Agustus 15, 2025
WAKTU MAGHRIB (2022)
Waktu Maghrib menandai debut film panjang pertama seorang Sidharta Tata (sebelumnya menggarap segmen The Protocol dalam Quarantine Tales hingga beberapa seri), sineas asal Yogyakarta yang sangat potensial berkat kepekaannya dalam memadukan narasi pula memberikan relevansi. Waktu Maghrib pun demikian, seolah mengingatkan kembali bahwa dalam masyarakat kita, unsur mistisme berupa larangan untuk keluar pada waktu Maghrib sangat beresiko, karena di sanalah paramakhluk halus mulai keluar.
Seolah menegaskan hal itu, hadits dan sunnah nabi pun demikian (dimuat dalam pembuka filnmnya) yang kemudian dilanggar oleh dua karater utama kita, Adi (Ali Fikry) dan Saman (Bima Sena) yang memilih meninggalkan doa maghrib demi menonton pertunjukan wayang di kampung sebelah, pun peristiwa sebelumnya sangat menyiksa bagi mereka, ketika Saman yang selalu lalai memberikan madu dan mendapat hukuman dari sang kakak, Samiun (Kevin Abani) yang menyebabkannya telat ke sekolah dan kemudian di hukum oleh Bu Woro (Aulia Sarah), menyanyikan wali kelas.
Siapa sangka sumpah serapah sepele antara Saman dan Adi berujung membawa malapetaka di sekitarnya, sekaligus kembali membuka sebuah peristiwa 30 tahun lalu yang menimpa Karta (Andri Mashadi), pria misterius yang memutuskan untuk tinggal di pedalaman hutan. Terdengar seperti sebuah premis yang menarik bukan? Waktu Maghrib sejatinya memiliki peluang untuk memberikan elaborasi lebih dari sekedar memantik, dan kemudian memilih jalan pintas bernama simplifikasi.
Tak sepenuhnya buruk memang, Sidharta Tata memberikan sebuah angin segar bernama kebrutalan, menekan penceritaan ke ranah ekstrim seKaligus ditengah fokus karakter utama merupakan para bocah SMP, ada jari yang putus, hewan terpotong hingga penampilan kesurupan yang terasa meyakinkan berkat tata rias mumpuni pula performa para pemain, terutama Ali Fikry dan Bima Sena yang begitu mencuri perhatian, terutama saat mereka berdialog dengan aksen bahasa Jawa yang terasa kejawaannya.
Terkait eksplorasi lokasi, Waktu Maghrib memberikan jangkauannya secara luas, melebarkan penceritaan sekaligus memberikan tempat baru bagi tumpahnya darah atau kejadian janggal, rumah, warung, sekolah, kuburan, hutan, hingga sungai menjadi Saksi bisu terciptanya beragama gambaran menakutkan pula kejanggalan para karakternya.
Waktu Maghrib memiliki build-up yang kuat di paruh awalnya, hingga diruntuhkan seketika oleh pay-off yang begitu lemah, bahkan tak jarang hanya sebatas repetisi deretan jump scar di mana sang hantu hanya sebatas menakuti dengan menampilkan wajah buruknya. Pun, yang lebih penting adalah scoring-nya yang seolah memberikan pemanasan, yang kemudian tampil sesuai harapan.
Tengok adegan yang melibatkan "pulpen jatuh" yang entah dua atau tiga kali kita saksikan di layar, melihat wajah panik dan ketakutan Ayu (Nafiza Fatia Rani), teman sekelas Adi dan Saman serta murid kesayangan Bu Woro, filmnya sendiri seolah lupa atau tak punya trik lain guna menakuti penonton, benar niatnya ingin memberikan sebuah peringatan yang malah berakhir pada sebuah kesan pengulangan yang nihil sebuah dampak signifikan.
Ditulis naskahnya secara keroyokan oleh Sidharta Tata, Khalid Kashogi, Agasyah Karim, hingga Bayu Kurnia, Waktu Maghrib malah sedikit melenceng dan memilih jalur aman seiring hadirnya karakter baru dalam wujud guru pengganti bernama Bu Ningsih (Taskya Namya), menghentikan sebuah kontuniti tatkala dua karkter yang akhirnya berhenti dieksplorasi. Pun, tatkala memberikan perhatian penonton ke karakter lain, transisinya teramat menggampangkan.
0 komentar:
Posting Komentar