah romansa, yang mungki tampil tak mendekati sumber aslinya, menyampaikan ke sebuah adegan yang melibatkan payung dan guyuran hujan. Namun, itu bisa dipahami, mengingat fokus utama sang sutradara, Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki, Lukisan Ratu Kidul) bukanlah itu, melainkan horor supernatural dengan sentuhan pedang yang tak segan menambah kadar darah.

Ya, Ginanti kembali pada mode kesukaannya, yang meski di tampilkan secara off-screen (sehingga mendapat rating 13+ tentunya) setidaknya diperlihatkan dampak atas apa yang dilakukan maupun terjadi setelahnya. Dibantu scoring hasil gubahan Ricky Lionardi (Danur Universe), teror yang terjadi di Kalian Pantas Mati mengamini judulnya, menampilkan balasan setimpal terhadap mereka para pelaku perundungan.

Berbicara mengenai isu perundungan miliknya, Kalian Pantas Mati mampu menyulut kebencian terhadap pelaku sang, meski karakterisasi mereka teramat dipahami untuk dijadikan karakter antagonis. Pun, kita sempat melihat sang hantu menghukum pihak guru sebagai pelestari perbuatan tersebut, dan lagi-lagi motovasinya teramat halus, film aslinya lebih tegas terkait ini.

Mourning Grave ikonik dengan hantu bermasker, pun tampilan yang direplikasi oleh Kalian Pantas Mati tak kalah menyeramkan dengan janji janji (beberapa hantu lainnya pun tampil demikian), favorit saya adalah adegan yang melibatkan gunting, seolah menyatakan bahwa ancaman yang dilakukan tak segan-segan dalam memberikan sebuah pertempuran.

Tentu, semuanya takkan berjalan andai tak disokong oleh performa yang berjanji, Emir Mahira membuktikan bahwa keabsenannya di dunia peran tak mengubah performa olah rasa miliknya, sementara sebagai pendatang baru, Zee JKT48 melahirkan sebuah performa yang jauh dari kesan buruk, Zee dengan mudah dapat menjadi idola baru, selama ia jeli memilih peran kedepannya.
Paruh ketiganya jadi puncak rentetan teror yang dilipatgandakan, meski saya sendiri sedikit terganggu dengan konklusinya yang terlalu memberikan tumpang tindih dalam menjawab apa yang terjadi. Setidaknya, Kalian Celana Mati masih merupakan tontonan yang akan memuaskan target segmentasinya (para remaja) sambil memberikan pesan terkait perundungan yang masih sangat relevan terjadi di masa sekarang. Senang, melihat Ginanti Rona akhirnya kembali ke jalan yang seharusnya mewadahi kegemaran dan kesukannya dalam menampilkan sebuah mode brutal dan tak segan menumpahkan darah.


CAPTAIN (2022)

CAPTAIN (2022)

Sutradara sekaligus penulis Shakti Soundar Rajan dikenal sebagai salah satu film asal Tamil yang selalu membawakan genre baru khas hollywood untuk kollywood. Miruthan (2016) adalah film Tamil dengan genre invasi zombie pertama, Tik Tik Tik (2018) adalah sains-fiksi ilmiah pertama hingga Teddy (2021) yang sarat inspirasi akan Ted (2012). Captain adalah film Tamil dengan genre alien-invasion yang sarat akan inspirasi akan Predator (1987). Bahkan tak cukup sampai di sini, proyek Rajan selanjutnya yang berjudul Naaigal Jaakirathai disebut sebagai film Tamil pertama yang menampilkan anjing sebagai pemeran utama.

Saya selalu menyukai bagaimana sinema Hindi gemar mengeksplorasi hal-hal baru yang tak segan untuk tak menahan sesuatu. Kapten memang mempunyai semangat itu, meski sebuah lubang menganga terkait narasi yang murni sebagai tontonan dengan terdapat pesan terkait lingkungan yang terasa dipaksakan. Itulah mengapa pertunangan perdana menjanjikan hal serupa, meski setelahnya diisi oleh sebuah pengadeganan yang terlampau panjang untuk sekadar menceritakan karakterisai tokohnya.

Protagonis utama kita bernama Vetriselvan (Arya), seorang kapten yang ditugasi untuk menangani kasus teroris. Sebuah kejadian yang menimpa beberapa tentara tatkala mereka mulai memsuki hutan di sekitar sektor 42. Kejadian yang sulit dijelaskan nalar dan diterima para anggota sekaligus kapten di dalamnya.

Keerthi (Simran) yang ingin melakukan penelitian sekaligus mencari jawaban meminta bantuan Vetriselvan, yang meski telah dicap sebagai pembelot atas pembelaan yang ia lakukan terhadap Karthi (Harish Uthaman), kapten sekaligus sahabatnya yang menjadi penjahat pasca melakukan kunjungan ke sektor 42. Kini, giliran Vertriselvan dan para anggotanya untuk mencari kebenaran atas apa yang terjadi sekaligus membersihkan nama sang sahabat.

Membutuhkan waktu sekitar 50 menit guna penonton diajak masuk ke sebuah hutan bersama Vetriselvan, yang mana pada kunjungan pertamanya pun merasakan kegelisahan akibat keputusan yang berakhir pada sebuah kegagalan. Perkenalan yang seharusnya bisa memberikan pengalaman yang mengesankan justru berakhir pada sebuah kekecewaan, sementara kita malah dijejalkan oleh beragam bahasa sains guna memahami sang monster.

Minotaur. Nama monster tersebut disebut, yang menurut Dr. Keerthi mirip dengan makhluk mitologi dari Yunani, tidak memiliki suhu dan dapat mengirimkan sinyal kepada kawanannya. Tentu saja, sebuah sasaran empuk yang haram hukumnya kalua tak dieksplorasi secara lebih, dan Kapten setidaknya memberikan sebuah eksplorasi cukup meski tak sampai tampil dalam taraf yang benar-benar mumpuni.

Kesalahan Captain adalah perihal narasi yang terlampau berbelit-belit, yang akan lebih efektif jika dipangkas dan fokus akan tujuan utamanya yaitu memberikan sebuah hiburan sekelompok manusia yang melawan monster. Itu saja cukup. Ambisi lebih dihadirkan oleh Rajan tatkala filmnya terlampau memaksakan untuk menyampaikan sebuah pesan lingkungan, yang sekali lagi terasa dipaksakan. Terlebih lagi, kala Captain memberikan sebuah twist, yang sedari awal terlalu formulaik dan mudah ditebak pelakunya.

Arya memang tampil tak mengecewakan, meski kali ini karakternya tampil terlalu satu dimensi. Demikian pula dengan Simran, yang memainkan karakter abu-abu namun gagal untuk tampil mengesankan, sementara Aishwarya Lekshmi harus kena batunya, kala karakternya hanya sebatas cameo tanpa diberikan porsi yang benar-benar signifikan.
Keluhan lain ialah berupa penggunaaan efek spesial CGI yang ketara artifisial. Saya takkan membandingkan atau menyalahkan budget yang ditekan, meski cukup mempermalukan tatkala para penonton sudah terbiasa menyaksikan sebuah tampilan efek yang menjanjikan hasil yang kurang memuaskan, terutama saat menampilkan sang monster utama dengan pengambilan gambar di bawah air.

QODRAT (2022)

 QODRAT (2022)

Saya acap kali jengah dengan tontonan menyampaikan religi (baik itu drama, romansa maupun horor) yang sebatas melontarkan ceramah dan dakwah, namun Qodrat adalah menceritakannya. Di tangani oleh Charles Gozali (Nada Untuk Asa, Juara, Sobat Ambyar), materi yang kental akan sarat dakwah dan ceramah dirubah menjadi sebuah sajian yang benar-benar sesuai arah tanpa pernah melucuti esensi utamanya sebagai film religi. Modifikasi pun dilakukan dalam bentuk pengkawinan lintas genre dengan sajian aksi tangan kosong mumpuni, sebagaiaman keunggulan Charles Gozali.

Judulnya sendiri Merujuk pada nama karakter utamanya, Ustadz Qodrat (Vino G. Bastian) adalah seorang ahli rukiah yang tak pernah gagal dalam menjalankan kewajibannya membantu orang lain. Namun, semua itu berkebalikan tatkala ia gagal menyelamatkan sang putera, Alif (Jason Bangun) yang dirasuki iblis bernama Assuala. Layaknya seorang manusia biasa yang mudah putus asa, Qodrat pun kehilangan kepercayaan dan keimanannya kepada Tuhan, bahkan ia tak pernah meminta dibangunkan untuk sholat subuh sementara matanya selalu terbuka.

Setelah kejadian di penjara yang membuatnya mendapatkan remisi, Qodrat kembali ke desa Kober, tempat di mana ia menuntut ilmu di Pesantren Kahuripan yang dipimpin oleh Kiai Rochim (Cecep Arif Rahman) yang kini tak seperti sebelumnya. Kekeringan parah melanda desa, demikian pula dengan para warganya yang kebanyakan dirasuki oleh iblis. Mudah untuk kita menyadari bahwa ada yang tak beres di desa tersebut, pun demikian dengan Qodrat yang masih luntur keimanan dan kepercayaannya akan Tuhan.

Hingga sebuah peristiwa memasksanya kembali ke kodratnya sebagai perukiah tatkala ia tak sanggup menolak permintaan Yasmin (Marsha Timothy), warga setempat yang anaknya dirasuki oleh iblis, terutama setelah Qodrat mendengar bahwa nama anaknya bernama Alif (Keanu Azka Briansyah). Qodrat percaya bahwa dengan menolong Alif, ia akan terbebas dari kegagalannya menyelamatkan sang putera, terutama iblis yang kini ia hadapi pun masih bernama Assuala.

Sedari pembukanya berlangsung, Qodrat tak ragu menarik atensi dengan menampilkan sebuah adegan eksorsisme yang ditangkap oleh kamera Hani Pradigya sedemikian cantik dengan memposisikan penonton sebagai orang ketiga (layaknya bermain video game). Dari sini mulai mencuat bahwa apa yang ditulis oleh Charles Gozali bersama Gea Rexy (Sobat Ambyar, Dear Natahan, Love Reborn) dan Asaf Antariksa (Love Reborn, Naura & Genk Juara the Movie) benar-benar tak main-main, terutama kala menanggulangi unsur religinya yang jika ditilik lebih dalam merupakan manifestasi dari Al-Qur'an itu sendiri.

Charles seolah tak ingin melepas pedal rem tatkala filmnya secara perlahan meningkat mulai, mengeskalasi jump scar (yang meski ada, dan tepat guna) dengan balutan aksi sebagaimana jualan utama filmnya yang tak ragu menampilkan deretan pertarungan tangan kosong yang tampil brilian dan jauh dari mengecewakan. Ini merupakan poin plus film ini, mengingat apa yang ditampilkan oleh Qodrat merupakan sebuah pengalaman yang sangat langka dan harus dirayakan oleh sinema.

Deretan pelakonnya pun sumbangsih dalam memainkan peran. Vino G. Bastian yang debut dalam genre horor akhirnya menemukan apa yang memfasilitasi nada suaranya (pelafalan ayat suci tak pernah semengetarkan ini) sekaligus sebagai superhero bersenjatakan tasbih. Marsha Timothy adalah tandem yang sepadan, lihatlah menampilkan tatkala kerasukan, memancarkan aura mega bintang yang rasanya sulit ditandingi, sementara pujian patut dilayangkan kepada Maudy Effrosina sebagai Asha, anak sulung Yasmin, yang sebagaimana kebanyakan remaja pada umumnya bersifat pemberontak, Maudy menampilkan performa yang likeable pun demikian tatkala ia melakoni adegan drama. Tetapi MVP harus jatuh kepada dua pemeran Alif, Keanu Azka dan Jason Bangun yang kembali menambah jajaran pelakon cilik horor.

Meski sedikit terkendala oleh karakterisasi yang sedikit instan, namun itu tak mengurangi kenikmatan menyaksikan Qodrat di laya lebar, sebuah spektakel yang rasanya sulit didapat belakangan ini. Saya sangat menyukai bagaimana Gozali merangakai adegan yang begitu cantik dan estetis, termasuk itu dalam sebuah adegan pertarungan menjelang konklusi, demikian pula dengan scoring dua suara yang teramat langka, dan memberikan sebuah aftertaste yang sulit ditemukan.

Qodrat merupakan pencapaian tertinggi seorang Charles Gozali yang mempunyai kepekaan tinggi yang amat subtil (adegan mati lampu misalnya) sebuah momen yang sekilas tampak sederhana namun selaras dengan realita pula memberikan sebuah kesimpulan terhadap film horor kebanyakan yang gemar bermain gelap-gelapan dan menghilangkan logika itu sendiri. Qodrat juga merupakan sebuah pembeda walaupun apa yang ditawarkan sejatinya tidak pernah benar-benar baru, namun ia memiliki apa yang sangat diabaikan oleh rekan sejawatnya adalah mengenai struktur.

Struktur yang begitu rapi dan kontuniti hingga mendekati konklusi. Qodrat pun tak lupa memberikan sebuah pemahaman melalui rukiah itu sendiri, rukiah yang bukan hanya sebatas mengucap kebesaran Tuhan, melainkan juga memberikan sebuah pendekatan personal mengenai penerimaan dan perelaan seseorang dalam menanggapi sebuah kehilangan. Dari perspektif “Innalilahi wa inna ilaihi rajiun” seharusnya diterapkan.


RUMAH KALIURANG (2022)

RUMAH KALIURANG (2022)

Sebelum menonton Rumah Kaliurang yang menjadi film debut bagi aktor kenamaan Dwi Sasono bersama Dondy Adrian, saya terlebih dahulu menonton Qodrat di bioskop yang sampai tulisan ini dibuat pun masih menghantui pikiran saya sekaligus bangga bahwasannya film lokal (khususnya horor) di semester kedua semakin menunjukkan tajinya di samping masing-masing tampil variatif. Berdasarkan kepercayaan tersebut, saya kemudian memutuskan untuk menonton Rumah Kaliurang dengan harapan yang sama. Sayangnya, kali ini harapan tersebut bak diputarbalikan.

Premisnya sendiri teramat klise. Sekelompok sahabat (meski saya tak mengerti letak sahabatnya dari mana) yang terdiri dari: Rani (Shareefa Daanish) si wanita baik-baik, Anom (Khiva Iskak) si penakut, Aji (Wafda Saifan Lubis) si kapten, Brama (Randy Pangalila) dan Kinan (Erika Carlina), sepasang kasih yang tengah mesra-mesranya pasca menjalani LDR (Brama adalah pekerja kilang minyak) hingga untuk melakukan liburan ke sebuah pantai, di perjalanan tiba-tiba mobil mereka menabrak sesuatu, meski pada kenyataannya tak ada apapun yang tertabrak dan seketika terjadi di sana.

Kinan kemudian ingin membuang air kecil, ia pergi bersama Brama hanya untuk melakukan maksiat di sebuah rumah besar tak berpenghuni. Yang lain pun ingin mencari mereka dan disinilah teror itu bermula. Mereka terkurung di rumah tersebut dan harus menghadapi beragam bahaya.

Selanjutnya, apa yang terjadi adalah pengulangan dari kompilasi teror yang sama sekali jauh dari kesan seram maupun mencekam. Ditangani naskahnya oleh Husein M. Atmodjo (Midnight Show, Lukisan Ratu Kidul, Mencuri Raden Saleh), Rumah Kaliurang bergerak tanpa arah, semuanya tak beraturan, cukup teriakan para karakternya yang ditampilkan tanpa pernah mencoba menampilkan sumber dari keseraman itu sendiri.

Sebuah keharusan bagi film yang mengangkat legenda urban untuk mencoba menjelaskan asal-usul sumbernya yang justru tak pernah disentuh Rumah Kaliurang sekalipun. Bahkan menyebut namanya pun tak pernah dilakukan. Lalu apa tujuan memasang judul demikian kalau tidak ada sebuah kesinambungan? Mengganti judulnya dengan yang lain pun takkan berdampak.

Selain naskah yang entah maunya apa, Rumah Kaliurang semakin kesulitan tatkala dari segi departemen lainnya ikut mengikuti keruwetan filmnya. Sound mixing yang tanpa saring, transisi alur kasar, kamera yang menangkap semaunya hingga yang paling parah adalah risasan atau efek CGI filmnya yang dibuat dari filter Instagram. Sekali lagi, ada yang maunya Rumah Kaliurang ini?

Deretan pemainnya pun tak cukup membantu, meski Shareefa Daanish terlihat sangat keras menghidupkan karakternya-meski sumbernya sendiri enggan menopang performa sang aktris. Sampai sebuah twist terungkap di paruh akhir, saya hanya bisa menyerah dan pasrah sekaligus mengucap Alhamdulillah bahwa bencana yang berlangsung selama 64 menit ini akhirnya berakhir.