Minggu, 17 Agustus 2025

24 (JAFF 2022)

 24 (JAFF 2022)

mengisahkan perjalanan seorang sound engineer bernama James Choong pasca kematian yang mengharuskannya mengunjungi 24 berbeda, 24 merupakan karya keempat (atau kelima jika menghitung segmen Bunga Sayang dalam 7 Letters) sutradara Royston Tan, sekaligus yang paling personal bagi dirinya (ide pembuatan film ini muncul tatkala James Choong, sang kolabulator lama dirinya mengunjunginya). Bersamaan dengan hal itu pula, 24 merupakan ode bagi sinema, orang tercinta dan yang paling utama adalah kehidupan setelah kematian.

Pembukanya menampilkan pasangan gay yang tengah melakukan hubungan intim disertai dengan lampu merah menyala, sementara desahan dan erangan dibiarkan dan direkam oleh Choong. Seolah-olah melawan dogma, pembuka ini bisa saja merupakan manifestasi dari sebuah kelahiran yang didasari akan sebuah cinta dan harapan akan kehidupan, menyusulnya adalah sebuah festival bagi para manula yang tengah berdansa dan mendengarkan dendang lagu bersama. Sebuah perayaan akan kehidupan telah ditampilkan.

Sepanjang 24 berjalan Choong hadir dengan microphone boom miliknya yang senatiasa merekam berbagai bentangan alam hingga tempat yang berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Choong tampil nihil ekspresi, kehadirannya sebatas berada di tempat dan membiarakan para partisipan di dalamnya menggunakan metodebreaking the Fourth Wall. Misalnya, ketika ia menemui sang nenek di sebuah rumah sakit pasca operasi, tersirat sebuah kerinduan akan kebersamaan akan keluarga. Pun, demikian kala Choong yang mendatangi sang istri dan anak semata-mata wayangnya ketika mandi, Tan menyiratkan bahwasannya hubungan keluarga tak memandang batas ruang dan waktu.

Choong sempat mendatangi keramaian para pemuda yang turut menghadirkan Royston Tan dalam sebuah penampilan khusus, mereka tengah berdiskusi tentang kehidupan yang penuh dengan cobaan, bahkan mereka tak segan saling melempar kata umpatan. Sementara kamera hasil rekaman Juan Qi An selalu menampilkan statistik, seolah mengatakan pada penonton bahwa inilah yang harus kalian amati.

Memasuki pertengahan, Tan masih setia mempertahkan representasi lewat beragam percakapan dan kejadian, yang kehadirannya terkadang menguat namun beberapa tampil stagnan. Saya paham filmnya memang berjalan di ranah arthouse meditatif nan kontemplatif, namun pengadeganan berlarut-larut terkadang mengurangi intensitas, terlebih kala sebuah montase tampil tanpa adanya dialog.

Menjelang konklusi, barulah 24 mematenkan narasi dengan menampilkan sebuah perenungan akan sebuah kematian yang sudah menjadi sebuah kepastian. Ada tangisan keluarga yang tumpah, namun adapula balutan kenangan yang berlimpah ruah. Tinggal bagaimana seseorang memaknainya dan Tan membawa sebuah pencerahan tanpa pernah mengalienasi hal yang musti terjadi.

Jean-Luc Godard dalam Le Petit Soldad (1961) pernah berkata bahwa "Cinema is truth 24 times a second" yang bisa saja merupakan alasan Tan memaknai judulnya. 24 adalah sebuah elegi. Elegi yang bukan berarti mengeliminasi cinta, namun menjadikannya abadi dalam sebuah balutan kenangan akan semakin kehidupan yang tak hanya diisi oleh kesedihan, tetapi kebahagiaan.


0 komentar:

Posting Komentar