Selasa, 24 Juni 2025

 Women From Rote Island - Perempuan Berkelamin Darah (2024)


Pemeran: Linda Adoe, Irma Rihi, Sallum Ratu Key, Van Jhoov, Willyam Wolfgang, Yulius Oktavianus Bani, Leonard Leo Leba, Chelsi Tasi, Putri Diana Soares Moruk, Maria Dona Ines
Sutradara: Jeremias Nyangoen
Studio: Bintang Cahaya Sinema, Langit Terang Sinema
Sudah sembilan hari jasad Abram tak datang dimakamkan. Hal tersebut terpaksa harus dilakukan oleh sang mertua yaitu Ibu Orpa (Linda Adoe) karena mengikuti surat wasiat yang ditulis oleh Abram sebelum meninggal. Wasiat tersebut meminta untuk dikuburkan dengan disaksikan langsung oleh istrinya, Martha (Irma Rihi) yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita di Malaysia. Berbagai cara dilakukan oleh Orpa agar anaknya bisa segera dipulangkan ke Kupang NTT. Ia meminta bantuan pada kerabatnya yaitu Habel (Yulius Oktavianus) untuk berkoordinasi dengan kepala desa dan menghubungi pihak imigrasi agar bisa memulangkan Martha ke Indonesia.
Memasuki hari ke-10, Martha berhasil ditarik ke kampung halamannya. Kedatangan Martha disambut penuh suka cita sekaligus duka oleh keluarga, sahabat dan para tetangganya. Adik dari Martha yaitu Bertha (Sallum Ratu Key) sangat senang akhirnya bisa bertemu kembali dengan sang kakak setelah sekian lama berpisah. Damar (Van Jhoov) pun senang ikut bisa melihat lagi Martha karena sudah lama tidak bertemu sejak Martha menikah dengan Abram dan pergi menjadi TKW ke Malaysia. Jasad Abram pun bisa dimakamkan sesuai wasiatnya. Disaat semua orang bersedih dengan proses pemakaman Abram, berbeda dengan Martha yang hanya melamun dengan dokumen kosong. Hal tersebut membuat Orpa khawatir akan anaknya itu.
Keesokan harinya, kondisi Martha masih belum ada perubahan. Ia tidak bisa diajak berbicara dan hanya berbaring seharian di kamar. Bertha curiga jika kakaknya mengalami gangguan mental gara-gara bekerja di Malaysia. Namun ia tak pernah takut untuk berinteraksi dengan Martha. Setiap sepulang sekolah, Bertha selalu mengajak sang kakek di depan rumah dan berkeliling desa. Hingga suatu ketika, Martha pergi ke hutan dan menaiki pohon untuk melihat sarang burung. Tak lama setelah itu, Martha berteriak meminta tolong pada Bertha karena tidak bisa turun. Untungnya ada dua remaja laki-laki teman dari Bertha yang diam-diam mengikuti Martha. Bertha pun meminta bantuan pada kedua temannya itu untuk membantu menurunkan Martha dari pohon. Saat turun dari pohon, Martha dan kedua laki-laki itu juga ikut terjatuh. Kejadian tak terduga menimpa Martha karena salah satu dari mereka melecehkannya. Martha tersulut emosi dan langsung mengejar kedua remaja tersebut sambil membawa batang kayu. Kejadian tersebut membuat warga desa menjadi khawatir kepada Martha yang dianggap seperti orang gila dan membahayakan warga. Pihak keluarga hanya bisa meminta maaf kepada warga dan berjanji akan menjaga Martha agar tidak berbuat aneh lagi.
Waktu terus berlalu, kondisi kesehatan dan mental Martha belum mengalami perubahan. Ia jarang sekali berbicara meskipun sudah diajak oleh ibu dan adiknya. Disaat keluarganya sedang sibuk dengan pekerjaan rumah, Martha pergi ke hutan dan mencari sarang burung yang kemarin ia ambil. Tak lama kemudian, seorang pemuda desa bernama Ezra (Willyam Wolfgang) yang membawa motor mendekati Martha yang sedang sendirian di hutan. Ezra lalu menawarkan diri untuk membantu Martha mengembalikan sarang burung tersebut ke atas pohon dengan satu syarat yaitu ikut dirinya mengambil tangga yang ada di dekat tebing. Martha hanya bisa mengangguk, lalu dia ikut dengan Ezra.
Setibanya di tebing, Ezra berusaha melecehkan Martha dan membaringkannya di atas pasir pantai. Martha histeris dan berteriak minta tolong. Martha lalu meraih apapun dengan tangannya dan langsung dipukulkan ke kepala Ezra. Ia langsung bangun dan pergi meninggalkan tebing. Saat berlari, Ezra yang terbangun dan langsung mengejar Martha. Martha semakin berani melawan. Ia mengambil kayu rotan dan menusukkannya ke bagian punggung Ezra. Ezra lalu pergi dari hutan dan mencari pertolongan ke rumah warga. Martha yang amarahnya semakin tak terkendali terus mengejar Ezra. Untungnya Bertha melihat hal tersebut dan langsung berusaha menenangkan kakaknya itu. Namun sayang, Martha yang masih membabi buta terus mencari keberadaan Ezra dan akhirnya membakar rumah yang menjadi tempat persembunyian Ezra
Aksi Martha yang membakar rumah warga tersebut membuat pemilik rumah mengalami kerugian yang cukup besar. Mereka menuntut keluarga Martha untuk mengganti rugi. Setelah berdiskusi dengan kepala adat, akhirnya disepakati kesepakatan kompensasi total kerugian yang sebagian nominalnya akan dibantu oleh keluarga Martha. Pihak kepala desa kemudian menyarankan Orpa untuk memasung Martha untuk sementara waktu agar tidak menimbulkan masalah baru di desa. Pihak keluarga pun akhirnya setuju dengan keputusan itu. Orpa, Bertha dan Damar berjanji akan rutin merawat Martha setiap hari meskipun harus dipasung dan tidak tinggal satu rumah dengan mereka.
Martha kini terpaksa harus memenuhi permintaan warga dan kepala desa. Martha hanya bisa mengingat dan meratapi kesedihannya karena harus mengalami situasi seksual ditengah kondisi mentalnya yang belum pulih. Selama tempat tinggalnya terpisah dari rumah, Martha lagi-lagi mengalami kejadian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pihak keluarga sangat histeris saat mengetahui kejadian yang menimpa Martha dan berusaha mengungkap pelakunya. Akankah keluarga Martha bisa mendapatkan keadilan?
Namun yang membedakannya, film ini terbilang jauh lebih gamblang dalam menampilkan cerita tragis dari para korban yang misterius. Jeremias Nyangoen cukup berani mengangkat tema ini dengan menambahkan pula kritik sosial tentang penegakan hukum, isu Tenaga Kerja Indonesia ilegal, budaya masyarakat serta patriarki yang memang masih bisa ditemukan di daerah-daerah terpencil. Hampir sepanjang durasi film, aku merasa depresi dan kurang nyaman ketika harus mengikuti keluarga Ibu Orpa yang terus-terusan mengalami kejadian tak terduga. Bahkan sampai film usai, penonton tidak diberi kesempatan untuk bisa bernafas lega dan tenang saat mengetahui akhir nasib dari keluarga Ibu Orpa ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan penonton. Sang sutradara benar-benar berhasil menyajikan film ini secara autentik, sesuai fakta dan tidak memberikan happy ending kepada penontonnya

0 komentar:

Posting Komentar