Senin, 18 Agustus 2025

INANG (2022)

INANG (2022)

Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya sangat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Demikian pula, seperti difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang pengaturan tempat jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dimiliki beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tidak memberikan perubahan.

Mengedepankan horor-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI buatan (monster di Creature 3D lebih baik dibandingkan ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.

Barisan karakternya pun demikian, di buat atas pelengkap dasar tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug Ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.

Mereka adalah pasangan orang tua, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou) yang semenjak kedatangan Wulan telah menunjukkan kasih sayangnya. Mudah memahami kenyamanan yang dirasakan oleh Wulan, meski penonton kita tahu bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kebaikan kedua orang tua tersebut. Dari sini sebuah ironi dramatis diterapkan, yang mana membawa narasinya perlahan tapi pasti menggiring penonton masuk ke sebuah rumah misteri, sebagaimana tikus yang bersamaan dengan kedatangan Wulan yang terperangkap dalam kurungan.

Penyutradaraan Fajar Nugros pun demikian, ia tengah bersenang-senang dengan sebuah mode menunggu malapetaka yang akan datang yang secara cermat ikut melempar sebuah semiotika maupun metafora lain (tikus, bubur, patung harimau, bunga) yang berjasa besar bagi filmnya untuk dekat ke ranah art house, meskipun beberapa di antaranya acap kali terlihat gamblang, namun itu bukanlah sebuah masalah selama penerapannya tak salah sasaran.

Horornya sendiri bermula dari sebuah ketidaknyamanan yang sepanjang durasi perlahan disibak kebenarannya, favorit saya adalah tatkala Nugros menampilkan sebuah adegan mimpi yang tampak surealis. Tak selamanya tampil kelam, Nugros yang berpengalaman menjajal drama hingga komedi turut menyelipkan elemen kegemarannya secara tersirat, itu berasal dari deretan dialog-dialog tanpa saringan hingga beragam kata-kata umpatan yang membuat filmnya terasa dekat dengan penonton. Bahkan, Naysilla Mirdad dalam debut layar lebar perdananya pun tampak menikmati melontarkan dialog yang berkebalikan dengan citra dirinya sebelumnya.

Paruh pertama Inang adalah sebuah introduksi yang seketika menggaet atensi lewat kedekatan personalisasi menengah ke bawah masyarakat yang menampilkan apa adanya, menggambarkan sebuah horor dalam realita guna menunjang kehidupan yang tak selalu sesuai keinginan. Inang juga pula menyinggung perihal male gaze melalui karakter yang dimainkan secara dijanjikan oleh Totos Rasiti sebagai bos Wulan dan Nita. Sayang, menjelang pertengahan hingga akhir, elemen tersebut kian terlupakan, seakan Nugros mengambil mode auto pilot secara dadakan.

Inang adalah sebuah folk-horror yang terkadang tak konsisten perihal pemanfaatan rebo wekasan, mampu memberikan sebuah teror berkesinambungan, teror yang tak selalu melulu berwujud setan selain sosok yang lebih nyata di mana kelicikan dan tipu daya kerap dijadikan senjata bagi mereka untuk penguasa yang berdiri di atas nama 'kepemilikan'.

Di pertengahan kita sempat diperkenalkan dengan Bergas (Dimas Anggara), putra semata wayang Eva dan Agus, yang meski penampilan Dimas Anggara memang layak dipuji (terutama ketika momen konfrontasi), sedikit meninggalkan cela tatkala kehadirannya bahkan mengambil alih cerita, menjadikan karakter Wulan sebagai seorang damsel in distress setelah sebelumnya ditampilkan penuh perlawanan. Memang kontradiktif, meski tak sampai mengurangi hasil akhirnya.
Konklusinya tampil layak, meski terkadang ada sebuah potensi untuk bisa tampil lebih. Saya menyukai adegan akhirnya, meskipun terkait adegan mid-credit miliknya bisa saja tampil sebagai pisau bermata dua (meski saya sendiri dapat dengan jelas memenuhi tujuan), Sekali lagi adalah horor yang cukup memuaskan dari seorang Fajar Nugros yang masih belum sepenuhnya berpengalaman. Meski terdapat beberapa kekurangan, kepekaan esensi semakin menegaskan bahwa semuanya bukan tanpa alasan, ada sebuah hukum kausalitas yang sulit untuk dijelaskan, terutama jika sudah mengancam kekuatan alam.

0 komentar:

Posting Komentar