September 06, 2025
BUTCHERS (2020)
Tukang daging mempunyai segala yang dimiliki genre dusun. Dua sosok misterius yang tinggal ditengah hutan adalah antagonis utama yang keberadannya mudah untuk diprediksi, sementara sekelompok remaja campy yang tengah mencari bantuan karena mobilnya menghancurkan ditengah jalan adalah calon potongan daging yang siap jadi korban. Kita paham betul metode klasik yang sudah sangat usang ini. Dan Butchers tak melakukan sebuah pembaharuan sebagai bahan jualan.
Pembuka diketahuinya menyoroti dua orang pria yang kelak bernama Owen Watson (Simon Phillips) dan sang adik, Oswald Watson (Michael Swatton) tengah menguburkan ibunya yang baru saja meninggal sambil membacakan penggalan Al-Kitab sebagai bahan penguat dari kesedihan. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang menderit. Dikendarai oleh sepasang kekasih yang seperti kita ketahui akan bernasib naas tatkala mencari bantuan bala.
Maju pada tahun 1998, sekelompok remaja yang hendak pulang pasca acara ulang tahun mengalami hal yang sama. Mobil mereka tampil akibat busi yang tak diganti. Salah satu dari mereka, Mike (James Gerald Hicks) mencari solusi dengan maju ke depan dan berharap menemukan sebuah bengkel. Pencarian Mike disusul oleh Jeena (Julie Mainvile) yang seiring percakapan keduanya menyiratkan sebuah hubungan terlarang perihal perselingkuhan yang dilakukan secara diam-diam.
Ya, Mike tengah berpacaran dengan Taylor (Anne-Carolyne Binette), begitupun dengan Jeena yang menjalin hubungan dengan Steven (Blake Canning) yang masing-masing ikut dalam perjalanan. Dari sini, dapat ditebak, bahwa pada akhirnya mereka akan bertemu dengan Watson bersaudara yang awalnya menawarkan bantuan mobil derek yang hanya sebuah modus operandi belaka guna menangkap mangsa.
Disutradarai dan ditulis oleh Adrian Langley (bersama Daniel Weissenberger), Butchers sejatinya berpotensi menjadi tontonan ringan yang seharusnya memerlukan pemikiran berlebih selain murni sebagai wahana bersenang-senang. Paruh pada awalnya tampak menjanjikan dengan pemanfaatan kemisteriusan pula tempat mengerikan dan menyajikan ditambah dengan orang-orang menyeramkan. Tentu saja, ini berkat perangai janji dari Simon Phillips yang melalui lebatnya pula sorotan cahaya saja mengundang sebuah ketidakberesan.
Sayang, Butchers selanjutnya diisi oleh rangkaian teror usang yang meminimalkan kreativitas dalam menekan sub-genre. Benar, di dalamnya ada sadisme yang siap ditampilkan, namun semuanya harus berakhir dini karena pada dasarnya, Jagal tak mampu menggebrak batas. Apa yang ditampilkan hanyalah sekedar memasang jebakan, aksi tusuk dan tebas dalam lingkaran kucing-tikus yang membutuhkan banyak eksplorasi dibandingkan pemaparan dalam ambiguitas tanpa isi.
Naskahnya sendiri dibagi menjadi tiga babak (The Beginning of the End, The Middle of Nowhere, The End is Here) yang sebenarnya hanyalah fase umum dalam rangkaian film konvensional. Selain kurang elaborasi lebih (khususnya terkait teror), Butchers pun tampil seolah kurang akan momentum yang membuat rangkaian terornya tampil datar, nihil sebuah ketegangan karena kita sebelumnya pernah menyaksikan yang lebih dari ini, sebutlah Tucker & Dale vs. Evil (2010) yang memberikan terobosan sekaligus penyegaran pada horror/thriller pedang dalam ruang lingkup backwood.
Butchers memang tampak kerdil jika disandingkan dengan judul diatas, meskipun terkait kepadatan, Langley sejatinya sudah mampu merangkum sebuah cerita tanpa harus tampil rumit dengan bermodalkan segala trope klasik yang sejatinya bisa tampil asik, tidak terlupakan begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar