SALTWATER: THE BATTLE FOR RAMREE ISLAND (2021)

Memutuskan untuk menonton Saltwater: The Battle for Ramree Island adalah murni untuk mencari kesenangan dari menonton b-movie dengan segala ciri khasnya yang tak mempunyai batasan-meski terkendala pendanaan. Sharknado (2013) contohnya, yang menggila dengan segala absurditasnya sehingga melahirkan tontonan so bad it's good. Harapan sama ingin saya ulang kembali, yang sayangnya urung terjadi akibat ekspetasi saya yang terlalu tinggi atau pembuatnya yang kurang punya motivasi? Premisnya sendiri menjanjikan. Mengumpulkan berita (atau mitos, karena keberadaannya telah dibantah para sejarawan) mengenai kejadian di Pulau Ramree pada Perang Dunia II saat tentara Jepang tengah melewati rawa untuk mencari keberadaan tentara Sekutu yang justru harus mendekati kawanan buaya rawa yang bersarang di sana. Dikabarkan ratusan/ribuan tentara Jepang mati dan menjadi mangsa buaya rawa yang haus akan mangsa.
Sementara filmnya sendiri adalah mengenai kelompok kecil (karena sepanjang film hanya terdiri dari 4 tentara Sekutu dan India, tambahkan tiga tentara Jepang) yang dipimpin oleh Sersan Turner (Steven Dolton) bersama tiga prajuritnya: Pike (Ryan Harvey) si juru kamera, Harris (Glenn Salvage) si british rasis dan Singh (Jas Steven Singh) si tentara kiriman dari India tengah mencari tempat amunisi senjata tentara Jepang secara sembunyi-sembunyi, yang pada akhirnya mereka harus melewati Pulau Ramree yang mencakup sungai dan rawa tempat berkumpulnya kawanan buaya.Berjalan sangat lambat, paruh awalnya menampilkan serangan buaya yang dibungkus secara jinak sebelum pembuka kredit, sementara proses induksi dimulai, kita hanya dijejali oleh letupan aksi ceramah dari Harris yang berperilaku rasis terhadap Singh dengan melemparkan praduga tak bersalah dengan alasan Singh bukan bagian dari klan mereka. Saking kekurangan materi guna menggerakan durasi, aksi ini diulang sebanyak tiga kali selama paruh pertama berjalan (koreksi bila saya salah).
Naskah yang ditulis sekaligus disutrdarai oleh Steve Lawson (The Haunting of Alcatraz, KillerSaurus, Bram Stoker's Van Helsing) nampaknya kurang amunisi dan kebingungan dalam membagi teror pula cerita mengenai aksi kolonialisme yang sebatas diisi oleh rangkaian dialog membosankan, yang beberapa di antaranya memberikan sebuah twist yang sama sekali tak bekerja karena tak memperhatikan timing. Alhasil, teror serangan buaya pun dikesampingkan dan ditempatkan di paruh akhir sebagai sebuah jembatan bagi sejarah yang menyimpan-siur kebenarannya.Bodoh memang jika saya mengkritisi perihal pendanaan dari tontonan yang sedari awal sudah menjawabnya dengan nada terang-terangan. Keberadaan buaya adalah hasil dari kumpulan video National Geographic yang diarsipkan, pun ketika memulai serangan ketara jelas bak tampilan animatronik dengan sedikit modifikasi. Jika Anda mencari tontonan penuh darah, Saltwater: The Battle for Ramree Island jelas bukan bagian yang harus Anda saksikan.
Kebodohan memang tak pelak untuk tak dihindari, misalnya ketika para prajurit prajurit memutuskan untuk beristirahat di tepi rawa adalah jalan bagi Lawson menampilkan adegan meregang nyawa atau kesetiaan dua prajurit yang merebut tas di tengah rawa guna mencari peta adalah pengadeganan yang kentara cringey. Sekali lagi, Saltwater: The Battle for Ramree Island membutuhkan amunisi lebih dari sebatas pembicaraan banyak dan kukuh membenarkan sejarah dalam dunia ciptaannya yang penuh dengan problema itu.Saya membayangkan, akan terasa mengasyikkan tatkala pemandangan tentara Jepang yang berjuang melawan buaya yang ditampilkan, yang pada akhirnya hanyalah sebuah angan-angan karena pada dasarnya ini adalah tontonan yang berambisi besar pada KOLONIALISME bukan PRESTISE. Konklusinya menekankan hal demikian guna memberikan jawaban pembenaran pada berita yang berseliweran.
Memutuskan untuk menonton Saltwater: The Battle for Ramree Island adalah murni untuk mencari kesenangan dari menonton b-movie dengan segala ciri khasnya yang tak mempunyai batasan-meski terkendala pendanaan. Sharknado (2013) contohnya, yang menggila dengan segala absurditasnya sehingga melahirkan tontonan so bad it's good. Harapan sama ingin saya ulang kembali, yang sayangnya urung terjadi akibat ekspetasi saya yang terlalu tinggi atau pembuatnya yang kurang punya motivasi?
Premisnya sendiri menjanjikan. Mengumpulkan berita (atau mitos, karena keberadaannya telah dibantah para sejarawan) mengenai kejadian di Pulau Ramree pada Perang Dunia II saat tentara Jepang tengah melewati rawa untuk mencari keberadaan tentara Sekutu yang justru harus mendekati kawanan buaya rawa yang bersarang di sana. Dikabarkan ratusan/ribuan tentara Jepang mati dan menjadi mangsa buaya rawa yang haus akan mangsa.
Sementara filmnya sendiri adalah mengenai kelompok kecil (karena sepanjang film hanya terdiri dari 4 tentara Sekutu dan India, tambahkan tiga tentara Jepang) yang dipimpin oleh Sersan Turner (Steven Dolton) bersama tiga prajuritnya: Pike (Ryan Harvey) si juru kamera, Harris (Glenn Salvage) si british rasis dan Singh (Jas Steven Singh) si tentara kiriman dari India tengah mencari tempat amunisi senjata tentara Jepang secara sembunyi-sembunyi, yang pada akhirnya mereka harus melewati Pulau Ramree yang mencakup sungai dan rawa tempat berkumpulnya kawanan buaya.
Berjalan sangat lambat, paruh awalnya menampilkan serangan buaya yang dibungkus secara jinak sebelum pembuka kredit, sementara proses induksi dimulai, kita hanya dijejali oleh letupan aksi ceramah dari Harris yang berperilaku rasis terhadap Singh dengan melemparkan praduga tak bersalah dengan alasan Singh bukan bagian dari klan mereka. Saking kekurangan materi guna menggerakan durasi, aksi ini diulang sebanyak tiga kali selama paruh pertama berjalan (koreksi bila saya salah).
Naskah yang ditulis sekaligus disutrdarai oleh Steve Lawson (The Haunting of Alcatraz, KillerSaurus, Bram Stoker's Van Helsing) nampaknya kurang amunisi dan kebingungan dalam membagi teror pula cerita mengenai aksi kolonialisme yang sebatas diisi oleh rangkaian dialog membosankan, yang beberapa di antaranya memberikan sebuah twist yang sama sekali tak bekerja karena tak memperhatikan timing. Alhasil, teror serangan buaya pun dikesampingkan dan ditempatkan di paruh akhir sebagai sebuah jembatan bagi sejarah yang menyimpan-siur kebenarannya.
Bodoh memang jika saya mengkritisi perihal pendanaan dari tontonan yang sedari awal sudah menjawabnya dengan nada terang-terangan. Keberadaan buaya adalah hasil dari kumpulan video National Geographic yang diarsipkan, pun ketika memulai serangan ketara jelas bak tampilan animatronik dengan sedikit modifikasi. Jika Anda mencari tontonan penuh darah, Saltwater: The Battle for Ramree Island jelas bukan bagian yang harus Anda saksikan.
Kebodohan memang tak pelak untuk tak dihindari, misalnya ketika para prajurit prajurit memutuskan untuk beristirahat di tepi rawa adalah jalan bagi Lawson menampilkan adegan meregang nyawa atau kesetiaan dua prajurit yang merebut tas di tengah rawa guna mencari peta adalah pengadeganan yang kentara cringey. Sekali lagi, Saltwater: The Battle for Ramree Island membutuhkan amunisi lebih dari sebatas pembicaraan banyak dan kukuh membenarkan sejarah dalam dunia ciptaannya yang penuh dengan problema itu.
Saya membayangkan, akan terasa mengasyikkan tatkala pemandangan tentara Jepang yang berjuang melawan buaya yang ditampilkan, yang pada akhirnya hanyalah sebuah angan-angan karena pada dasarnya ini adalah tontonan yang berambisi besar pada KOLONIALISME bukan PRESTISE. Konklusinya menekankan hal demikian guna memberikan jawaban pembenaran pada berita yang berseliweran.
0 komentar:
Posting Komentar