Jumat, 05 September 2025
KAIN KAFAN HITAM (2019)
September 05, 2025
No comments
KAIN KAFAN HITAM (2019)
Sejenak kita kesampingkan terlebih dahulu manfaat lain dari film ini. Kain Kafan Hitam mengetengahkan proses Evelyn (Haico Van Der Veken) mencari sebuah tempat tinggal ditengah keadaan ekonominya yang begitu menipis. Tak memungkinkan jikalau mengontrak rumah di kota, maka ia dan sang kekasih, Bimo (Maxime Bouttier) pusat memutuskan untuk menyewa sebuah villa di pinggiran kota yang luasanya sebesar istana dengan harga yang begitu terjangkau. Eittts....tunggu sebentar ya, saya tak salah menyebut, memang villa yang disewakan lengkap dengan peralatan dan lukisan sebesar gaban, meski minus kamar mandi di dalam karena belum direaksikan, tenang masih ada kamar mandi di luar yang mengharuskan Evelyn masuk ke sebuah lorong panjang dengan hanya berbekal closet saja (koreksi saya jika saya salah).
Sebelum Evelyn, kedua adiknya Arya (Rayhan Cornellis) dan Maya (Jessica Lucyana Taroreh) mengalami gangguan di tempat tidur dengan hantu memandang penyok dan berpakaian serba hitam yang jelas terlihat sekali buatan (dengan sentuhan CGI menutup) dan senyap akan dentuman musik layaknya kebanyakan jumpscare. Kain Kafan Hitam mempunyai kasus yang terbalik, tatkala hantu menampilkan musik begitu senyap, sebaliknya, tatkala menyoroti interior rumah, musik gubahan Joseph S. Djafar (Jailangkung, Jaga Pocong, Orang Kaya Baru) tampil menggelegar. Entah ini disengaja atau tidak, saya yakin ini adalah bentuk kelalaian yang dibuat oleh pembuatnya.
DARK ENCOUNTER (2019)
September 05, 2025
No comments
DARK ENCOUNTER (2019)
Sebagai invasi alien, Dark Encounter banyak mengambil referensi dari sang maestro filmnya sendiri, yakni Steven Speilberg, yang paling dominan adalah Close Encounters of the Third Kind (1977). Pun, setelahnya Dark Encounter sempat memasukan rasa Interstellar-nya Christopher Nolan di mana dramatisasi mengisi sebuah hubungan antar keluarga. Tindakan tersebut tentu saja bukan sebuah hal yang haram hukumnya diterapkan-melainkan sebagai sebuah bentuk kecintaan sang sutradara terhadap materi utama pula sang maestro sebagai kreatornya.
Sutradara itu bernama Carl Strathie, yang pada film panjang keduanya setelah Solis (2018) membangkitkan kembali genre yang sempat mati suri ini dengan segala gemerlap cahaya sebagaimana yang Speilberg lakukan sebelumnya. Kisahnya sendiri menyoroti sebuah kota kecil di bagian Pennsylvania di mana pada saat itu digegerkan dengan menghilangnya anak perempuan berusia 8 tahun bernama Maisie (nantinya diperankan oleh Bridget Doherty) pada tahun 1982.
Setahun berselang, kedua orang tuanya: Ray (Mel Raido) dan Olivia (Laura Fraser) serta sang kakak, Noah (Spike White) merayakan kedatangan Maisie dengan menggelar makan malam yang juga dihadiri saudara mereka, Billy (Sid Phoenix), Morgan (Vincent Regan) dan Arlene (Alice Lowe), turut hadir pula Kenneth (Grant Masters), sheriff setempat yang juga diwawancarai televisi setempat atas peringatan satu tahun hilangnya Maisie.
Duka masih menyimpan Ray dan Olivia yang merasa bersalah karena waktu itu meninggalkan Maisie sendirian di rumah. Sementara itu, Nuh menyalahkan sang ayah yang bersikap dingin terhadapnya. Makan malam yang berjalan kurang lancar diakhiri dengan kepergian Ray yang beralasan hendak mencegah muda-mudi yang menyalakan suar di tengah hutan, kemudian diikuti oleh para lelaki yang juga memastikan keberadaannya.
Setibanya di lokasi, mereka dikejutkan dengan cahaya terang berwarna biru dan kuning sementara gagak mulai terbang untuk berpindah tempat dan mengoceh pohon berjatuhan secara bergantian. Semakin mencekam ketika Morgan ikut menghilang membuat mereka memutuskan untuk kembali ke rumah dan mengalami hal serupa. Tambahkan listrik yang tiba-tiba padam dan perabotan mulai berterbangan.
Memanfaatkan ketidaktahuan dan keingintahuan karakternya, Dark Encounter berjalan perlahan sementara kamera hasil pengambilan gambar Bart Sienkiewicz (The Herd, Solis) sesekali menerapkan long-shoot dengan fokus utama menangkap aksi-reaksi sang karakter saat melakukan penyelidikan. Fokus utamanya jelas, membiarkan penonton ikut serta larut dalam proses yang mana berjalan sesuai harapan ketika batas keduanya belum jelas kebenarannya.
Hal tersebut efektif menyulut keingintahuan lebih dan atensi sepenuhnya terpatri ketika Carl Strathie yang ikut menulis naskahnya melibatkan penontok untuk membuka sebuah tabir misteri sesungguhnya. Semakin indah ketika sepanjang durasi serta berjalannya narasi, pantulan warna biru-kuning menciptakan sebuah efek magis nan estetika dalam raut wajah karakternya, terutama ketika metode mise-en-scène ditambahkan.
Paruh pertama berjalan menapaki genre fiksi ilmiah murni yang mengindikasikan sebuah invasi alien ke Bumi. Namun, Dark Encounter bukanlah sajian yang patuh terhadap satu genre saja setelah elemen thriller serta misteri diterapkan, Carl Strathie pun banting setir mempertebal sebuah drama kala memasuki paruh kedua yang kemudian mengeliminasi pandangan kita terhadap elemen fiksi miliknya.
Persentasenya terbilang kasar, di mana turning point seketika dimainkan tanpa suatu masa guna mencapainya. Benar, bahwa filmnya menampilkan kejutan yang sebelumnya tak diharapkan-meski setelah menikmati Interstellar-nya Nolan, personanya pun memudar. Dark Encounter pun mengalami sebuah kecacatan logika yang mana sedikit mengganggu tapi setelahnya bisa diterima. Pasalnya, Carl Strathie sengaja meleburkan logika dan mengambil jalan tengah guna membuka kegunaan pesan miliknya.
Saya sadar, terlalu banyak membandingkan Strathie dengan Nolan serta Spielberg yang mana tak adil rasanya mengingat ini adalah masalah mengenai jam terbang mereka. Dark Encounter memang tidak sepenuhnya gagal, saya masih menikmati proses gangguan cerita yang disajikan oleh Strathie guna mencari pangkal utamanya, meski sangat menghina, Strathie tak memberikan karaktetisasi lebih terhadap masing-masing karakternya yang membutuhkan kedalaman khusus alih-alih sebatas bermain di permukaan.Setidaknya, Dark Encounter kembali mengingatkan kita bahwa manusia tak ada mengubahnya dengan sebuah debu jika dibandingkan dengan alam semesta yang begitu luasnya, itu disajikan oleh Strathie secara tersirat kala menangkap satu-persatu gambaran semesta secara berurutan. Lalu mengapa manusia selalu ada besar ditengah nyali kecil yang seketika ciut jika bayangan pada kebenaran menyembunyikan segala kebusukan? Inilah yang seharusnya kita pikirkan dan renungkan.
JUDGEMENTALL HAI KYA (2019)
September 05, 2025
No comments
JUDGEMENTALL HAI KYA (2019)
Semula berjudul Mental Hai Kya-yang dianggap menyepelekan masalah kesehatan mental oleh Indian Psychiatric Society (IPS), pergantian menjadi Judgementall Hai Kya pun sejatinya tak ada bedanya selain lebih sopan tanpa nada sarkastik. Kesalahpahaman mengartikan seperti memang kerap dikeluhkan, dan pembuka pada filmnya, Judgementall Hai Kya memberikan disclaimer tersebut. Lebih jauh filmnya berjalan, entah ini suatu kebetulan atau bukan, Judgementall Hai Kya memberikan sebuah sentilan terhadap pelaku penghakiman, yang dewasa ini banyak sekali dilakukan.
Utamanya terhadap mereka yang dianggap berbeda dan mengidap penyakit mental. Alih-alih memberikan sebuah dukungan sebagai upaya pergerakan dan perubahan, para manusia justru mendorong lebih jauh sang pengidap ke lembah keterpurukan, yang tak jarang membuatnya seolah-olah ia adalah sebuah kesalahan yang seharusnya dilumpuhkan. Realita memang kejam seiring dengan hati nurani yang perlahan menghilang.
Semula berjudul Mental Hai Kya-yang dianggap menyepelekan masalah kesehatan mental oleh Indian Psychiatric Society (IPS), pergantian menjadi Judgementall Hai Kya pun sejatinya tak ada bedanya selain lebih sopan tanpa nada sarkastik. Kesalahpahaman mengartikan seperti memang kerap dikeluhkan, dan pembuka pada filmnya, Judgementall Hai Kya memberikan disclaimer tersebut. Lebih jauh filmnya berjalan, entah ini suatu kebetulan atau bukan, Judgementall Hai Kya memberikan sebuah sentilan terhadap pelaku penghakiman, yang dewasa ini banyak sekali dilakukan.
Utamanya terhadap mereka yang dianggap berbeda dan mengidap penyakit mental. Alih-alih memberikan sebuah dukungan sebagai upaya pergerakan dan perubahan, para manusia justru mendorong lebih jauh sang pengidap ke lembah keterpurukan, yang tak jarang membuatnya seolah-olah ia adalah sebuah kesalahan yang seharusnya dilumpuhkan. Realita memang kejam seiring dengan hati nurani yang perlahan menghilang.
Kepulangan Bobby ke rumah berbarengan dengan datangnya Keshav (Rajkummar Rao) dan Reema (Amyra Dastur) yang menyewa kamar lain di rumahnya. Keshav dan Reema adalah pasangan romantis dan harmonis, yang membuat Bobby rela menguntit demi melakukan kegiatan dan bahkan berimajinasi Keshav melakukan apa yang ia lakukan terhadap Reema. Hingga sebuah tragedi menimpa, Reema mati terbakar akibat cairan pestisida yang sengaja ditumpahkan. Pertanyaan terkait siapa pelaku utama muncul menuntut sebuah jawaban.
Ada dua tersangka, yakni Bobby dan Keshav. Bobby menganggap Keshav adalah pembunuh yang sebenarnya, sebaliknya, Keshav menuduh Bobby yang telah membunuh Reema setelah ia menuangkan cairan berbahaya untuk membakar dan membunuh kecoak yang selalu hinggap dirumahnya. Naskah tulisan hasil Kanika Dhillon (Ra. One, Manmarziyan, Kedarnath) menggiring penonton dengan membawa beberapa bukti pula opsi yang memberatkan Bobby hingga kualitas terhadap Keshav. Aksi whodunit ini berjalan menarik hingga cerita melebarkan sayapnya ke London ketika Bobby diminta sepupunya, Megha (Amrita Puri) untuk memainkan peran Sita dalam teater Ramayana, sementara ia terkejut menyaksikan Shravan, suami Megha yang ternyata adalah Keshav.
Ramayana bukan hanya sekedar panggung sandiwara, terhadap sebuah urgensi penting terhadap koherensi cerita pula kaitannya dengan perjalanan Bobby menyelesaikan segala permasalahan utama. Kita tahu bahwa Rahwana menculik Sita, sementara Sri Rama datang menyelamatkannya. Dalam Judgementall Hai Kya epos tersebut diberikan sebuah modernisasi yang mencakup para tokoh lainnya, sementara Sita dijadikan tokoh utama, filmnya turut menyentuh ranah pemberdayaan wanita.
Kecakapan tersebut membuktikan bahwa sutradara Prakash Kovelamudi (A Belly Full of Dreams, Size Zero, Once Upon a Warrior) mempunyai sensitivitas tinggi terhadap permasalahan masa kini. Selaras dengan mampu mengubah pikiran Bobby dalam sebuah peleburan sarat makna pula estetika, meski tak sepenuhnya berjalan sempurna. Sisipan komedi hitamnya pun terasa, yang kebanyakan divisualisasikan dalam balutan dialog pula adegan penggambaran ilusi Bobby.
Depresif. Kata-kata tersebut melekat kuat dalam filmnya, Judgementall Hai Kya adalah sebuah penelanjangan moral manusia yang dianggap gila dan berbeda. Filmnya memang tak memborbardir telingan dengan kompas moral-melainkan mengajak kita untuk membuka mata dan melapangkan pikiran demi menjauhkan sebuah anggapan yang tak sebatas berupa bualan. Karakter Shridhar (Jimmy Sheirgill), sutradara drama Ramayana adalah contoh kutub positif filmnya.
Menjelang konklusi, Judgementall Hai Kya bermasalah perihal membuka tabir kebenaran sang pelaku yang terburu-buru ditampilkan tanpa membiarkan penonton mencerna keabsahannya. Penyederhanaan pun diterapkan, di mana beragam informasi tersembunyi mendadak dijabarkan secara berurutan. Meski begitu, proses bermain korban sebenarnya cukup menyenangkan.
Kangana Ranaut adalah bintang utama filmnya, mungkin tanpa Kangana hasilnya takkan berjalan sempurna. Performa sang aktris dalam menampilkan ragam rasa pula tingkah spontan adalah sebuah pencapaian yang mengagumkan. Rajkummar Rao dalam penuh kharismatik seperti biasanya, duet keduanya menghasilkan sebuah tektokan penuh permainan menyenangkan.
Ditutup dengan voice over penuh kebanggan. Judgementall Hai Kya adalah sebuah perayaan bagi sebuah perbedaan dan keputusan untuk menjadi diri sendiri ketika menapaki jalan kehidupan yang kini diiringi dengan senyuman.
THE RENTAL (2020)
September 05, 2025
No comments
THE RENTAL (2020)
The Rental, sebagai penyutradaraan debut pertama Dave Franco memulai horornya dengan memperkenalkan masing-masing karakter di dalam dan luar kulitnya. Sedari awal, intens berupa anggapan dianulir dengan sebuah kebenaran-yang kemudian menyiratkan sebuah pertanyaan-yang nantinya dimainkan secara cerdas dan manusiawi. Horor yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan nyatanya bukan sekadar sebuah penampakan menyeramkan, lebih dari itu kejadian mengerikan hadir ketika kita dibohongi atau malah dipermainkan oleh seseorang yang kita cintai. Contohnya The Rental yang menusuk melalui Korporasi.
Didasari sebuah perasaan tidak nyaman saat Franco memilih persewaan Airbnb, The Rental berawal dari Charlie (Dan Stevens) yang memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan memilih persewaan lewat sebuah aplikasi demi menikmati pemandangan laut-pasca permintaan Mina (Sheila Vand), rekan sekaligus kekasih adik Charlie, Josh (Jeremy Allen White) ditolak karena menggunakan nama pengguna Mina Mohammadi yang dianggapnya sebagai perlakuan rasis dari sang pemilik.
Turut serta mengajak sang istri, Michelle (Alison Brie), mereka kemudian bertemu dengan Taylor (Toby Huss) sang pemilik properti yang ingin tempati mereka. Mina yang langsung mengkonfrontasi Taylor mengungkapkan bahwa dirinya merasa kurang nyaman setelah bertemu dengan Taylor-meski menganggapan itu ia urung keluhkan karena Josh berjanjinya dengan pernyataan bahwa uang persewaan telah masuk dan tujuan mereka adalah untuk bersenang-senang sambil menikmati pantai.
Menghabiskan sejam pertama (dari total durasi 88 menit) sepenuhnya bermain dengan karakter, dari sini The Rental mengeliminasi jumpscare dan menggantikan dengan ragam permainan menakutkan para karakternya, demi menjauhi spoiler, saya takkan mengungkap apa permasalahan utama yang nantinya menjadi "sisi horor" selain mengisyaratkan bahwa hal tersebut biasa terjadi dalam sebuah hubungan cinta atau hubungan pekerjaan secara luas. Franco yang ikut menulis naskahnya bersama Joe Swanberg (Drinking Buddies, Happy Christmas) berdasar ide cerita dari dirinya, Franco dan Mike Demski (Paman Nick) secara piawai menciptakan sebuah aksi chaos dengan menggerus rasa para karakternya yang dilanda kepanikan, kebingunan serta kecemasan di samping sebuah rahasia yang coba menutupi agar tidak diketahui.
Semuanya bersinergi dengan situasi, sementara memanggil pihak berwenang akan menjerumuskan pada sebuah masalah baru, The Rental bisa saja tampil dengan segala poblematika dewasa para karakternya, namun, Franco ingin menampilkan sebuah ancaman berupa wujud manusia yang terlihat-setelah sebelumnya menampilkan "hantu tak terlihat" yang mengharuskan The Rental banting setir ke ranah thriller dengan membawa getaran teror khas 80-an di mana ancaman hadir dari orang tak dikenal. Ketegangannya tampil cukup efektif, meski terkendala sebuah pacing yang terburu-buru, membuat karakternya mati tanpa memastikannya mendapat sebuah pengamatan yang benar-benar berarti (dalam arti kadar kesadisan rendah).
Barangkali itu bukan intensitas utama Franco pula tak memberikan kedalaman lebih terkait karakterisasi yang sekilas tampil di permukaan-meski dalam permainannya cukup menyenangkan. The Rental ditutup dengan ambigu, di mana filmnya mengisyaratkan sebuah kelanjutan dan Franco pun mengisyaratkan sebuah kemungkinan untuk sekuelnya. Berangkat dari sutradara debutan, The Rental sejatinya layak untuk disaksikan, meski setelahnya dengan mudah terlupakan. Mari kita nantikan kelanjutannya yang mengindikasikan sebuah harapan.
DIL BECHARA (2020)
September 05, 2025
No comments
DIL BECHARA (2020)
Dil Bechara memegang sebuah beban saat memutuskan untuk melakukan remake sekaligus adaptasi dari novel laris John Green, The Fault in Our Stars, yang pada enam tahun lalu mengubah sebuah disease porn dengan pesan menyentuh atas perayaan kehidupan seseorang yang terbingkai dalam sebuah kenangan. Melakoni debut perdananya sebagai sutradara, Mukesh Chhabra (sebelumnya merupakan seorang casting Director) bertanggung jawab atas romansa dua insan yang sama-sama memiliki kesamaan.
Kizie (Sanjana Sanghi) adalah gadis berdarah Punjab yang menderita kanker tiroid. Ini mengharuskannya memasang selang dan menghirup oksigen dari tabung bawaannya yang ia beri nama Pushpinder. Demi bisa hidup, Kizie harus mematuhi segala peraturan, baik itu dari kedua orang tuanya (diperankan oleh Swastika Mukherjee dan Saswata Chatterjee) maupun anjuran kesehatan berupa meminum obat rutin setiap saat. Singkatnya, kehidupan tersebut sangat membosankan baginya.
Hingga pertemuannya dengan Immanuel Rajkumar Junior alias Manny (Sushant Singh Rajput) dalam pentas seni memberikan warna baru terhadap kehidupan. Kizie mungkin tak bisa merasakan kehidupan gadis normal seperti harapannya, namun, ia bisa merasakan keindahan atas kebersamaannya bersama Manny yang selalu membawa pada sebuah pengalaman baru, seiring dengan tumbuhnya perasaan antar keduanya.
Manny adalah penderita osteosarkoma (kanker tulang) yang berkebalikan dalam memandang kehidupan dengan Kizie. Kehidupan bagi Manny adalah untuk bersenang-senang dan mewujudkan impian selama masih ada harapan dan tindakan. Itulah mengapa ia menghiraukan segala anjuran kesehatan dan tak segan untuk menghirup rokok sekalipun, karena menurutnya-kanker sudah menggerogoti tubuhnya.
Tak butuh waktu lama untuk Dil Bechara menampilkan segala sesuatu selain keindahan kematian yang siap datang kapan saja. Manny mengajak Kizie untuk bergabung bersamanya membuat sebuah film sarat elemen aksi milik Rajinikanth, di mana ini adalah mimpi salah satu sahabat mereka, Jagdish Pandey alias JP (Sahil Vaid) sebelum kehilangan kedua matanya di tengah glaukoma (kanker saraf mata) yang bisa kapan saja datang. Keputusan untuk tak mendramatisasi cerita adalah rasa yang masih dijaga oleh Chhabra sebagai warisan kekuatan pendahulunya.
Beberapa sub-plot memang terkesan tumpang-tindih dalam penyajiannya, termasuk ketika Chhabra menampilkan sebuah titik balik bagi konflik yang kurang sebuah build-up karena kedatangannya terasa tiba-tiba. Naskah hasil Shashank Khaitan (Humpty Sharma Ki Dulhania, Badrinath Ki Dulhania, Dhadak) dan Suportim Sengupta (Meri Pyaari Bindu) memang mampu menangkap pula menghasilkan sebuah esensi, meski tidak dengan kedalamannya yang tak sepenuhnya merata.
Meski demikian, Dil Bechara tetaplah sajian yang masih saya nikmati berkat aransemen musik dari A.R. Rahman yang penuh akan semangat beserta gubahan lirik Amitabh Bhattacharaya yang seirama dan senada dengan cerita, di samping sinematografi Satyajit Pande (Kahaani, Dead Ishqiya, Dangal) yang mampu menangkap keindahan Jamshedpur lengkap dengan segala spot miliknya cantik, favorit saya adalah taman penuh rongsokan kendaraan, yang juga dijadikan main poster sebagai bentuk promosi.
Konklusinya masih mampu mengundang air mata, terutama setelah kita melihat rekaman video kebersamaan Kizzie dan Manny yang di saat bersamaan menjadi sebuah perayaan atas penghormatan terhadap sosok tercinta. Pun, Dil Bechara mengubah kata Seri (dalam bahasa Tamil berarti Ok) begitu menyayat hati, yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya-setelah ia mengeliminasi keaslian sebuah dongeng yang sering dibaca nenek menegenai Ratu dan Pangeran yang abadi abadi. Ini adalah salah satu anggapan filmnya dalam memandang kematian sebagai sebuah kepastian.
Dalam peran pertamanya, Sanjana Sanghi memberikan sebuah performa berisi terhadap Kizie, itu dapat kita pahami hanya melalui voice over penuh pembawaan berarti. Sahil Vaid dan Saswata Chatterjee adalah karakter pendukung yang menyampaikan tawa pula rasa secara bersamaan, sementara kita tahu ini adalah peran terakhir yang dibawakan mendiang Sushant Singh Rajput, yang sekali lagi membutikan bahwa kepekaannya dalam merespons atau menciptakan situasi adalah salah satu keahlian murni. Kamu akan selalu dirindukan.
HOSPITAL PLAYLIST (2020)
September 05, 2025
No comments
HOSPITAL PLAYLIST (2020)
Pernah berduet bersama judul menghasilkan macam Reply 1997 (2012), Reply 1994 (2013) hingga Reply 1988 (2015-2016) yang singkatnya termasuk Reply Series-ini menandai kali keempat (atau kelima jika menghitung Prison Playbook) film Shin Won-ho bekerja sama dengan penulis Lee Woo-jung menghasilkan drama slice of life yang sarat akan makna pula hiburan. Hospital Playlist yang merupakan angsuran kedua dari seri Wise Life setelah Prison Playbook (2017-2018) masih menghadirkan drama kedokteran ringan di mana rumah dijadikan panggung sakit kehidupan para karakternya dalam menangani dan menyalamatkan seseorang dari kematian yang seolah duduk berdampingan.
Ini semua bermula dari kematian Presidir Yulje Medical Center yang mengalami kendala saat kelima anaknya enggan menggantikan posisi sang ayah, harapan sang istri, Jung Ro-sa (Kim Hae-sook) adalah menempatkan sang putera bungsunya, Ahn Jung-won (Yoo Yeon-seok) yang berakhir pada sebuah kepatuhan dan memilih untuk menguasai pendapatan bangsal VIP sementara pimpinan diserahkan kepada sahabat keluarga mereka, Jo Jong-soo (Kim Kap-soo).
Berdasarkan hal itu, Jung-won secara tak sengaja bereuni dengan keempat sahabat se-fakultas Universitas Nasional Seoul dan mengajak mereka untuk bergabung dan mengelola bangsal VIP. Tak mudah untuk membujuk mereka meski beragam fasilitas telah disiapkan, namun semua sirna kala satu kesepakatan dilontarkan oleh Yang Seok-hyung (Kim Dae-Myung) yang menyetujui bergabung jika mereka mulai berlatih dan bermain band lagi.
Band yang bernama Parasol Band ini terdiri dari Ahn Jung-won si dokter bedah pediatrik, Yang Seok-hyung si dokter spesialis Obstetri & Ginekologi (OBGYN), Kim Joon-wan (Jung Kyung-ho) si dokter bedah kardiotoraks, Lee Ik-joon (Jo Jung-suk) si dokter Hepatobiller-Pankreas sekaligus dokter umum dan satu-satunya wanita dalam band tersebut yakni Chae Song-hwa (Jeon Mi-do) si dokter bedah saraf. Hospital Playlist adalah potret kesekharian mereka di rumah sakit pula kehidupan pribadi masing-masing yang meliputi keluarga, romansa, dan cita-cita.
Berlangsung selama 12 episode, paruh pertama pembukanya berjalan lambat di mana butuh sekitar dua episode untuk terkoneksi secara penuh dengan cerita-yang mana bukan sebuah permasalahan karena setelahnya Hospital Playlist memberikan sebuah candu akan episode selanjutnya, ini terjadi kala Won-ho mulai memainkan drama persahabatan sesama dokter yang tersaji manis, menggemaskan dan membuat saya ingin bersatu bersama. Terlebih kala kehidupan pribadi masing-masing karakternya mulai disibak secara perlahan.
Barisan konfliknya memang tak luar biasa, namun cengkraman atas apa yang ditampilkan adalah sebuah perasaan yang tak biasa. Won-ho dan Woo-jung memastikan bahwa setiap permasalahan yang dimainkan tersalurkan dan bahkan menyulut sebuah kepedulian. Ada air mata yang tumpah, ada tawa yang tercurah bahkan ada cinta yang selalu merekah. Komposisi ini berjalan mulus merangkai sebuah kesolidan akan narasi yang tak henti-hentinya memberikan arti.Departemen artistik pun tak kalah unjuk gigi kala pengambilan kameranya gemar sekali mencipatakan sebuah gambar cantik nan estetis, entah itu lewat pemakaian single take maupun mise-en-scène, komparasinya jelas terasa nyata akan cerita pula pengalaman menontonnya.
Setiap episode selalu meninggalka kesan untuk diingat, termasuk konflik kontuniti masing-masing karakternya: Jeong-won yang lebih mencintai Tuhan dan memutuskan keluar dari kedokteran-sementara Jang Gyeo-wol (Shin Hyun-bin), rekan sesama residen diam-diam menaruh hati padanya, Seok-hyung dengan masalah keluarga yang semuanya berpangkal dari sang ayah di tengah Choo Min-ha (Ahn Eun-jin) yang secara terbuka mencintainya, Joon-wan yang harus sembunyi-sembunyi memadu kasih dengan Lee Ik-sun (Kwak Sun-young) demi menghindari Ik-joon, Ik-joon yang selalu menyembunyika luka dengan tawa dengan cara bergaulnya, serta Song-hwa di balik julukan "Setan" karena tak pernah terlihat lelah menyembunyikan rasa sakit dengan senyumnya, alasan tersebut membuat Ahn Chi-hong (Kim Jun-han) jatuh cinta padanya.
Memiliki kata playlist di judul utamanya, deretan lagu yang mengisi masing-masing episodenya begitu melekat di telinga pula memberikan sebuah efek besar sebagai penghantar emosi sesaat sebelumnya ditampilkan apa yang telah dan hendak terjadi. Diantara sekian lagu miliknya, Aloha menjadi perjalanan paling menyenangkan, You Always yang paling romantis, With My Tears adalah yang paling emosional dan Me to You, You to Me adalah yang paling berkesan sekaligus paling penting karena menutup episode terakhir musim pertamanya.
Deretan pemainnya memberikan kontribusi sesuai yang diharapkan, Jung-suk adalah yang paling asik, Yeon-seok sempurna menggambarkan kata "Malaikat", mata Dae-myung selalu berbicara ketika mengakomodir rasa, dan duet Kyung-ho dan Mi-do selalu membuat saya tertawa dan lapar ketika mereka menyantap jajangmyeon maupun tteobokki.
Penutupnya memang masih menyisakan tanya akan nasib para karakternya, Hospital Playlist akan melaju pada musim kedua di tahun depan yang membuat saya penasaran akan kelanjutan kisah karakternya. Meski menakutkan tak menutupnya dengan sebuah kepastian dan kebenaran, pengalaman menontonnya adalah sebuah hal yang tak terlupakan. Salah satu series Korea Selatan yang berhasil menggugah jiwa, rasa bahkan selera (percaya atau tidak, aku ketagihan jajangmyeon dan juga tteobokki).
ARJUN PATIALA (2019)
September 05, 2025
No comments
ARJUN PATIALA (2019)
Arjun Patiala dibuka oleh seorang sutradara (Abhishek Banerjee) yang membawakan sebuah naskah kepada sang produser (Pankaj Tripathi) dan mengaku bahwa ia kelaparan menulis naskah tersebut selama tiga tahun-sementara sang produser menolak untuk mendengarkan naskah dengan menganggapan ia sudah tiga kali membuat film berturut-turut dan hasilnya pun laku keras di pasaran. Poster dengan tampilan norak menghiasi dinding ruangan hingga piala Golden Kela Awards (semacam Razzie Awards bagi film terburuk) duduk kokoh di meja. Ini adalah bukti olok-olok bagi para pemilik produksi yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas.
Selain itu narasi yang menggambarkan penjelasan sang penulis sekaligus sutradara kepada produser, yang kali ini rela mendengarkan isi cerita setelah mengajukan beberapa checklist yang menurutnya luar biasa-di mana formula film laku keras harus ada banyak lagu, banyak aksi hingga di dalamnya wanita seksi seperti Sunny Leone (yang juga ikut tampil sebagai cameo dan mengisi trek lagu Crazy Habibi v/s Decent Munda) sementara fokus utamanya masih mengenai tokoh laki-laki seorang polisi, yang menjadi kegemaran tersendiri bagi sineas Hindi.
Hero No.1 bernama Arjun Patiala (Diljit Dosanjh), seorang inspektur yang diangkat melalui kuota juara judo yang kemudian ditempatkan di sebuah kota fiksi di Punjab bernama Ferozpur. Berangkat dari desa, wibawa Arjun sudah ia tunjukkan sebelum ia sampai di kantor dengan menghukum dua pengendara yang sengaja menumpahkan air minum kepada seorang wanita. Karakternya memiliki kompas moral, itu ditampilkan melalui ceramah yang ia sampaikan terkait perjuangan seorang ibu mengandung selama sembilan bulan yang kemudian dikaitkan dengan anjuran untuk menghormati wanita setelah hukumn memberishkan kantor polisi dilakukan.
Namun, Arjun bukanlah karakter yang sepenuhnya baik seperti yang dilakukan kebanyakan penghibur masala. Setelahnya, ia mengadakan pesta kecil-kecilan dan mengajak bawahannya, Onida Singh (Varun Sharma) untuk meminum minuman keras. Cukup menarik karena di film serupa kondisi seperti ini terjadi sebelumnya bukan setelahnya-yang mana menempatkan Arjun Patiala seutuhnya pada spoof comedy dengan sedikit sentuhan aksi.
Demi menurut straighforward-masala bagi sinema Hindi, harus ada Heroine No. 1 yang ditampilkan lewat tokoh wanita bernama Ritu Randhawa (Kriti Sanon), seorang jurnalis berita yang melaporkan para pelaku kejahatan di Ferozpur, yang menurutnya pihak kepolisian kurang telatan dan bahkan abai dalam menjaga keamanan. Tak makan waktu lama untuk keduanya saling bertemu dan juga jatuh cinta.
Lewat Ritu pula, Arjun mengetahui beberapa kejahatan kelas kakap di Ferozpur yang nantinya masing-masing disebut sebagai penjahat bernomor sekian, diantaranya: Baldev Singh Rana (Amit Mehra) yang sering meringkus polisi, Dilbaugh Singh (Himanshu Kohli) yang mempunyai masalah hemoglobin di penjara, Sakool (Mohammed Zeeshan Ayyub) yang menjalankan bisnis kotor di penjara hingga Anda (Sumit Gulati), adik Sakool yang menderita kebotakan dini. Keempatnya harus Arjun tangai demi mewujudkan impian DSP Amarjeet Singh Gill (Ronit Roy), yang ingin menjadikan Ferozpur sebagai kota bebas kejahatan.
Ditulis naskahnya oleh Sandeep Leyzeel bersama Ritesh Shah yang sebelumnya menghasilkan judul seperti Kahaani (2012), D-Day (2013), hingga Pink (2016), Arjun Patiala sepenuhnya mengandalkan kalimat klise hingga ragam guyon ringan yang kebanyakan bergerak tak tepat sasaran. Komedi sejatinya relatif, namun apa yang ditampilkan di sini adalah olok-olok kekanak-kanakan yang kurang mendalam-meski terkait relevansi setia dikedepankan yang menampilkan beberapa karakternya, termasuk Seema Pahwa yang memerankan MLA Prapti Makkad yang oleh masyarakat disebut Properti Makkad.
Nantinya, Arjun Patiala akan mengungkap sebuah konspirasi nyata yang dilakukan para petinggi kepolisian hingga para dewan dalam mengotori bisnis dan perlindungan dalam jabatan penuh kesucian. Ini mungkin sudah kita saksikan di kebanyakan film Bollywood serupa-yang mana bukan sebuah kesalahan mengingat ini adalah spoof comedy. Masalahnya bukan terletak di sana, melainkan pemaparannya yang tak mulus dalam menyampaikan olok-olok mengena alih-alih setia pada jalur komikal. Alhasil, apa yang disampaikan pula titik balik filmnya urung terasa bahkan mengena seperti yang seharusnya.
Sutradara Rohit Jugraj (Jatt James Bond, Khido Khundi, Superstar) memang belum cakap dalam merangkai pengadeganan, ini terbukti kala Arjun Patiala hendak memasuki konklusi yang kentara sarat simplifikasi dalam membungkus gelaran aksi berbasis komedi canggung yang sebatas aksi menampilkan petak umpet, tak lebih. Setidaknya, duet Diljit Dosanjh dan Varun Sharma menghandirkan sebuah kesenangan ketika bersama sementara Kriti Sanon tak lebih dari sebuah eye candy penghias cerita di samping misi menampilkan film dalam film yang tak sepenuhnya bekerja.
RAAT AKELI HAI (2020)
September 05, 2025
No comments
RAAT AKELI HAI (2020)
"Aku mencurigai semua orang. Bisa jadi siapa saja, seseorang yang lebih berani dan lebih tersiksa dariku, tapi aku tidak kenal orang seperti itu". Demikian ucapan Radha (Radhika Apte) ketika ditanya oleh Inspektur Jatil Yadav (Nawazuddin Siddiqui) mengenai keterangan yang melayangkan dirinya melakukan pembunuhan kepada sang suami, Raghubeer Singh (Khalid Tyabji) di malam pernikahannya. Raghubeer dibunuh dengan satu tembakan dan hantaran keras di kepalanya, sementara pemakaman pernikahan dipenuhi bunga dan darah. Kejadian ini baru ditemukan oleh Vikram Singh (Nishant Dahiya) sang keponakan pada jam dua belas malam.
Semua keluarga mengira Radha sengaja melakukan pembunuhan dengan tuduhan ingin menguasai seluruh harta sang suami. Pun sebaliknya, Radha menyangkal melakukan hal itu. Kecurigaan bertambah kala kesedihan yang dirasakan masing-masing anggota keluarga. Singkatnya, mereka tidak ingin menampilkan melodrama dan menerima apa yang telah terjadi. Setidaknya, ini menurut Vasudha Singh (Shivani Raghuvanshi), saudara Vikram yang tidak dekat dengan sang kakek.
Apakah hal tersebut semata-mata mata ungkapan murni atau sebatas kedok penutup diri? Kita tidak tahu pasti selain hanya bisa menarik anggapan bahwa seluruh keluarga terlibat dalam pembunuhan terstruktur-yang bahkan juga melibatkan sang pembantu, Chunni (Riya Shukla) yang lupa membersihkan sebagian lampu di permukaan tangga. Semua orang di dalam rumah tersebut adalah tersangka-yang kemudian dicari kebenarannya oleh Jatil Yadav.
Raat Akeli Hai berpijak pada sebuah cerita detektif klasik mengikuti kesuksesan Knives Out-nya Rian Johnsson yang sukes memainkan teka-teki secara menyenangkan. Pun, nafas tersebut benar-benar terasa setelah narasi cerita yang kebanyakan terinspirasi oleh gaya tutur Agatha Christie dalam novelnya. Sutradara debutan Honey Trehan terbilang lancar memainkan hal tersebut, setelah sebelumnya membuka sekuen filmnya dengan penuh kenyamanan dan kegelapan di samping kamera menekankan sebuah long shot-yang kemudian disusul oleh sebuah kejadian brutal yang nantinya disebut flashback.
Terkait "bagaiaman dan mengapa", Raat Akeli Hai justru lebih menarik kala menyibak "siapa pelaku utama sebenarnya?" yang mana menghasilkan sebuah permainan menyenangkan ketika dihadapkanakan pada setumpuk karakter yang semuanya mencurigakan. Dari sini, filmnya sudah memenuhi standarisasi film whodunit yang siap menggerakan sayap ke ranah interogasi polisi demi menggantikan peran detektif yang biasanya menangani hal ini.
Meski tak semuanya tampil merata, interogasi yang dilakukan selalu memunculkan sebuah petunjuk baru yang siapa untuk dibedah, yang ternyata melibatkan orang luar keluarga yang berpengaruh terhadap kejadian. Ini berarti skalalisasi narasi melebar tinggi, yang pada kesempatan lain ikut menjawab sebuah tragedi masa lalu keluarga bersama dampaknya yang sekarang terasa.
Naskah tulisan hasil Smita Singh (Sacred Games) solid memparakan hal tersebut pula menjembatani sebuah tragedi sekaligus menjadi awal mula segala perkara. Raat Akeli Hai pun tak lupa menanamkan sebuah pola di mana patriarki mengakar kuat di dalamnya. Ini sebenarnya bisa menjadi sebuah mencatat kuat meskipun dalam kaitannya tak begitu terasa karena naskah memilih untuk bermain secara pasti terhadap apa yang kemungkinan akan terjadi dan ini tentu bisa dipahami bahkan bisa jadi dapat diterima.
Dibalik sikap kerasnya dalam menangani kasus, Jatil Yadav merupakan korban dari ketidakbenaran persepsi, di mana ia dinilai kurang karena belum menikah, sementara desakan dari sang ibu (Ila Arun) terus terjadi. Hasilnya adalah sebuah ketidakpercayaan diri terhadap yang mana yang ditampilkan melalui sebuah adegan saat Jatil rutin memakai krim Fair & Lovely hanya untuk mencerahkan kulit hitamnya-yang menjadi salah satu keenganan salah satu wanita yang ditanyai ibunya terhadapnya. Ini adalah salah satu bentuk ketidaksempurnaan yang masing-masing dimiliki oleh karakternya pula tindakan manusiawi demi mewujudkan apa yang mestinya terjadi, yang secara tak langsung menimbulkan sebuah petunjuk kecil terhadap kebenaran kasus.
Memasuki paruh ketiga, Raat Akeli Hai mulai menampilkan sekuen aksi berupa kejaran-kejaran yang sesekali melibatkan peluru. Kehadirannya memang memberikan sebuah variasi sekaligus menjadi jalan sebuah simplifikasi yang mestinya dilakukan dalam membuka sebuah kebenaran bagi sebuah konklusi.
Konklusinya memberikan sebuah jawaban setimpal meski keteteran kala dibuka secara dadakan. Setidaknya, kekurangan tersebut membuka sebuah sisi lain perihal yang menampilkan ketegangan dalam balutan emosi para pelakunya yang semakin tergerus dan terpojok seiring penyebaran yang diutarakan. Dari sini pula kita melihat performa luar biasa dari jajaran para pemainnya, termasuk Nawazuddin Siddiqui, Radhika Apte dan Padmavati Rao di lini terdepan dalam melakukan sebuah aksi olah rasa sempurna.
THE WRETCHED (2019)
September 05, 2025
No comments
THE WRETCHED (2019)
Diluar torehan prestasinya dalam merajai tangga box-office selama pekan keenam berturut-turut (terakhir kali dan hanya terjadi sejak Avatar), The Wretched garapan Brett Pierce dan Drew T. Pierce (disebut juga The Pierce Brothers) setelah Deadheads (2011) adalah drama remaja dengan kedok horor di masa tersulitnya setelah mengakui bahwa kedua orang tuanya telah berpisah. Di dalam kulit terdalamnya, horor dalam film ini adalah personifikasi atas ketakutan-ketakutan yang akan terjadi dan tentu dialami oleh sang anak, seperti ketakutan akan dilupakan oleh kedua orang tua setelah mereka memiliki pasangan.
Ben (John-Paul Howard) adalah remaja yang kini mencoba tinggal bersama sang ayah, Liam (Jamison Jones) di masa liburnya-setelah mengetahui bahwa kedua orang tuanya resmi bercerai. Hal ini mengharuskan Ben untuk beradaptasi kembali dengan lingkungan pula marina tempat sang ayah dan juga Ben bekerja. Tinggal di rumah sang ayah membuat Ben banyak menghabiskan waktu di rumah-yang mana muncul sebuah keanehan tatkala tetangga sebelah rumahnya, Abbie (Zarah Mahler) tiba-tiba mengakui bahwa dirinya memiliki dua orang anak. Pun, santer berita bahwa anak-anak tiba-tiba hilang tanpa jejak.
The Wretched mungkin akan mengingatkan Anda pada Rear Window-nya Alfred Hitchcock di mana aktivitas menguntit tetangga yang dilakukan Ben di samping kesehariannya di marina-yang mana nantinya akan menjadi obsesi tersendiri bagi Ben dalam mengamati bahkan mencari kebenaran terhadap seseorang yang di duga mencurigakan. Bukan tanpa alasan, Ben pernah melihat Abbie di suatu malam menuju ke sebuah hutan sambil membimbing Dillon (Blane Crockarell) anak lelakinya yang kini raib keberadaannya. Semakin aneh tatkala Abbie sering bolak-balik menuju rubanah miliknya.
Meski pemecahan masalah utamanya sering mengambil jalan tengah berupa ragam informasi yang selesai diketahui lewat internet saja, penyutradaraan Pierce Brothers selalu menyulut atensi tatakala ia tak segan untuk menampilkan kematian seorang anak secara brutal disertai penampakan mengerikan kala wujud sang hantu/monster perlahan diperlihatkan mulai dari lekuk tubuh hingga gerakan meliuk-liuk yang seketika menimbulkan kesan seram. Eksploitasi ini menjadikan The Wretched sebagai horor yang jauh dari kesan murahan, terlebih kala Pierce Brothers tahu betul kapan memainkan timing dan pacing.
Disusul scoring Devin Burrows (Deadheads) yang kebanyakan tampil pelan tetapi ampuh mengundang ketakutan seiring dengan kamera hasil pengambilan gambar Conor Murphy (Mickey and the Bear, Black Swell, Moondog Airwaves) menampilkan adegan yang kebanyakan tidak menerapkan metode khusus selain menggerakan kamera sesuai kebutuhan, sebagian besar adegan dari The Wretched adalah apa yang kebanyakan kita temui dari horor indie kebanyakan, di mana cerita berisi atas petunjuk yang nantinya terungkap lewat twist.
Dari sini, The Wretched kembali bermasalah tatkala naskah yang juga ditulis oleh Pierce Brothers menyederhankan aspek penceritaan. Sebutlah beberapa karakter yang keberdaannya diperlukan terlalu banyak akibat ketiadaan urgensi lebih pula kedalaman, ini pula terjadi pada karakter bernama Mallory (Piper Curda), rekan kerja sekaligus teman Ben yang juga ikut terlibat-pula konklusi lemah yang kekurangan sebuah eksplorasi demi seketika menghadirkan konklusi.
Bohong memang jika saya tidak menikmatinya, The Wretched mempunyai horor yang cukup kuat untuk menghasilkan amunisi yang tak mumpuni. Pierce Brothers mempunyai sensitivitas dalam menggarap, ini terbukti melalui departemen dan pengaturan artistik filmnya. Pesan yang semula diusung harusnya tersampaikan secara penuh alih-alih sebatas berjalan di permukaan lalu terlupakan setelah filmnya usai.
AFTER MET YOU (2019)
September 05, 2025
No comments
AFTER MET YOU (2019)
"Ini bukan tahun 90-an". Demikian ujaran Ara (Yoriko Angeline) kepada Ari (Ari Irham) ketika ia menggombalinya-yang seketika menyetil Dilan 1990 (2018) dalam menjalankan roda penceritaan. After Met You yang disadur dari novel berjudul sama buatan Ari Irham bersama Dwitasari-mungkin tak menerapkan itu dalam mengakomodir tontonan berbasis remaja dengan memilih memberi landasan lebih terhadap karakternya, meski pada akhirnya semuanya jatuh sebatas pernak-pernik belaka kala fokus cerita sebatas memenuhi checklist film remaja. Tidak lebih.
Mari simak sepenggal cerita. Ari adalah anak populer di SMA yng digandrungi banyak wanita, ia bahkan memiliki mantan sebanyak 113 orang, yang kebanyakan ia putuskan tanpa alasan yang jelas. Singkatnya, Ari adalah seorang playboy sekaligus bad boy. Ari juga merintis karir musiknya dengan rutin merilis lagu bernuansa DJ. Suatu ketika, tantangan berupa taruhan datang dari teman-temannya yang tergabung dalam The Daks (Dede Satria, Chicco Kurniawan, Yudha Keling), di mana Ari diminta untuk mendapatkan hati Ara yang introvert dan terang-terangan membencinya.
Dengan jaminan uang 5 juta, Ari memulai aksinya yang mana menghabiskan sejam guna merealisasikannya, menghadirkan sebuah jalinan kosong terhadap cerita di mana penetrasi kentara terasa. Rutinitas ceritanya tidak jauh dari hubungan tarik-ulur antar keduanya, yang mana seperti bisa kita tebak perlahan nantinya Ara akan lumpuh, sementara Ari mulai rubuh dalam mempertahankan tendensi utamanya.
Belum cukup sampai disitu, sub-plot tambahan hadir melalui karakter Azka (Naufan Raid Azka), murid baru yang juga menaruh perasaan terhadap Ara. Terdapat masa lalu antar keduanya yang membuat Ari cemburu dan bahkan membenci Azka yang sering bertemu Ara. Konfliknya berjalan datar, ketiadaan urgensi lebih menyulitkan penonton untuk memahami apa yang terjadi hanya sebatas alasan yang kurang mendalam.
Menyusul setelahnya, After Met You perlahan membuka alasan karakter yang erat kaitannya dengan hubungan keluarga. Alasan Ari menjadi bengal adalah ketiadaan hubungan yang harmonis dengan sang ayah (Surya Saputra). Ini seharusnya bisa tampil secara mendalam daripada sebagai alasan yang sebatas berjalan di permukaan kalau bukan karena kelemahan naskah hasil tulisan Haqi Achmad (Ada Cinta di SMA, Meet Me After Sunset, R: Raja, Ratu, & Rahasia) yang terlampau menyembunyikan konflik utama agar menciptakan sebuah twist bersama dengan sebuah sentuhan disease porn setelahnya.
After Met You memang penuh sesak dalam menampilkan konflik, yang berakhir pada mengabaikan sebuah build-up atas rentetan permasalahan tersebut. Berpengalaman menyutradarai film remaja lewat Ada Cinta di SMA (2016) dan CJR the Movie: Lawan Rasa Takutmu (2015) setidaknya Patrick Effendy mampu menghadirkan nuansa cukup manis dalam romansa antar keduanya, yang ia buktikan lewat sekuen penutup dengan iringan lagu After Met You yang easy listening itu.
Kamis, 04 September 2025
LORONG (2019)
September 04, 2025
No comments
LORONG (2019)
Premis Lorong sejatinya menarik. Berpotensi mengecoh penonton dengan kebenaran dan halusinasi. Singkatnya, Lorong bisa jadi tontonan semacam Flightplan (2005) yang menyulut atensi dengan memainkan opini pribadi. Sayang, niatan tersebut urung terlaksana kala Lorong sendiri kesulitan dalam mengejawantahkan naskah miliknya yang terjebak pada sebuah pola berulang yang melelahkan. Klise? Memang benar.
Setelah melahirkan, Mayang (Prisia Nasution) dikejutkan dengan berita bahwa anak pertamanya bersama sang suami, Reza (Winky Wiryawan) telah dinyatakan meninggal. Mayang dengan tegas menolak dan yakin bahwa Reno (nama yang nantinya ingin diberikan kepada sang buah hati) masih hidup. Bukti fisik berupa foto dan surat kematian telah ditunjukan oleh dr. Vera (Nova Eliza), namun Mayang tetap tak bergeming dan bahkan memutuskan untuk mencari sang buah hati sendiri.
Nantinya, cerita akan menyoroti Mayang dalam mencari sang buah hati, di mana adegan akan menampilkan pola berikut: Mayang bangkit dari kasur-mencabut infus-menyusuri lorong-berteriak-ulangi. Reptisi memang bisa diakali, terbukti dengan banyaknya sutradara di luar sana yang sudah membuktikannya, sebutlah dalam film bertema time loop macam Happy Death Day. Ini bukanlah perihal pola melainkan kemalasan dalam bercerita.
Naskah yang ditulis oleh Andy Oesman (The Sacred Riana: Beginning) memang sejatinya tak memiliki daya hingga tak sanggup untuk menjawab pertanyaan sederhana semisal "Apakah Mayang benar-benar halusinasi?" yang semula dijadikan sebuah pondasi. Ketimbang memainkannya, naskahnya kemudian mengungkap kebenaran sebelum waktunya, yang mana membuat Lorong kembali berjalan ke ranah yang berbeda. Apakah ini sebuah langkah berani? Bisa dibilang iya, meski terlalu banyak risikonya.
Benar saja, jalinan cerita memasang pemaparan baru yang ditujukan untuk membuka sebuah twist setelah membuang paruh pertama dan kedua dengan sebuah kejutan. Ketika ingin memainkan sebuah teritori baru, Lorong pun mengalami hambatan kala paruh ketiga terlampau melelahkan. Akibatnya, apa yang ditampilkan di layar pun sudah kehilangan ketertarikan sebelum sepenuhnya terungkap kebenarannya.
Twist-nya berpotensi tampil menyenangkan jika tak dibarengi sebuah kecanggungan. Terdapat referensi terkait pemaparannya yang melibatkan judul seperti Rosemary's Baby-nya Roman Polanski hingga Suspiria-nya Luca Guadagnino. Sayang, harapan tersebut urung terjadi akibat konklusi terlampau tampil tiba-tiba tanpa penanaman sebelumnya.
Selaku kali pertama sutradara Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar) mengarahkan horor, kentara Hestu belum menguasai teknik. Kamera permainan yang kurang menunjukkan kengerian hingga konklusi yang seharusnya tampil berani dan melipatgandakan kekerasan dan darah adalah salah satu kelemahan yang diantaranya gagal tersampaikan.
Saya terlampau sibuk Menyebutkan beragam kelemahan yang seharusnya bisa dimaafkan hingga melupakan kesalahan terbesar Lorong dalam menggulirkan roda penceritaan. Ini merujuk pada keterpaksaan dalam menampilkan sosok hantu yang sama sekali urung berdampak pada cerita-selain keberadaannya hanya untuk dilihat oleh penonton, bukan dirasakan oleh sang karakter utamanya. Ini adalah sebuah bentuk kekeliruan dalam membenamkan status horor yang selalu identik dengan menampilkan penampakan.
Padahal, kehilangan buah hati untuk pertama kali sudah lebih horor daripada hantu gentayangan, yang sudah jelas terasa fisik dan psikologisnya. Prisia Nasution membawakan karakter Mayang dengan penuh usaha, sayang semuanya urung ditunjang dengan para pemeran pendukung yang seharusnya bisa mengimbangi kekalutan dan kecemasan yang dirasakan Prisa. Sementara saya bertanya kapan Prisia kembali mendapat film berkualitas setelah berhasil meraih Piala Citra?
LOOTCASE (2020)
September 04, 2025
No comments
LOOTCASE (2020)
Bagi karyawan swasta seperti Nandan (Kunal Khemu) menemukan koper merah berisi uang tunai sebanyak 10 crore adalah sebuah keberuntungan. Pun, kita sebagai manusia biasa ketika dihadapkan pada situasi seperti itu, jiwa matrealistis meronta-ronta untuk segera mengambilnya. Opsi yang dilakukan Nandan pun mewakili kebanyakan dari kita yang memanfaatkannya untuk keperluan rumah tangga bahkan demi hidup mewah sekalipun. Namun, timbul pertanyaan: Apakah uang tersebut selamanya menjadi milik kita atau terdapat orang lain yang coba untuk dibawa?
Bukan karena tanpa koper merah disembunyikan di dekat toilet pekerja. Nandan pun jelas memahaminya dan apa yang ditakutkan benar terjadi. Perlahan tapi pasti, uang tersebut diduga merupakan milik menteri korup bernama Patil (Gajraj Rao) yang hendak di kirimkan ke menteri lain-namun mengalami insiden tatkala anak buah dari Bala (Vijay Raaz) merebutnya-setelahnya sirine polisi muncul dan kemudian diselundupkan di dekat toilet.
Hal ini menyebabkan sebuah tatkala koper merah dinyatakan hilang. Patil kemudian meminta bantuan Inspektur Kolte (Ranvir Shorey) setelah menekannya dengan penuh kelihaian. Pun, Bala juga tidak tinggal diam dan mengirim dua anak buahnya untuk membuntuti Kolte. Sementara Nandan berpura-pura menjadi koper merah dari hadapan sang istri, Lata (Rasika Dugal). Lingkaran setan berupa perebutan uang tunai pun dilakukan.
Lootcase menggiring penonton pada situasi komedi yang merupakan poros adegan. Beragam permasalahan seputar perebutan uang mungkin hanya sebatas alasan guna menjabarkan penceritaan di tengah kebohongan penulis Kapil Sawant (Banjo) menghadirkan sebuah hubungan bagi konflik yang kentara terasa kasar. Meski begitu, paruh ceritanya mempunyai alasan individu terhadap masing-masing karakternya yang mewakili ragam keserakahan.
Nandan si penemu keberuntungan beranggapan bahwa uang adalah milik para diktator korup dan bukan sebuah kesalahan jika ia memanfaatkannya untuk menutupi krisis finansial keluarga di mana sang istri selalu mengeluh kehabisan gula dan tututan sang anak, Aayush (Aryan Prajapati) yang selalu menekannya. Menteri Patil begitu takut kehilangan citra, Kolte takut kebusukannya terbuka-sementara Bala tidak pernah merasa puas atas pencapaiannya.
Penokohan masing-masing karakter sudah dirasa cukup dalam memainkan sebuah peran guna membuka kedok komedi hitam miliknya yang sepenuhnya dipusatkan pada komedi situasional. Hasilnya adalah sebuah permainan yang cukup intens dan tak jarang mengendur. Beberapa informasi tambahan terkadang sebatas pernak-pernik belaka daripada memperkuat sebuah pengadeganan. Ini termasuk ketika naskahnya mengungkap sebuah file rahasia yang kurang akan sebuah kepentingan.
Untungnya, Lootcase memiliki barisan pemain dengan performa gemilang. Kunal Khemu dengan segala comic-relief-nya menghadirkan lakon bertenaga. Ranvir Shorey bekerja dalam menangani komedi hitam, Gajraj Rao kembalikuhkan bahwa dia memiliki komedi timing yang kuat dalam menangani beragam situasi, sementara predikat MVP jatuh kepada Vijay Raaz yang selalu menggunakan nama ilmiah hewan dalam menjabarkan sebuah tindakan berbekal tontonan National Geraphic yang rutin ditontonnya.
Memasuki konklusi, Lootcase menghadirkan sebuah aksi free fire yang menyenangkan di mana masing-masing karakter dipertemukan dalam satu ruangan, menghadirkan sebuah gelaran komedi deadpan yang sukses menyulut tawa berkat kepiawaian sutradara debutan Rajesh Krishnan dalam menanganinya. Andai momen seperti ini hadir lebih banyak, Lootcase bisa jadi tontonan yang tak hanya sebatas hiburan.
AT ETERNITY'S GATE (2018)
September 04, 2025
No comments
AT ETERNITY'S GATE (2018)
Ini bukan sejarah resmi, ini versi saya. Satu yang kuharap bisa membuatmu lebih dekat dengannya". Demikian ucap sutradara Julian Schnabel (Basquiat, Before Night Falls, The Diving Bell and the Butterfly) dalam sebuah wawancara-yang mengeliminasi pola narasi biografi konvensional di mana filosofi lebih dikedepankan daripada pergerakan. Ini sengaja diterapkan mengingat Schnabel ingIn menduplikasikan cerita seperti cara van Gogh menorehkan cat minyak ke-yang bagi kebanyakan orang terlalu timbul (tanpa mengetahui sebagian arti) mengutip van Gogh yang tak mampu.
Mendiang Vincent van Gogh diperankan oleh Willem Dafoe (dalam performa luar biasa baik gerak maupun olah rasa, yang seketika akan mengingatkan anda dengan penampilan totalitasnya dalam The Temptation of Christ) dalam cerita yang mengikuti tahun-tahun terakhir sang maestro sebelum wafat, di mana cerita berjalan secara episodik, menggambarkan kehidupan Vincent van Gogh di Arles dengan segala tekanan batin yang melandasinya, mulai dari perlakuan kasar masyarakat yang gila hingga kemelut dalam dirinya tatkala menghasilkan sebuah lukisan-yang tak laku di pasaran karena dinilai tidak konvensional.
Sesekali, Vincent menuruti keinginan pasar hingga mendengar pendapat rekan pelukisnya, Paul Gauguin (Oscar Isaac) yang menyuruhnya untuk melukis di ruangan tertutup bukannya di alam terbuka yang hanya sebatas meniru tanpa hasil sempurna. Vincent menyanggah dan mengatakan bahwa meskipun ia melukis alam tetapi ia melukis dan menghasilkan adalah perspektifnya terhadap alam. Paul kemudian membahas pembicaraan, menilai bahwa Vincent belum berusaha untuk melukis dan menyuruhnya untuk belajar memegang kuas dengan benar.
Perilaku gaslighting serta sinisme semacam itu sering terjadi dalam At Eternity's Gate, yang kemudian dijadikan sebuah ladang bagi Schnabel menampilkan beragam persoalan batin yang ditampilkan melalui sebuah monolog bernada lirih hingga yang paling mencolok adalah perpaduan suara ketiga sebagai wujud ungkapan rasa seorang Vincent yang sengaja ditabrakan ketika sebuah dialog dimainkan. Menyusul kemudian adalah tata artistik berupa membiarkan layar berwarna hitam sementara voice-over (yang beberapa di antaranya diambil dari surat Vincent kepada sang adik, Theo, disini diperankan oleh Rupert Friend) berlangsung. Penggunaan kamera yang mengandalkan metode goyah serta close-up pun diniatkan sebagai wujud pendekatan penonton terhadap karakter, bahkan ketika Vincent menorehkan tinta ke papan pun, gambarnya menangkap keseluruhan sebuah ciptaan.
At Eternity's Gate merupakan ajang pamer gaya visual dan bukan sarana bercerita. Namun itu bukan berarti para pembuatnya meremehkan narasi, melainkan dikurangi. Visi Schnabel memang tinggi dalam menghadirkan sebuah makna filosofis yang seiring durasi berjalan-sempat terkendala kala menginjak paruh ketiga di mana filmnya menapaki sebuah metode berlawanan. Untungnya, ini bukan sebuah masalah yang patut diperdebatkan, mengingat pencapaian mayornya lebih besar daripada kesalahan kecil yang tak sepadan.
Dalam sebuah adegan yang merupakan hasil kepiawaian naskah yang ditulis oleh Schnable bersama Louise Kugelberg dan Jean-Claude Carrière (Birth, Goya's Ghosts, A Bigger Splash) menampilkan sebuah pembicaraan intim van Gogh sesaat sebelum keluarnya ia di Saint-Rémy-de-Provence bersama seorang Pastor (Mads Mikkelsen), di mana Pastor menilai kewarasan dan mempertenyakan ragam lukisannya, van Gogh dengan bangga dan percaya bahwa Tuhan menjadi "pelukis untuk orang yang belum lahir". Ini merupakan titik balik sekaligus pencapaian terbaik filmnya yang berhasil menjawab segala stigma masyarakat mengenai pemikiran dirinya. Seiring berjalannya zaman, terbukti bahwa lukisan yang diciptakan van Gogh adalah sebuah mahakarya yang jarang dimiliki seorang seniman, Museum van Gogh di Belanda adalah bukti nyata ungkapan tersebut.
menyusul keputusan yang diambil oleh film animasi van Gogh berjudul Loving Vincent (2017), Schnabel menutup konklusinya dengan mengambil teori penulis Steven Naifeh dan Gregory White Smith dalam novel biografinya yang bertajuk Van Gogh: The Life, di mana dikatakan bahwa Vincent van Gogh tidak bunuh diri melainkan menjadi korban pembunuhan yang tidak disengaja serta permainan curang. Konklusinya memang tak didramatsisai, sama halnya dengan kejadian pemotongan telinga van Gogh yang dijadikan sorotan tersendiri, karena pada dasarnya At Eternity's Gate adalah sebuah wujud cinta Schnabel terhadap van Gogh dengan segala pemikiran seninya selain membuka mata dan melihat kita dalam menerima sesuatu yang berbeda sebelum menonton luar biasa
HOST (2020)
September 04, 2025
No comments
HOST (2020)
Melalui Host, sutradara Rob Savage (Strings, Dawn of the Deaf) memanfaatkan kreativitas guna mengakali produksi selama masa pandemi yang bukan sebuah kemustahilan untuk dijalani. Memanfaatkan media zoom meeting sebagaimana kita ketahui pernah dipakai sebelumnya dalam Unfriended (2014) bersama sekuelnya, Unfriended: Dark Web (2018) hingga yang paling tenar, Searching (2018). Host melakukan pekerjaan serupa yang berhasil menyulut sebuah kengerian tak terduga, pasalnya baik karakter maupun penonton sama-sama tak mengetahui apa yang seharusnya terjadi.
Haley (Haley Bishop) adalah tuan rumah pertemuan yang berani yang mengajak rekannya untuk melakukan pemanggilan arwah via online guna mengisi batasan yang membosankan. Undangan pertemuan itu terdiri dari: Jemma (Jemma Moore), Emma (Emma Louise Webb), Radina (Radina Drandova), Caroline (Caroline Ward) dan Teddy (Edward Linard) sementara Seylan (Seylan Baxter) sebagai paranormal memimpin mereka dalam menjalankan ritual dengan bermodalkan lilin dan para peserta membayangkan posisi melingkar dengan bantuan gelombang isochronic sebagai penyeimbang gelombang energi dunia nyata dengan alam gaib.
Naskah tulisan hasil Savage bersama Gemma Hurley dan Jed Shepherd (Dawn of the Deaf, Slashed) sadar betul bahwa pemanggilan tersebut merupakan sebuah kekonyolan yang menggelikan, ini dilakukan oleh Jemma yang mempermainkan ritual tersebut dengan merangkai sebuah rahasia-yang kemudian ditanggapi serius oleh para rekannya. Siapa sangka kekonyolan ini berakhir membuka sebuah ketakutan terbesar bagi karakter pula penonton.
Tak langsung tancap gas, Savage memulai sebuah induksi terlebih dahulu menampilkan para karakternya serta sedikit kehidupan pribadinya melalui sebuah percakapan singkat sebelum panggilan. Dari sini, setidaknya kia paham betul masing-masing tokohnya akan bertindak bagaimana selama 40 menit zoom meeting kedepannya, jika mereka membayangkan situasi yang tak biasa hasilnya adalah sebuah ketakutan yang tak terduga.
Kepiawaian Savage dalam merangkai teror tersaji cukup efektif berkat pemanfaatan momen yang tak dapat diendus kehadirannya, fase "menunggu" ini bahkan sempat menghasilkan tajinya kala sebelum melakukan serangan, Savage memanfaatkan fitur zooming yang cukup mengagetkan berupa pergantian wajah dengan tampilan menakutkan. Setelahnya adalah neraka sesungguhnya di mana kepanikan dan kecemasan karakter dan penonton sama besarnya.
Saya beberapa kali terperanjat dari kursi bahkan sempat memundurkan layar sebagai aksi mengurangi ketakutan, ini membuktikan bahwa Savage lihai dalam mentransmisikan koneksi-yang selama filmnya berjalan tampil kontuniti. Entah itu berupa penampakan acak hingga ragam kematian brutal karakternya sukses menjadi sebuah ketegangan tersendiri.
Serupa kebanyakan film bertema serupa, Savage banyak menggunakan teknik shaky cam yang cukup memusingkan, walaupun demikian, ragam jump scar-nya tersaji efektif berkat akurasi timing pula pacing. Dengan durasi 56 menit dari keseluruhan filmnya menjadikan Host sebagai tontonan yang padat dalam menutupi selubung cerita. Alur mungkin tidak terlalu diperhatikan, tetapi eksekusinya tidak bisa dianggap remeh, menyusul kemudian adalah tata artistiknya yang menawan di mana credit tittle-nya pun ditampilkan dalam bentuk Zoom.
Menyandang status sebagai film yang diproduksi selama pandemi, Host menorehkan sebuah prestasi tersendiri terkait pemanfaatan kondisi "new normal" yang tak menutup sebuah keinginan menciptakan sebuah karya. Mari kita nantikan langkah apa lagi yang ingin dicapai para pembuat film dalam mendobrak sebuah batas kemustahilan.
COMMANDO 3 (2019)
September 04, 2025
No comments
COMMANDO 3 (2019)
Bagaimanapun, Commando 3 adalah film aksi milik Vidyut Jammwal yang kembali memerankan Karanveer Singh Dogra, perwira militer yang kembali menjalankan tugas negara. Misi kali ini adalah perihal memberantas aksi terorisme yang disebarkan melalui video dan menyulut para jihadis untuk melangsungkan aksi yang tak hanya dari kalangan Muslim saja, tapi Hindu.
Pembukanya menampilkan aksi provokasi di mana seorang muslim menguji keimanan dua anak buahnya untuk membunuh anak sapi sebagai contoh wujud abdi. “Ini hanyalah perihal setetes darah”. Demikian ucapan sang pria terbutakan oleh agama pula harta (mereka menerima sejumlah uang sebagai ketidakseimbangan).
Setelahnya, mereka ditangkap oleh polisi guna diinterogasi-yang berakhir pada sebuah kenihilan informasi. Dari sini, Commando 3 sempat menampilkan potret perasaan para keluarga di mana salah seorang wanita berkata lebih baik di sebut seorang ibu yang memiliki anak muslim daripada seorang ibu yang memiliki anak teroris, juga pengorbanan seorang ayah yang rela menjual jam tangan demi membeli gitar untuk sang anak-harus menerima bahwa pengorbanan tersebut berakhir sia-sia ketika sang anak membenamkan fakta bahwa bermain gitar adalah haram.
Naskah tulisan hasil Darius Yarmil dan Junaid Wasi menerapkan paham fanatisme terhadap agama di mana cap “haram” dan “kafir” dijadikan pandangan tersendiri. Ini sebenarnya sudah cukup sebagai aksi kritisi-sementara mengenai pondasi, naskahnya menyimpan setumpuk tanya yang dibiarkan menggantung. Sebutlah latar belakang sang antagonis yang tak memiliki alasan kuat selain sebatas kebencian terhadap agama.
Belakangan diketahui bahwa tiga pria tersebut menerima bantuan uang dari London, membawa Karanveer bersama Bhavna Reddy (Adah Sharma) menyelidiki sang dalang dengan bantuan Badan Intelijen Inggris di mana mereka mengirimkan Mallika Sood (Angira Dhar) dan Armaan Akhtar (Sumeet Thakur) untuk mengungkap aksi misteri yang dicanangkan akan dilakukan pada 9/11, tepat pada perayaan Diwali.
Aksi pencarian melalui komputer dilakukan, sementara penonton sudah mengetahui bahwa sang dalang adalah Buraq Ansari (Gulshan Devaiah). Penerapan ironi dramatis ini sejatinya urung menghasilkan sebuah koneksi setelah identitas sang pelaku ditampilkan terlampau dini-sementara cerita membutuhkan sebuah eksplorasi yang diharapkan dapat membuka motif utama daripada sebatas menjawabnya dengan menampilkan sebuah kekerasan yang dilakukan secara off-screen, meski terkait dampak, ia menyimpan sebuah afeksi tersendiri tatkala kekerasan tersebut sengaja dilakukan di depan sang putera, Abeer (Athrava Vishwakarma) yang dicecoki segala macam tetek-bengek memahami agama sesuai ajaran jihadis.
Commando 3 menyimpan setumpuk penceritaan di mana Islamophobia bukan sebatas tumpuan belaka, terhadap pesan anti radikalisme pula kedamaian antar agama yang hendak disampaikan setelahnya, meski untuk menuju kesana naskahnya tepogoh-pogoh dalam mencapainya.
Setidaknya, menggulirkan aksinya adalah sebuah kenikmatan tersendiri kala ragam aksi tangan kosong yang ditampilkan melalui performa bertenaga seorang Vidyut Jammwal, yang seperti biasa piawai melakukannya. Pun, keputusan meniadakan romansa memberikan sebuah kepadatan bagi aksi yang melibatkan kedua protagonis wanitanya mengambil alih layar, baik Adah Sharma maupun Angira Dhar, keduanya memancarkan aura hammer girl yang tak pelak mengundang para pembuat film untuk memakainya kembali. Gulshan Devaiah mungkin tak berperan dalam aksi, namun aura jahat begitu terasa dalam dirinya yang tak segan menghabiskan nyawa dengan cara keji setelah menyaksikan seseorang menghidupkannya.
Aksi adalah penjualanan utama franchise Commando sedari awal, dan sangat menakutkan tatkala memasuki konklusi, Commando 3 mengambil jalan yang terlampau mudah guna memberdayakan sang dalang-yang tak seharusnya dilakukan mengingat serangkaian aksi sebelumnya menghadirkan sebuah kepuasan.
Sutradara Aditya Datt (Aashiq Banaya Aapne: Love Takes Over, Good Luck!, Table No. 21) terlampau terburu-buru karena ingin membuka sebuah pesan perdamaian antar umat beragama dengan jalan memanfaatkan kekuatan teknologi digital. Pesannya mungkin sederhana dan bahkan tampil instan, namun apa yang ditampilkan setelahnya adalah sebuah kehangatan dan kekuatan yang luar biasa ketika dua pemeluk agama saling bersatu menciptakan sebuah harmonisasi yang diharapkan terjadi di masa kini.
PENINSULA (2020)
September 04, 2025
No comments
PENINSULA (2020)
Selaku sekuel mandiri bagi Train to Busan, Peninsula menerapkan segala aspek lazim bagi sekuel film laris di mana selain anggaran ditambahkan ($16 juta sementara film pertama $8.5 juta) cerita ditutupi-yang kemudian membentuk sebuah zona bermain baru bagi para zombie haus mangsa. Positifnya, sang kreator mampu menciptakan sebuah dunia baru di mana ia menghabiskan waktu untuk menampilkan karakteristik berupa aturan utama zombie, meski ini dirasa kurang cukup saat guliran pengisahannya mengalami penurunan drastis.
Mengambil setting empat tahun pasca kejadian di film pertama, kisahnya menyoroti Jung-seok (Gang Dong-won) mantan kapten marinir yang diliputi rasa bersalah atas kematian sang kakak dan keponakannya setelah sebelumnya gagal ia selamatkan di sebuah kapal dan terlanjur terinfeksi oleh zombie. Pertanyaan terkait diketahui mengapa bisa ada seorang penumpang yang tak terinfeksi memang mengganjal selain untuk membuka sebuah dobrakan tanpa memperhatikan skema aturan virus yang dapat bereaksi lebih cepat.
Bersama para penyintas lainnya termasuk Chul-min (Kim Do-yoon) sang kakak ipar, Jung-seok yang hidup dalam keputusanasaaan di Hong Kong menerima tawaran menggiurkan untuk kembali ke Incheon dan mengambil sebuah truk berisi makanan dan uang senilai US $20 juta di semenanjung (Peninsula dalam bahasa Inggris) yang telah dikarantina. Dari sini, mereka harus berhadapan kembali dengan para zombie haus mangsa setelah menerima uang $2.5 juta yang telah mereka pegang.
Bukan lagi menyelamatkan urusan hidup, Peninsula juga memainkan dan memasukkan moralitas Jung-seok yang menurut Chul-min tak lebih dari sekedar brengsek. Misi ini pun bukan hanya sebatas menerima uang saja melainkan pembuktian Jung-seok setelah bangkit dari keputusasaan dan melawan rasa takutnya. Naskah yang ditulis oleh Park Joo-suk (Train to Busan) bersama Yong-jae Ryu dan sang sutradara Yeon Sang-ho (Train to Busan, Seoul Station, Psychokinesis) memberikan sebuah petunjuk tersebut sedari awal durasi dan hanya untuk dijawab ketika filmnya mencapai konklusi.
Peninsula penuh dengan ambisi membuatnya tampil beda dengan pendahulunya di mana guliran aksi dilipatgandakan sementara narasi dilebarkan. Zombie bukan hanya satu-satunya bahaya yang siap menyerang, hantu dalam wujud nyata lain hadir melalui sekelompok milisi nakal yang memotret dirinya sebagai "Unit 631" dengan Sersan Hwang (Kim Min-jae) sebagai pemimpin.
Pun, nantinya Jung-seok akan bertemu dan bergabung bersama Min-jung (Lee Jung-hyun), penyintas dalam wujud ibu tangguh yang pantang menyerah dan berlawanan dengan Jung-seok. Dinamika keduanya urung terasa akibat ketiadaan rasa selain sebatas senasib sepenanggungan. Ini yang sangat memalukan, kala Peninsula kekurangan ikatan yang mana sangat dibutuhkan, baik itu bagi karakter maupun penonton.
Untuk menggantikannya, Sang-ho melipatgandakan aksi yang bak perpaduan Fast & Furious dengan Mad Max: Fury Road lengkap dengan pertandingan di atas air melawan zombie. Hiburan mungkin dapat diperoleh, namun perasaan serupa dengan film pertama tidak. Semenanjung begitu mudah dilupakan setelahnya.
Terkait narasi, Peninsula pun tampil klise, diperburuk dengan penerapan CGI artifisial yang mengurangi sebuah kenikmatan. Terlebih menjelang konklusi, Sang-ho memkasakan sebuah melodrama sarat penguluran. Imbasnya adalah sebuah adegan cringey yang jauh dari kesan menyentuh, menyusulnya adalah titik balik instan bagi karakter utama yang membutuhkan sebuah pemaparan daripada sebuah jawaban instan. Setidaknya, visualisasi post-apocalyptic-nya tampil mumpuni daripada aksi zombie yang melayang dalam urutan panjang yang tak pernah saya mengerti.
September 04, 2025
No comments