Agustus 24, 2025
LA TAHZAN: CINTA, DOSA, LUKA...
Selepas Ipar Adalah Maut, hadirlah La Tahzan (lengkap dengan sub-judul Cinta, Dosa, Luka...) yang menandai kolaborasi kedua seorang Hanung Bramantyo bersama kreatornya, Elizasifaa. Adaptasi yang (masih) berdasarkan utas TikTok miliknya (yang konon terinspirasi dari kejadian nyata) ini membuat sebuah carbon-copy, menggantikan adik ipar dengan Asisten Rumah Tangga (ART) yang hanya sekadar perubahan kecil. Selebihnya, kurang lebih sama, bedanya film ini bergerak pembohong dan tiba-tiba banting setir ke arah yang tidak terduga.
Masih perihal kehidupan rumah tangga bahagia, di mana Alina (Marshanda) seorang pengusaha di bidang jasa titip tas tak ragu untuk menyebut sang suami, Reza (Deva Mahenra) sebagai orang dibalik kesuksesannya. Kehidupan rumah tangga mereka sangat bahagia, terlebih setelah hadirnya buah hati tercinta, Rere (Rachael Mikhayla) dan sang adik yang masih batita, Malik (Mikaeel Pahlevi Saputra). Karena kesibukannya, Alina juga menyewa ART untuk mengurus Malik melalui yayasan penyalur yang kemudian menunjuk Asih (Ariel Tatum). Di ujung rumah tangga Alina dan Reza menemui bencana.
serupa film bertema sama pada umumnya, kedatangan Asih mampu menarik simpati Alina dan Reza karena kepekaan dan ketangkasannya dalam merawat Malik, meski di saat yang sama, Bi Kar (Asri Welas), asisten senior, menyimpan rasa curiga lewat gelagat anehnya yang menyimpan sebuah maksud tertentu. Jelas anggapan tersebut ditepis oleh Alina dan Reza yang memperkirakan hanya berprasangka buruk.
Naskah hasil Hanan Novianti (Galaksi, Mohon Doa Restu, Saiyo Sakato) tak memberikan sebuah pembaharuan signifikan selain setia mempertahankan pakem, itulah mengapa paruh awalnya menghabiskan banyak durasi hanya untuk diisi oleh rangkaian dialog sederhana yang bertujuan membangun cerita secara gamblang. Hal tersebut memang bukan sebuah masalah selama sang pembuat mampu merangkainya dengan baik, namun yang terjadi pada La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... adalah sebuah cara untuk mempertebal durasi tanpa adanya sebuah tujuan yang berarti.
Tak butuh waktu lama untuk kita menyaksikan jalinan terlarang antara Reza dan Asih yang mampu menyulut sumpah serapah para penontonnya seolah-olah tengah menonton sajian opera sabun di televisi. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, Hanung paham betul bagaimana mengolah hal tersebut guna menjaga ketegangan penonton di depan layar. Keputusan ini justru membuka sebuah pengulangan yang sekali lagi, hanya sebatas mempertebal durasi.
Memang, sajian semacam La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... bukanlah sajian yang terbilang pintar. Kesengajaan untuk menyulut emosi memang tujuan utama pembuatan filmnya, yang pada titik ini mungkin akan memecah persepsi penonton. Mereka yang akan setia menonton pada layar berpikir tanpa tetek-bengek penceritaan, dan mereka yang merasa filmnya bak sebuah pengulangan dengan tujuan mengeruk pundi finansial semata. Sayangnya, saya berada pada barisan kedua.
Bohong apabila saya tak terhibur sepenuhnya oleh drama opera sabun ciptaan Hanung Bramantyo, namun dengan durasi yang memakan waktu dua jam lebih (tepatnya 139 menit) filmnya sarat akan tarik-ulur yang sejatinya bisa tampil padat tanpa mengganggu keseluruhan cerita. Beberapa karakter pun berakhir hanya sebuah pernak-pernik semata tanpa terasa urgensinya. Patricia Gouw dan Reza Nangin yang masing-masing berperan sebagai sepasang pasutri sekaligus sahabat dekat Alina dan Reza adalah dua nama yang harus kena batunya.
Memasuki paruh kedua, emosi penonton terus digerus hingga batas maksimal, yang rasanya sumpah serapah saja tak cukup untuk mewakilinya. Berbeda dengan Ipar Adalah Maut yang setiap kemunculannya mampu menghadirkan sebuah antisipasi, La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... tampil nihil urgensi. Jelas, ini adalah penurunan akibat ketamakan sang sutradara dalam menyajikan momen dan adegan atau adegan serupa namun tak sama.
Beruntung, La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... memiliki jajaran pemain yang kapasitasnya tak perlu diragukan lagi. Marshanda tampil dengan emosi yang meledak-ledak sesuai keinginan cerita, sementara kombo Ariel Tatum dan Deva Mahenra menciptakan sebuah api yang semakin disulut semakin membesar dampaknya. Kehadiran Asri Wela dan Bendictus Siregar sebagai Kang Karyo, bertugas memberikan sebuah penyeimbang dengan celotehan receh miliknya.
sama yang telah saya singgung sebelumnya, paruh ketiga La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... banting setir ke arah yang tak terduga, seolah memainkan mode autopilot yang melipatgandakan "adegan horor menjadi horor". Seolah mengamini FTV azab dan sajian khas televisi pada umumnya, di titik ini filmnya mungkin akan memuaskan dahaga para target utamanya, meski jika ditilik secara filmis, filmnya jelas meninggalkan transisi kasar dan sedikit kacau (beruntung tak mengganggu laju filmnya secara berkat petunjuk sederhana yang terlampau umum pada umumnya).
Konklusinya pun mengambil jalan pintas berkedok kesempatan kedua dengan menyerahkan semuanya pada ajaran agama. La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... mungkin bukan sajian yang sengaja dibuat untuk menghadirkan sebuah pertunjukan berkualitas, para pembuatnya pun sadar akan hal itu. Namun, pasca Ipar Adalah Maut yang mampu memberikan dan menyeimbangkan antara permintaan dan keputusan, rasanya film ini mengalami penurunan yang cukup signifikan.
0 komentar:
Posting Komentar