This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 08 Desember 2025

SAMPAI TITIK TERAKHIRMU

 SAMPAI TITIK TERAKHIRMU


Melalui jendela sempit salah satu tokoh utama di malam hari, kita bisa mengintip deretan gedung bertingkat memancarkan benderang kemewahan mereka yang dapat membutakan. Itulah mengapa Sampai Titik Terakhirmu lepas dari kategori eksploitasi murahan. sama seperti normalnya yang menguras air mata, menguras air mata penonton tetap jadi tujuan, tapi pokok bahasan utamanya adalah perihal cahaya harapan di tengah ruang gelap yang sekilas tanpa harap.

Naskah buatan Evelyn Afnilia mengadaptasi perjalanan romansa nyata antara Albi Dwizky (Arbani Yasiz) dan Shella Selpi Lizah (Mawar Eva de Jongh). Penghuni mes tadi adalah Albi, yang merantau dari Medan lalu bekerja sebagai pekerja kasar di perusahaan penyelenggara acara. Meski seorang diri, Albi rutin melakukan panggilan video dengan mamaknya (Tika Panggabean) di kampung. 

Shella tinggal bersama keluarga besar. Didin (Kiki Narendra), ayahnya, bekerja sebagai tukang ojek, sementara Erna (Unique Priscilla), ibunya, merupakan karyawan sebuah usaha penatu. Ada juga dua adiknya, Lydia (Yasamin Jasem) dan Dide (Shakeel Fauzi). Semua sibuk dengan rutinitas masing-masing, termasuk Shella yang aktif bermain sepak bola. Tapi tiap sore, meja makan di bawah tangga jadi ruang sempit yang selalu diisi tawa.

Paruh pertama hangat, bahkan tak jarang menggelitik. Entah karena kegemaran Lydia (Yasamin Jasem piawai menyeimbangkan sisi jahil dan penyayang karakternya) mengusili Dide, atau ocehan-ocehan trio tetangga tukang gosip: Nurul (Tj Ruth), Yeti (Siti Fauziah), dan Mamang Racing (Onadio Leonardo). Semua pemeran pendukung berjasa menjaga tingkat keefektifan humornya. 

Kehangatan itu lalu berkembang jadi romantisme selepas pertemuan Albi dan Shella, lalu jatuh cinta. Kecanggungan Albi yang dibawakan secara dijanjikan oleh Arbani, keceriaan Shella yang dihidupkan oleh Mawar, memudahkan penonton menikmati kebersamaan keduanya. Tidak ada romantika yang dilebih-lebihkan. Hanya dua manusia dari pinggiran kota yang kebetulan menemukan cinta sederhana

Sampai kesenduan mulai menemui kisahnya, sewaktu terbentuknya kista di ovarium Shella. Kista itu membesar, begitu pula berkelim, memberi ilusi seolah-olah ia tengah hamil, yang menyulut pergunjingan di kalangan tetangga. Poin ini penting, sebab jangankan di layar perak, di tatanan keseharian pun, kondisi medis tersebut masih jarang dibicarakan oleh masyarakat awam hingga berpotensi menyulut kesalahpahaman sebagaimana film ini perlihatkan.

Pengobatan demi pengobatan, rangkaian operasi yang tak kunjung usai, semuanya dilakukan namun kanker Shella malah terus memburuk. Dia tersiksa. Begitu pula batin orang-orang di sekelilingnya. Sampai Titik Terakhirmu tentu masih mengikuti beberapa pakem teajerker bertema penyakit kronis yang menyoroti penderitaan tokoh-tokohnya. Tapi yang jadi pembeda, dia menolak berkutat di sana terlalu lama.

Beberapa tetes air mata justru berasal dari pemandangan bernuansa positif seperti potret kebersamaan antar anggota keluarga, kunjungan Shella ke sebuah acara bagi para penyintas kanker, hingga kesediaan fosil kepiluan. Secara khusus saya menyukai interaksi singkat karakter Mamak. Kehadirannya menyimbolkan penyatuan ikatan dua keluarga. 

Di kursi sutradara, Dinna Jasanti tahu batas dalam hal dramatisasi. Bukan asal menumpahkan air mata atau memperdengarkan musik mengharu-biru, ada kalanya Dinna mengutamakan keintiman yang dimotori oleh performa jajaran pemainnya. Tengok saja saat Kiki Narendra dan Unique Priscilla beradu akting di adegan berlatar rumah sakit. Bukan sekadar menangisi penyakit, tapi lubang yang bakal diciptakannya dalam sebuah keluarga penuh kasih.

DREAMS (SEX LOVE)

 DREAMS (SEX LOVE)


Dreams (Sex Love) yang melengkapi trilogi Sex, Dreams, Love karya Dag Johan Haugerud adalah satu dari sedikit film yang dengan sempurna merangkum rasanya jatuh cinta. Dipaparkannya bagaimana otak mempermainkan emosi kita, untuk menstimulasi fantasi bahagia sekaligus kecemasan berdasarkan asumsi pembohong. Lebih dari sekadar romansa, ia membicarakan koneksi antara pikiran dan jiwa.

Johanne (Ella Øverbye), remaja 17 tahun, diam-diam memendam rasa terhadap Johanna (Selome Emnetu) si guru Bahasa Prancis. Haugerud mengajak kita mengobservasi gerak-gerik serta dinamika pikir Johanne yang tengah dimabuk cinta, dengan sesekali membawa alurnya melompat-lompat, menampilkan kilas balik atau visualisasi dari kegundahan batin si remaja. 

Seperti judulnya, film ini terkadang bergerak bak mimpi, atau potongan-potongan memori yang kabur. Kegalauan hati Johanne direpresentasikan. Dia berimajinasi, pula ada kalanya diperdaya ilusi kala memersepsikan keindahan sebagai kepahitan, atau sebaliknya. Senyum malu-malu menampakkan diri kala membayangkannya kulit halus sang guru, sedangkan, tetesan air mata hadir saat menerjemahkan pemandangan sepele sebagai wujud cinta yang melingkari sebelah tangan.

Begitulah jatuh cinta. Kemayaan acap kali mengangkangi kenyataan akibat carut-marut rasa yang terpendam. Masalahnya, mencintai guru sendiri bukanlah perihal yang mudah disebarluaskan. Ketika tak satu pun orang dapat diajak bicara, siapakah yang mampu membebaskan Johanne dari beban perasaan? Di situlah dunia fantasi mengambil peran. Johanne mulai menuangkan kegulanaan lewat tulisan.  

Segala hal ia ceritakan, dari imajinasi yang terkesan cabul, ketakutan-ketakutan, hingga romantisasi atas perjalanan menuju kediaman sang tercinta, di mana blok-blok apartemen dan taman sederhana berubah jadi wadah bagi kenangan. Ya, Johanne akhirnya berhasil memasuki ruang pribadi Johanna dengan modus belajar berdampingan.

Dibantu sinematografi Arah Cecilie Semec, Haugerud memotret dinginnya Oslo, yang tidak jarang tampak bak dunia mimpi: Daun-daun di pepohonan yang terlihat dari balik jendela sewaktu dibuat bergoyang oleh sapuan angin, hingga pegunungan yang diselimuti kabut. Tapi pemandangan berbeda terpampang saat kita memasuki apartemen Johanna. Lampu kuning temaram, juga setumpuk selimut miliknya, terasa hangat. Begitulah, atau kita tengah menyaksikan persepsi bias dari kebahagiaan Johanne? 

Di satu titik, Johanne mengambil keputusan berat untuk menampilkan tulisannya ke Karin (Anne Marit Jacobsen), neneknya yang seorang penulis, dan sang ibu, Kristin (Ane Dahl Torp). Karin mengapresiasi tulisan cucunya sebagai karya sastra berkualitas, sedangkan Kristin awalnya ragu, apakah putrinya menuliskan realita sebagaimana adanya, atau tersimpan penafsiran berbeda terkait hubungan Johanne dan Johanna.

Perempuan tiga generasi yang sama-sama mengakrabkan diri dengan kesendirian itu pun mulai sering terlibat dalam dialog. Dreams (Sex Love) menggambarkan pergeseran bentuk sebuah karya selepas menjadi konsumsi publik. Karya tersebut berevolusi. Bukan lagi sebatas catatan pribadi, melainkan materi diskusi yang dapat menyebutkan segudang interpretasi. 

Seluruh pelakonnya bersinar dalam proses saling memahami tersebut. Ella Øverbye menampilkan manis dan pahitnya cinta masa muda yang polos namun serius sehingga tak membuat penonton kepuasannya sambil berujar "Anak kecil tahu apa?", Anne Marit Jacobsen menampilkan ketenangan sambil menyertakan ambiguitas, sementara Ane Dahl Torp membuat saya tersentuh lewat mata berbinar ketika mendengar keluh kesah si buah hati tanpa tendensi menghakimi.
Dreams (Sex Love) menunjukkan bahwa realita terkait cinta, maupun hubungan interpersonal apa saja, mungkin tidak seindah yang dibayangkan maya, namun kita sebagai manusia tetap akan menambakannya. Mungkin karena sepahit apa pun kepahitan dari ekspektasi romantika yang terkhianati, tetap lebih membahagiakan dibandingkan dihantui rasa sepi.

 KEEPER


Adonan keeper ibarat berisi ragam bahan baku berupa deretan subgenre horor: kabin di tengah hutan, folk, pembunuh beratai, psikedelik, supernatural, hingga ditinggikan. Memang resep macam itulah yang mengangkat nama Osgood Perkins di skena horor modern. Tapi kali ini masakan sang sineas terasa bak kue cokelat setengah matang. Ada bagian yang lezat, ada yang hambar bahkan busuk, tapi pastinya, ia punya wujud yang berantakan.

Kue cokelat memegang peranan penting dalam naskah buatan Nick Lepard, yang menyoroti liburan sepasang kekasih, Liz (Tatiana Maslany) dan Malcolm (Rossif Sutherland), dalam rangka perayaan hubungan setahun mereka. Destinasinya adalah kabin tengah hutan milik keluarga Malcolm. Ketidakberesan mulai tercium saat Liz menemukan kue cokelat, yang menurut Malcolm merupakan hadiah dari si penjaga kabin.

Bibit ketidaknyamanan terkait infrastruktur (Malcolm membeli lukisan karya Liz tanpa persetujuannya), hutan bernuansa mencekam, sampai kehadiran sepupu menyebalkan (Birkett Turton), jadi berbagai alasan mengapa Liz kurang menikmati liburan kali ini. Apalagi ketika hendak bercinta, Malcolm malah memaksa Liz memakan kue cokelat yang tidak ia sukai. “Rasanya seperti kotoran”, ungkap Liz sambil terus menjejalkan sendok ke mulut di hadapan Malcolm yang berdiri bak mengawasi. 

Bagaimana Liz tetap menyantap kue yang tidak lezat baginya, mewakili romansanya dengan Malcolm. Liz sadar ada ketidakcocokan rasa yang membuat kenikmatannya berkurang, bahkan mendatangkan mual, namun ia tetap teruskan akibat manipulasi terselubung si pasangan. Lambat laun, Liz (dan banyak perempuan di luar sana) dibuat percaya bahwa ia benar-benar menyukai hubungan mereka, seperti saat ia terbangun di tengah malam untuk menikmati sisa kue cokelat tadi.

Sejak itulah Liz mulai sering melihat makhluk-makhluk berbentuk monster perempuan aneh dengan berbagai desain unik nan kreatif di sekitarnya. Kemunculan mereka cukup mencekam. Seperti biasa, Osgood Perkins punya bakat untuk menyusun atmosfer berdasarkan gambar-gambar mengerikan, tanpa perlu bergantung pada bunyi-bunyian yang mengejutkan. 

Gaya bercerita "dreamy" jadi bentuk yang Perkins dan Lepard terapkan. Liz memimpikan pemandangan aneh yang entah sepenuhnya bunga tidur atau sebuah penglihatan akan peristiwa nyata, sesekali menyaksikan sosok misterius yang menginvasi ruang pribadinya, kemudian terbangun seolah tak terjadi apa-apa. Ada kalanya teknik superimpose dipakai guna meleburkan sosok Liz dan lanskap aliran sungai secara aneh, seolah memposisikan si protagonis sebagai perlambang ibu pertiwi sang personifikasi alam.

Tatiana Maslany hadir bak dinamo penggerak di tengah guliran lambat filmnya. Serupa Perkins yang mencampurkan banyak cabang horor, akting Maslany pun tidak kalah kaya, menyatukan gaya drama psikologis, horor, bahkan semburat komedi romantis.

Bukan tempo pelan yang jadi sumber persoalan, melainkan susunan narasi yang lebih terkesan bak kompilasi segmen ketimbang cerita utuh, yang bahkan tidak saling merekat secara kuat untuk bisa menjaga ketegangan penonton. Melahkan. Saya pun berandai-andai, apakah strukturnya akan lebih kokoh bila sepenuhnya menggamit surealisme, daripada menerapkannya dengan malu-malu atas nama "nuansa dreamy".
It talks about toxic relationships, where men like to manipulate women, locking them in honey cages after throwing false promises about their willingness to provide for them even though the reality is the opposite (read: men become parasites for women), which the filmmakers also equate with an act of destroying mother nature. It's not the subtext and raw materials that Keeper lacks, but the cooking technique used.

KOESROYO: THE LAST MAN STANDING

 KOESROYO: THE LAST MAN STANDING


Ketika The Beatles di masa jaya mereka dirayakan di seluruh dunia, Koes Plus justru dicela oleh Presiden Soekarno dengan sebutan "musik-musik ngak-ngik-ngok" hingga sempat dipenjara. Ketika puluhan album The Beatles cukup untuk membuat para personelnya hidup mewah hingga akhir hayat dan dianugerahi gelar kebangsawanan, Yok Koeswoyo sebagai satu-satunya anggota yang tersisa, hidup sederhana biarpun pernah menelurkan ratusan album (termasuk 23 buah di tahun 1974), pun hanya piagam ala kadarnya yang pernah diberikan hadiah oleh pemerintah.

Koesroyo: The Last Man Standing karya Linda Ochy mengajak penonton mengunjungi ruang personal Koesroyo alias Yok Koeswoyo, sebagai satu-satunya personel Koes Bersaudara yang masih hidup. Tahun ini usianya menginjak 82 tahun. Sekilas tak tampak jejak-jejak bintang populer dari parasnya. Hanya laki-laki lanjut usia berpeci biasa, yang bersama tiap isapan rokoknya bercerita tentang era yang telah lalu. 

Filmnya mengumpulkan beberapa narasumber untuk ikut bertutur. Sari, putri sulungnya, kerap menemani "Yok Koeswoyo sang manusia" merekonstruksi memori di balik setumpuk mahakarya buatannya. Sementara David Tarigan dengan kemampuan berkisah di atas rata-rata yang asyik untuk disimak, membagikan sudut pandang eksternal sebagai pengamat musik sekaligus penggemar, mengenai perjalanan karir "Yok Koeswoyo sang megabintang".

Linda Ochy mengisi filmnya dengan narasumber yang bukan hanya kaya akan informasi, pula piawai bernarasi, sehingga membantu penonton yang berasal dari generasi baru memahami kebesaran subjeknya. Mengutip ucapan H.B. Jassin, sejarawan Hilmar Farid menyamakan dampak Koes Plus dengan Chairil Anwar, yang mampu "bersuara" hanya lewat dua kalimat tatkala pujangga baru memerlukan 200 halaman. 

Kelengkapan arsip, dari koleksi foto, kliping koran, rekaman suara konser, hingga koleksi video lawas semakin menguatkan pondasi cerita. Koesroyo: The Last Man Standing memang dokumenter konvensional yang tak melangsungkan eksperimen dalam cara bernarasi, tapi ia berhasil mengeksekusi hal-hal pokok dengan baik. 

Sayang, ada kalanya alur Koesroyo: The Last Man Standing terasa membingungkan, terutama bagi penonton awam yang belum cukup mengerti tentang perjalanan karir Koes Bersaudara/Koes Plus, akibat ketiadaan jembatan antar linimasa di beberapa titik. Demikian pula subplot berdaya tarik tinggi (misal perihal Koes Plus yang dijadikan mata-mata pemerintah) yang hanya disinggung secara "malu-malu" sehingga memunculkan rasa penasaran tak terjawab, di saat dokumenter ini mestinya memuaskan dahaga atas tanda tanya semacam itu.

Kurangnya keberhasilan ditambal oleh beberapa situasi menyentuh yang filmnya tangkap. Di awal, Yok Koeswoyo mengatakan bahwa ia tidak ambil pusing pada status "the last man standing". Baginya, kesendirian ini hanyalah bentuk biasa dari mortalitas manusia yang tak perlu diratapi. Tapi begitu lagu Why Do You Love Me diputar, yang mengingatkan kenangan akan kematian istri pertamanya, Maria Sonya Tulaar, tangis Yok Koeswoyo tiba-tiba pecah. 

Koesroyo: The Last Man Standing bukan hanya seputar Yok Koeswoyo sebagai pesohor dunia musik tanah air. Tapi Yok Koeswoyo sebagai manusia biasa, sebagai laki-laki yang kehilangan cinta sejatinya, sebagai ayah yang mensyukuri pendampingan dari putrinya, sebagai rakyat Indonesia, yang biarpun begitu menyerapi serta vokal menyuarakan nasionalisme, justru dibiarkan begitu saja oleh negara.

THE VOICE OF HIND RAJAB

 THE VOICE OF HIND RAJAB


Apa yang membedakan The Voice of Hind Rajab dari aji mumpung beraroma eksploitasi tragedi adalah perihal urgensi. Ketika genosida acap kali berbunyi, tepukan di bahu sebagai pengingat tidak lagi cukup, sehingga terdengar bahkan pukulan keras. Di sini sinema berbasis kisah nyata menampakkan fungsi esensialnya.
Pada tanggal 29 Januari 2024, kantor sukarelawan Bulan Sabit Merah menerima panggilan darurat dari Gaza. Sebuah rutinitas bagi mereka. Omar A. Alqam (Motaz Malhees) yang menerima panggilan itu pun meresponsnya sesuai prosedur, lalu mendengar ratapan gadis cilik yang meminta bantuan. Namanya Hind Rami Iyad Rajab. Usianya belum genap enam tahun, dan ia terjebak dalam mobil yang diberondong peluru pasukan Israel. 

Rana Hassan Faqih (Saja Kilani), atasan Omar, juga terlibat dalam upaya menenangkan si bocah, sementara Mahdi M. Aljamal (Amer Hlehel) mengoordinasi pengiriman ambulans yang mengharuskannya melewati rangkaian prosedur ruwet nan panjang. Kamera menyorot para pelakon secara close-up untuk menangkap ekspresi mikro mereka, kemudian beralih ke bidikan yang lebih luas saat tiba waktunya menyebarkan ledakan emosi.
Di dalam mobil, Hind dikelilingi enam jenazah keluarga yang meninggal tertembak. “Mereka hanya butuh tidur”, ucap Rana, yang di luar dugaan langsung disangkal oleh Hind. “Mereka sudah meninggal!”, balasnya sambil menangis. Anak kecil ini mengerti konsep kematian. Bayangkan betapa ketakutannya dia. 

serupa dengan yang ia lakukan di Four Daughters (2023), Kaouter Ben Hania sebagai sutradara sekaligus penulis naskah persyaratan batasan antara realita dan dramatisasi sinema. Rekaman suara asli Hind diperdengarkan alih-alih memakai pengisi suara guna. Setiap rekaman diputar, judul fail berformat WAV muncul di layar. Tidak sedetik pun penonton dibiarkan terbuai dalam ruang aman yang memungkinkan kita berpikir, "Semua ini hanya film."
Satu pilihan estetika unik yang sempat Ben Hania terapkan, kala menyatukan reka ulang peristiwa yang diperankan oleh aktor, dan rekaman video asli yang diputar di layar ponsel. Sang sineas membawakan peleburan format drama konvensional dan dokumenter menuju tingkat lanjut. 

Pendekatan tersebut menambah efektivitas The Voice of Hind Rajab sebagai pemantik kemarahan terhadap realita bernama "kebiadaban Israel". Bahwa ada mobil berisi bocah lima tahun diberondong 335 peluru adalah murni kekejaman. Bukan lagi memperkenalkan ideologi maupun kepercayaan. 

Satu hal yang perlu diingat, Hind Rajab bisa selamat dan prosedur pengiriman ambulans tidak dibuat sedemikian rumit. Menjadi rumit karena jika tim penyelamat asal dikirim memperhatikan tanpa keamanan jalur, mereka berisiko jadi korban berteman tentara Israel (yang akhirnya tetap terjadi biarpun prosedur telah dijalankan). Iblis mana yang menembaki ambulans?!
Penceritaan Suara Rajab Hind bukannya nihil cela. Rekaman panggilan sepanjang 70 menit memang kurang memadai sebagai materi film panjang (itulah kenapa Close Your Eyes Hind dan Hind Under Siege yang juga mengangkat tragedi ini memakai format film pendek), hingga beberapa titiknya terasa draggy. Dramatisasi masalah keputusasaan penyulut konflik internal antar sukarelawan yang naskahnya menambahkan guna menebalkan alur pun terkadang tampil artifisial, yang berkontradiksi dengan gaya narasi filmnya. 

Bila memandangnya sebagai karya semata, The Voice of Hind Rajab memang bukan pendobrak pakem yang luar biasa. Tapi ia adalah contoh di mana sinema melampaui batasnya sebagai "hanya tontonan". Bukan sebuah medium eskapisme, melainkan wajah realisme.

LEGENDA KELAM MALIN KUNDANG

 LEGENDA KELAM MALIN KUNDANG



Kadang-kadang dalam misteri, enigma dan ketidaktahuan justru lebih mengikat daripada saat kebenaran telah tampak jelas. Itulah mengapa paruh pertama Legenda Kelam Malin Kundang bergulir begitu adiktif, sedangkan paruh keduanya bak sebatas ikatan yang mesti penonton ikuti. Mungkin serupa dengan perasaan waktu kita tetap bertahan di atas kereta hanya karena belum tiba di tujuan, alih-alih real menikmati perjalanannya.?

Kisahnya efektif mengundang keingintahuan, ketika seperti Alif (Rio Dewanto), si pelukis mikro yang menderita amnesia pasca kecelakaan mobil, penonton diperbolehkan berkutat dalam menonton. Alif melupakan banyak hal, mulai dari alasan sang istri, Nadine (Faradina Mufti), terasa menjaga jarak, hingga fakta yang lebih mendasar seperti wajah sang ibu di kampung. 

Komposisi musik gubahan Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli dibiarkan terus menggumamkan bunyi-bunyian eksentrik, menciptakan rasa atmosferik ala mimpi buruk, yang sedikit mengingatkan pada bagaimana David Lynch menyusun nuansanya. Adegan pembuka dan beberapa arah pengembangan kisahnya pun menciptakan komparasi dengan Lost Highway, salah satu judul favorit Joko Anwar selaku penulis naskah (bersama Aline Djayasukmana dan Rafki Hidayat), editor, sekaligus produser film ini.

Anomali membesar sejak kedatangan perempuan (Vonny Anggraini lewat salah satu pameran keserbagunaan terbaik sepanjang karier) yang mengaku sebagai Amak dari Alif. Identitasnya tak mampu diungkapkan, namun si perempuan mengetahui segala detail masa lalu Alif, termasuk asal muasal luka di dahi. Naskahnya membentangkan proses penyelidikan yang manjur menjerat atensi, berkat akurat mengatur waktu antara melempar tanda tanya dan menebar remah-remah petunjuk secara bertahap.

Pengarahan Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo dalam debut mereka pun cukup cepat menangani jalinan misteri yang digulirkan dengan sabar, meski metode keduanya dalam mengeksekusi jumpscare (yang jadi taktik generik naskahnya untuk berkompromi dengan penonton kasual) belum mencapai intensitas menggenjot yang efektif.

Sayang, begitu memasuki fase "menjawab misteri", filmnya beralih bentuk menjadi kompilasi eksposisi. Penonton hanya dibiarkan duduk menanti, sementara pembuat filmnya sibuk sendiri mengungkap satu per satu fakta menggunakan strategi monoton berupa penglihatan yang silih berganti protagonisnya alami. 

Faktor kejut (yang rasanya sudah semua penonton nantikan hingga eksistensi twist itu sendiri kehilangan daya kecohnya) di paruh akhir pun tak mendatangkan dampak maksimal, karena Joko seolah hanya fokus pada ambisinya menggiring legenda Malin Kundang ke arah sekelam mungkin. 

Tapi jika ditilik lebih lanjut, Legenda Malin Kundang tetaplah berupaya kreatif mendekonstruksi cerita rakyat menuju bentuk yang lebih relevan. Dia bukan lagi hikayat sarat pesan konservatif moral tentang anak Durhaka, tapi pergumulan batin individu yang kesulitan beranjak dari luka lama.
Merantau bukan lagi sekedar perjalanan meninggalkan kampung halaman, juga masa lalu yang terkadang ingin kita habisi akibat rasa sakit dan malu, namun ada kalanya memunculkan kerinduan sehingga menyulut dilema penuh pilu. Bukan tubuh dari si Malin Kundang modern ini yang membatu, melainkan hati yang dipadati rahasia. Mungkin bagi orang-orang seperti Alif, hal tersulit bukanlah menghadapi masa kini, tapi gema yang diperdengarkan masa lalu.


Selasa, 02 Desember 2025

AGAK LAEN: MENYALA PANTIKU!

 AGAK LAEN: MENYALA PANTIKU!


Di tengah industri yang kerap memperlakukan genrenya bagai entitas kelas dua, Agak Laen: Menyala Pantiku! memberi definisi sejati terhadap istilah "blockbuster comedy". Bukan asal mencanangkan ambisi sampai menjadikannya kehilangan identitas, tapi penegas bahwa komedi, di luar diwujudkan sebagai spektakel pengocok perut, juga patut digarap secara sungguh-sungguh di segala lini, dari penceritaan hingga artistik.

Tahun lalu film pertamanya mengumpulkan lebih dari 9 juta penonton, dan sejak adegan pembuka berbentuk aksi bombastis, Muhadkly Acho selaku sutradara sekaligus penulis naskah, memastikan keuntungan menggunung itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Perhatikan berbagai pilihan shot di sepanjang durasinya yang mencuatkan kesan "lebih mahal". 

setara dengan semesta sinema Warkop DKI dahulu bekerja, Menyala Celanaku! tak punya kaitan dengan pendahulunya. Oki Rengga, Boris Bokir, Bene Dion Rajagukguk, dan Indra Jegel masih memerankan versi fiktif diri mereka, namun bukan sebagai pemilik rumah hantu, melainkan detektif polisi. Bukan pula detektif kepolisian biasa. Mereka berempat di ambang pemecatan akibat berkali-kali salah menangkap buronan.

Meski berbeda, pondasinya masih serupa dengan film pertama. Kuartet jagoan kita tetap bergelut dengan masalah finansial keluarga, di mana kali ini Boris yang tengah menjalani proses perceraian, menerima tongkat estafet dari Oki untuk dijadikan figur sentral. Komparasi lain dapat ditemukan, yang bisa menciptakan identitas menarik bagi waralaba layar lebar ini, selama tak terjatuh menjadi berulang di kemudian hari. 

Setup-nya memerlukan waktu, tapi daya bunuh komedinya mulai menyala begitu para tokoh utama ditugaskan dalam misi penyamaran ke sebuah panti jompo, yang ditengarai jadi lokasi persembunyian seorang pelaku pembunuhan. Para lansia penghuni hingga jajaran karyawan, tidak ada yang lolos dari kemiskinan.

Ceritanya tidak mendobrak pakem prosedur polisi, namun dipaparkan begitu rapi, menolak terlampau membayangkan semau sendiri atas nama komedi, sambil disisipi misteri ringan berbasis aksi tebak-tebakan tentang identitas si pelaku pembunuhan, yang cukup untuk membawa alurnya terus menarik perhatian. Acho terlebih dahulu memastikan hal-hal filmis mendasarnya sudah terpenuhi, barulah kemudian melempar banyolan.

"Ketidakterdugaan" dijadikan prinsip. Apa pun bentuk komedinya, entah permainan kata melalui celotehan jenaka karakternya, maupun humor fisik termasuk sebuah pertarungan gila yang membuat celana dalam milik Linda Rajagukguk (Ghita Bhebhita) semakin "menyala". Agak Laen : Menyala Celanaku! begitu jago mengecoh ekspektasi.

Hebatnya, biarpun film pertamanya sempat mengundang beberapa kontroversi di media sosial (sebuah kepastian tak tertulis yang menandakan suatu film Indonesia telah mengumpulkan banyak penonton), Menyala Pantiku! tetap tidak takut berjalan di "pinggir jurang" saat melontarkan leluconnya. Sebutlah saat lagu balada Terlalu Cinta kepunyaan Lyodra "dirusak" kesenduannya. 

Tapi filmnya bukan semata-mata ingin tampil sok pembohong. Beberapa keberaniannya juga didasari membahas berbagai fenomena sosial negeri ini. Ide sinting berlatar musala yang mengkritisi sebegitu mudahnya seseorang mendapat status "ulama besar" hanya karena gaya berpakaian, atau pesan tajam mengenai "ada banyak cara untuk mengabdi" yang dipakai sebagai konklusi, menandakan bahwa geng Agak Laen lebih dari sekelompok orang konyol yang doyan berperilaku tolol.
Klimaks yang nyaris tidak eksis dan membuat saya terkejut filmnya tiba-tiba sudah sampai garis akhir memang mendatangkan sedikit ganjalan, tapi rasanya itu bukan sesuatu yang akan membuat penonton pusing. Tawa mereka berkali-kali meledak hebat, tepuk tangan pun terdengar bergemuruh mengiri kredit penutup. Agak Laen : Menyala Celanaku! mengingatkan betapa pentingnya peran komedi lewat kemampuannya mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.


 ZOOTOPIA 2


Serupa film pertama, Zootopia 2 punya bangunan dunia kokoh, di mana seluruh elemennya terasa hidup dan berjalan dengan aturan-aturan yang jelas. Keserakahan antagonisnya bukan sebatas kejahatan tanpa arti, melainkan sebagai hewan teritorial, ia memang punya kecenderungan memperluas wilayah kekuasaan. Kulit luar filmnya memang dibuat over-the-top atas nama hiburan semua umur, namun kegembiraan bergerak sebagaimana realita.

Jeda antar kedua film hampir satu dekade (sebuah anomali mengingat Zootopia menghasilkan keuntungan besar), namun alur sekuelnya hanya berjarak seminggu dari konklusi pendahulunya. Judy Hopps (Ginnifer Goodwin) dan Nick Wilde (Jason Bateman) yang dielu-elukan bak pahlawan kini secara resmi berpartner di ZPD (Zootopia Police Department). Seekor kelinci dan rubah merah pun bersatu. 

Nyatanya bukan perkara mudah menyelesaikan hubungan lintas spesies. Judy yang terlalu positif dan Nick yang cenderung negatif terus mengalami kecelakaan, berakhirnya setumpuk kekacauan yang posisi membuat keduanya berada di kepolisian terancam. Ketimbang menyiasati konflik lewat percakapan hati ke hati, dua jagoan kita memilih menampik adanya masalah, memupuk disfungsi yang patut jadi bahan observasi setiap pasangan.
Naskah buatan Jared Bush (turut menyutradarai bersama Byron Howard) menjaga hubungan dua protagonisnya tetap di ranah platonik. Penonton anak bakal memandangnya sebagai persahabatan biasa, tapi di mata penonton dewasa lah keintiman yang urung berkembang ke arah cinta ini akan terlihat unik. Isian suara Ginnifer Goodwin dan Jason Bateman yang sarat chemistry semakin menguatkan pesona dua karakter utama. Mereka adalah individu yang benar-benar hidup, di dunia tengah yang tak kalah hidup

Di balik peliknya friksi interpersonal tersebut, Judy dan Nick harus mengusut kemunculan ular viper bernama Gary (Ke Huy Quan) yang ditengarai mengancam stabilitas kota. Sudah bertahun-tahun sejak ular (atau reptil secara umum) yang ditakuti dan dianggap sebagai ancaman, mencapai tanah Zootopia, yang seiring waktu kita akan menelusuri sejarah kelamnya.

Komponen misteri berlandaskan subgenre komedi buddy cop yang cukup efektif menggamit atensi pun digelar, gerakan oleh duo sutradaranya dengan tempo tinggi yang terbukti menjaga sisi hiburan filmnya. Humor yang enggan asal konyol, tapi secara cerdik terus merujuk pada mekanisme ekosistem yang telah dibangun pun tampil segar, sementara para pecinta sinema akan kembali dipuaskan oleh sederet referensi, termasuk penghormatan terhadap salah satu karya Stanley Kubrick di babak ketiganya..

MAGELLAN

 MAGELLAN


Selama 160 menit, yang terkenal singkat untuk ukuran karya Lav Diaz, sang auteur Filipina tak memakai musik konvensional guna menciptakan keheningan yang menghantui, yang bersumber dari lingkaran kekerasan tanpa akhir sebagai akibat keserakahan berkedok agama oleh para pendamba kejayaan.

Ferdinand Magellan (Gael García Bernal) adalah nama yang sering kita temui di buku pelajaran semasa SD. Begitu pula komandannya, Afonso de Albuquerque (Roger Alan Koza), yang memimpin penyerangan Portugis menuju Malaka pada tahun 1511. Warga lokal dibantai, pernak-pernik ritual keagamaan mereka pun diberangus. Semua dilakukan atas nama Raja Manuel I serta proselitisasi. 

Setelah berperang, Albuquerque berorasi di hadapan pasukannya, menyuarakan ambisi menyebarkan kekuasaan ke seluruh dunia, termasuk menghapus ajaran Islam. Tidak lama berselang, ia rubuh akibat terlalu mabuk. Sebuah pemandangan yang oleh bawahannya jadi tertawaan. Diaz pun ingin penonton menonton serupa. Menertawakan kekonyolan manusia yang dimabuk oleh ambisi.

Diaz menerapkan rasio 1.33:1, seolah mengurung tokoh-tokohnya dalam kotak sempit bernama kesempitan pikir, yang di saat bersamaan tampak indah, menghipnotis, bahkan mencekam, misal pada sekuen pembuka yang mengambil latar beberapa tahun sebelum kedatangan pasukan Portugal, di mana sekelompok suku lokal mengadakan upacara adat. 

Sebelum kembali ke kampung halaman, Magellan yang mengalami cedera di kaki akibat peperangan, ia membeli budak Cebuano yang diberi nama Enrique (Amado Arjay Babon). Di tengah perjalanan pulang, hujan deras tiba-tiba menghajar hamparan sungai yang Magellan lewati. Satu lagi pemandangan bernuansa mistis, sewaktu langit seolah menangis menyaksikan hati nurani manusia yang semakin menipis.

Selanjutnya, Diaz menuturkan kisah berskala besar, mengajak kita mengarungi tahun-tahun dalam hidup sang protagonis yang penuh penolakan dan ilusi terhadap kebesaran diri. Ketimbang merawat Beatriz (Ângela Azeved), istrinya yang sedang hamil tua, Magellan justru membelot ke pihak Spanyol yang bersedia mengirim ekspedisinya mencari rute pelayaran baru sambil menyebarkan agama Kristen, menuruti hasratnya bersolek dengan kematian demi kejayaan semu. 

Siklus kekerasan pun terus berulang akibat kolonialisme kulit putih, yang menganggap diri mereka, dengan segala teknologi mutakhir, ilmu pengetahuan terkini, perspektif atas Tuhan, juga sandang berkain mewah, lebih beradab daripada suku-suku Asia Tenggara yang bertelanjang bulat dan menyembah arwah leluhur. Tapi toh, sebagaimana Diaz suarakan secara lantang, "para pembawa modernisasi" ini justru jauh lebih barbar. 

Di antara prinsip penceritaan slow cinema sang sutradara yang acap kali terasa menantang untuk disimak, Gael García Bernal menampilkan performa subtil yang menghadirkan personifikasi ambisi manusia, yang perlahan beralih menjadi keputusasaan. Aksi manusia menjual nama Tuhan hanya mendatangkan tragedi dengan semerbak aroma kematian, yang sayangnya masih berlanjut hingga lebih dari 500 tahun setelah era Magellan berlalu.

ALL THAT'S LEFT OF YOU

 ALL THAT'S LEFT OF YOU



Selepas sekuen pembuka All That's Left of You, perempuan bernama Hanan (diperankan Cherien Dabis yang juga berperan sebagai sutradara sekaligus penulis naskah) menatap kamera kemudian berujar, "Mungkin kamu tak terlalu peduli, tapi aku akan bercerita tentang anakku". Sebuah kalimat tajam yang dialamatkan pada penonton, yang menyaksikan tahun demi tahun penderitaan rakyat Palestina hasil tangkapan film ini dari kursi bioskop yang nyaman. Sudah selayaknya kita peduli.

Putra Hanan bernama Noor (Muhammad Abed Elrahman), remaja energik yang pada tahun 1988, tanpa ragu maju ke garis depan bersumpah guna mengutuk penjajahan Israel. Tapi untuk memahami motivasi Noor, kita terlebih dahulu diajak mundur ke tengah panasnya perang tahun 1948 guna bertemu kakeknya, Sharif (Adam Bakri), ayah mertua Hanan yang tinggal bersama keluarganya di Jaffa sambil mengelola kebun jeruk warisan turun-temurun.

Ada rasa pilu menyandingkan indah nan makmurnya Palestina sekitar tujuh dekade lalu, dengan potret hari ini pasca zionis meluluhlantakkan segalanya. Para protagonisnya pun masih hidup nyaman di bawah naungan rumah yang layak disebut mewah. Sharif sendiri terlibat aktif melawan invasi Israel, bahkan memilih tinggal mempertahankan rumahnya setelah mengirim keluarganya mengungsi ke daerah Tepi Barat. Kisah pun bergerak menuju tahun-tahun berikutnya.

Memasuki tahun 1978, Sharif di usia tua (diperankan Mohammad Bakri, ayah Adam Bakri) mulai menampakkan tanda-tanda alzheimer, sementara anak-anak yang berprofesi sebagai guru, Salim (Saleh Bakri, kakak Adam Bakri), memilih sikap yang berlawanan dengan ayahnya, dengan bermain aman menyikapi Israel. Sesuatu yang mengecewakan bagi Noor kecil (Sanad Alkabareti).

Keputusan Cherien Dabis membentangkan ceritanya sampai puluhan tahun mempunyai satu tujuan, yakni memberi penegas tentang keserakahan Israel. Ibarat individu yang "dikasih hati malah minta sekujur tubuh", Israel terus mencuri, dari beberapa teritori, hingga akhirnya seluruh negeri. Tuntutannya terus berganti termasuk dalam kesekharian. Misal terkait jam malam di Tepi Barat yang selalu berubah, hingga alih-alih merupakan aturan, hal itu lebih seperti metode mempermainkan kehidupan rakyat Palestina.

Cerita masa lintas milik All That's Left of You juga berguna memaparkan poin berikut: Apa yang suatu generasi alami, bukan hanya membentuk perspektif generasi tersebut, pula generasi di bawahnya. Adakah posibilitas perbaikan nasib bagi tokoh-tokohnya dan generasi tua mengambil keputusan yang berbeda? Jawabannya "tidak", selama zionis dengan segala keculasan dan tipu daya mereka masih menancapkan cakar mematikan. 

Efektivitas penceritaannya mungkin akan meningkat bila durasi 145 menit sedikit dikurangi, namun kinerja seluruh departemennya, termasuk jajaran pelakon dengan kemampuan mengembuskan jiwa ke tokoh peran masing-masing, membuat All That's Left of You tak pernah kehilangan nyawanya. Sang sutradara melantunkan momen-momennya secara syahdu, mencuatkan melankoli tak murahan yang senada dengan baris demi baris kalimat puitis milik naskahnya.
Hati Palestina sekarang berdetak dalam tubuh Israel", ucap seorang karakter yang takkan saya ungkapkan identitasnya dengan nada angkuh, melengkapi alegori filmnya mengenai kondisi Palestina saat ini. Tapi All That's Left of You menolak kehilangan harapan. Selama masih ada yang tersisa, biarpun sebatas kenangan tak kasat mata, api kebebasan manusia Palestina akan selalu menyala.