Jumat, 22 Agustus 2025

KABUT (2021)

 KABUT (2021)

Membawa isu yang cukup sensitif dan jarang terjamah dalam khasanah film lokal, Kabut mengetengahkan pertikaian antara dua kelompok komunis dan agamis pada tahun 1966 yang didasari oleh perbedaan ideologi. Dua kelompok ini digambarkan sama-sama kuat akan keyakinan-dan timbulah pertumpahan darah yang menjadi latar belakang filmnya untuk memutarkan pengisahan yang begitu menggiurkan. Pertanyaannya adalah sejauh mana sutradara Indra Gunawan yang dikenal lewat genre drama-roman seperti Dear Nathan (2017), Serendipity (2018) hingga yang teranyar #BerhentiDiKamu (2021) membuat premis ini?

Kisahnya mengenai Joni (Odet Kravitz) dan Jupri (Kevin Ardilova) dua sahabat karib yang masing-masing mengunjungi tengah sebuah desa yang belum mereka datangi untuk menjual ayam potong. Berniat istirahat di mobil, Jupri yang ingin buang air kecil dikejutkan oleh segerombolan orang yang tubuhnya penuh dengan bercak darah dan saling serang satu sama lain. Hingga ia bertemu dengan Tijah (Yati Surachman) yang menjelaskan bahwa mereka adalah hantu yang sering menghantui Desa Jagalan selama tiga hari berturut-turut setiap tahun.

Berdasar hal itu, sebuah flashback pun ditampilkan guna menjawab asal-usul cerita di mana Ghofur (Alfie Alfandi) dan Darsono (Asrul Dahlan) dua pemimpin komunis dan Islam yang saling bertikai dan sampai saat ini jasadnya belum ditemukan. Joni dan Jupri pun harus menghapus kutukan tersebut dengan bantuan Mirah (Sara Fajira), keponakan Tijah untuk dapat keluar dari desa tersebut dengan selamat.

Sama seperti dua kompatriotnya (Hompimpa, Aku Lupa Aku Luka) yang dirilis secara bersamaan di KlikFilm, Kabut tak mengubahnya sebuah horor asal jadi yang dibuat semata-mata hanya untuk memenuhi produksi. Benar, premisnya memang menggiurkan-namun apa yang ditampilkan tidak selaras dengan apa yang diharapkan. Ditulis naskahnya oleh Sugeng Wahyudi, apa yang membentuk Kabut secara utuh hanyalah potongan twist yang pengembangannya belepotan dan nihil sebuah jembatan kalau bukan sebuah kebetulan.

Twist-nya begitu serampangan dan asal jadi hingga logika pun sulit mencerna kausalitas sebenarnya. Semuanya ditanggalkan demi merengkuh sebuah tontonan yang ingin menyampaikan pesan perihal toleransi dan perdamaian yang gagal sepenuhny yang ditampilkan oleh film ini. Semakin menggelikan adalah riasan hantunya yang sebatas menaburkan bedak tebal dan wajah pucat. Aksinya pun begitu canggung, sekelas tontonan FTV misteri yang pernah merajai stasiun lokal pada masa pertengahan dua puluhan.

Sungguh tak menyangka bahwasannya Indra Gunawan yang filmografinya kebanyakan tampil di atas rata-rata membuat sebuah sajian yang penuh dengan celotehan tatkala menontonnya. Jangankan logika untuk dicerna, kuantitasnya pun sangat ala kadarnya. Jangan lupakan adegan-adegan ngeri yang menghiasi 66 menit durasi film ini.

0 komentar:

Posting Komentar