Jumat, 05 September 2025

DARK ENCOUNTER (2019)

DARK ENCOUNTER (2019)

Sebagai invasi alien, Dark Encounter banyak mengambil referensi dari sang maestro filmnya sendiri, yakni Steven Speilberg, yang paling dominan adalah Close Encounters of the Third Kind (1977). Pun, setelahnya Dark Encounter sempat memasukan rasa Interstellar-nya Christopher Nolan di mana dramatisasi mengisi sebuah hubungan antar keluarga. Tindakan tersebut tentu saja bukan sebuah hal yang haram hukumnya diterapkan-melainkan sebagai sebuah bentuk kecintaan sang sutradara terhadap materi utama pula sang maestro sebagai kreatornya.

Sutradara itu bernama Carl Strathie, yang pada film panjang keduanya setelah Solis (2018) membangkitkan kembali genre yang sempat mati suri ini dengan segala gemerlap cahaya sebagaimana yang Speilberg lakukan sebelumnya. Kisahnya sendiri menyoroti sebuah kota kecil di bagian Pennsylvania di mana pada saat itu digegerkan dengan menghilangnya anak perempuan berusia 8 tahun bernama Maisie (nantinya diperankan oleh Bridget Doherty) pada tahun 1982.

Setahun berselang, kedua orang tuanya: Ray (Mel Raido) dan Olivia (Laura Fraser) serta sang kakak, Noah (Spike White) merayakan kedatangan Maisie dengan menggelar makan malam yang juga dihadiri saudara mereka, Billy (Sid Phoenix), Morgan (Vincent Regan) dan Arlene (Alice Lowe), turut hadir pula Kenneth (Grant Masters), sheriff setempat yang juga diwawancarai televisi setempat atas peringatan satu tahun hilangnya Maisie.

Duka masih menyimpan Ray dan Olivia yang merasa bersalah karena waktu itu meninggalkan Maisie sendirian di rumah. Sementara itu, Nuh menyalahkan sang ayah yang bersikap dingin terhadapnya. Makan malam yang berjalan kurang lancar diakhiri dengan kepergian Ray yang beralasan hendak mencegah muda-mudi yang menyalakan suar di tengah hutan, kemudian diikuti oleh para lelaki yang juga memastikan keberadaannya.

Setibanya di lokasi, mereka dikejutkan dengan cahaya terang berwarna biru dan kuning sementara gagak mulai terbang untuk berpindah tempat dan mengoceh pohon berjatuhan secara bergantian. Semakin mencekam ketika Morgan ikut menghilang membuat mereka memutuskan untuk kembali ke rumah dan mengalami hal serupa. Tambahkan listrik yang tiba-tiba padam dan perabotan mulai berterbangan.

Memanfaatkan ketidaktahuan dan keingintahuan karakternya, Dark Encounter berjalan perlahan sementara kamera hasil pengambilan gambar Bart Sienkiewicz (The Herd, Solis) sesekali menerapkan long-shoot dengan fokus utama menangkap aksi-reaksi sang karakter saat melakukan penyelidikan. Fokus utamanya jelas, membiarkan penonton ikut serta larut dalam proses yang mana berjalan sesuai harapan ketika batas keduanya belum jelas kebenarannya.

Hal tersebut efektif menyulut keingintahuan lebih dan atensi sepenuhnya terpatri ketika Carl Strathie yang ikut menulis naskahnya melibatkan penontok untuk membuka sebuah tabir misteri sesungguhnya. Semakin indah ketika sepanjang durasi serta berjalannya narasi, pantulan warna biru-kuning menciptakan sebuah efek magis nan estetika dalam raut wajah karakternya, terutama ketika metode mise-en-scène ditambahkan.

Paruh pertama berjalan menapaki genre fiksi ilmiah murni yang mengindikasikan sebuah invasi alien ke Bumi. Namun, Dark Encounter bukanlah sajian yang patuh terhadap satu genre saja setelah elemen thriller serta misteri diterapkan, Carl Strathie pun banting setir mempertebal sebuah drama kala memasuki paruh kedua yang kemudian mengeliminasi pandangan kita terhadap elemen fiksi miliknya.

Persentasenya terbilang kasar, di mana turning point seketika dimainkan tanpa suatu masa guna mencapainya. Benar, bahwa filmnya menampilkan kejutan yang sebelumnya tak diharapkan-meski setelah menikmati Interstellar-nya Nolan, personanya pun memudar. Dark Encounter pun mengalami sebuah kecacatan logika yang mana sedikit mengganggu tapi setelahnya bisa diterima. Pasalnya, Carl Strathie sengaja meleburkan logika dan mengambil jalan tengah guna membuka kegunaan pesan miliknya.

Saya sadar, terlalu banyak membandingkan Strathie dengan Nolan serta Spielberg yang mana tak adil rasanya mengingat ini adalah masalah mengenai jam terbang mereka. Dark Encounter memang tidak sepenuhnya gagal, saya masih menikmati proses gangguan cerita yang disajikan oleh Strathie guna mencari pangkal utamanya, meski sangat menghina, Strathie tak memberikan karaktetisasi lebih terhadap masing-masing karakternya yang membutuhkan kedalaman khusus alih-alih sebatas bermain di permukaan.Setidaknya, Dark Encounter kembali mengingatkan kita bahwa manusia tak ada mengubahnya dengan sebuah debu jika dibandingkan dengan alam semesta yang begitu luasnya, itu disajikan oleh Strathie secara tersirat kala menangkap satu-persatu gambaran semesta secara berurutan. Lalu mengapa manusia selalu ada besar ditengah nyali kecil yang seketika ciut jika bayangan pada kebenaran menyembunyikan segala kebusukan? Inilah yang seharusnya kita pikirkan dan renungkan.

0 komentar:

Posting Komentar