Agustus 18, 2025
PEREMPUAN BERGAUN MERAH (2022)
Sempat mengalami tertunda selama 2 tahun karena faktor pandemi, saya mengira bahwa Perempuan Bergaun Merah yang menjadi film panjang kedua bagi penulis sekaligus sutradara William Chandra (Sekte) akan memiliki kualitas yang matang sebagaimana yang dilakukan oleh Qodrat sebelumnya. Dengan memasang nama Timo Tjahjanto (dwilogi Sebelum Iblis Menjemput) sebagai produser hingga trailer yang dirilis dengan hasil yang menjanjikan, tentu ekspetasi tinggi pun menyambangi hasil akhir filmnya yang justru menggambarkan apa yang semula diharapkan. Lagi-lagi ekspetasi tak sesuai dengan kenyataan.
Selepas pesta minuman keras yang diadakan di rumah Kara (Stella Cornelia), di mana ia juga menggundang para sahabatnya: Marko (Aufa Assagaf), Wisnu (Jordy Rizkyanda), Rosa (Faradina Mufti), Gerry (Ibrahim Risyad) hingga teman tertutup, Dinda (Tatjana Saphira) yang membuat mereka tak sadarkan diri, Dinda yang setengah sadar menyadari bahwa Kara yang pada saat itu menggunakan baju berwarna merah menghilang secara misterius. Dinda yang terus ditanyai oleh ibu Kara (Dayu Wijanto) merasa bertanggung jawab atas hilangnya Kara, ia juga mengajak kekasih Kara, Putra (Refal Hady) untuk mencari jawaban atas peristiwa ini, terutama kala masing-masing dari mereka mulai menemukan sebuah teror dari hantu perempuan bergaun merah.
Mengedepankan kultur Tionghoa sejatinya memberikan sebuah kesegaran, di mana mitos atau legenda mengenai Hong Gui (atau Nu Gui, koreksi saya jika saya salah) turut diangkat. Sayang, unsur tersebut sebatas sebuah tempelan kala William Chandra seolah hanya fokus pada unsur investigasi hingga barisan teror sang hantu yang seperti telah kita lihat di trailer-nya sarat akan DNA Timo Tjahjanto.
Pengecualian untuk penyelidikan terkait pencarian Kara yang seolah stagnan alias jalan ditempat. Apa yang dilakukan Dinda dan Putra hanya sebatas bertanya kepada Nenek Wong (Dewi Pakis dalam mengulangi ciri khas miliknya), itupun memakan waktu yang lama untuk menemukan penjelasannya, yang Akan tersimpan di akhir cerita demi menambahkan sebuah twist tentunya. Twist yang sedari awal mudah ditebak keberadaannya secara tepat.
Terkait twist yang dipakai, terasa kontradiktif ketika penonton tiba-tiba diminta simpati terhadap salah satu karakternya yang sedari awal tak pernah secara mendalam mengenal tokohnya. Pada saat yang sama pula, hal ini menimbulkan dampak pesan yang semula William sampaikan terkait perlawanan tujuanikasi wanita. Di saat para karakter wanita dalam film horor lokal mulai meningkatkan kekuatan, Perempuan Bergaun Merah membuat sebuah kompilasi.
Semakin melelahkan ketika transisi antar adegan ketara kasar. Entah ini merupakan kesalahan di meja editing atau materi cerita yang kurang kuat atau bisa saja penyutradaraan William kurang prima hingga imbasnya apa yang disaksikan di layar terkadang terasa membingungkan pula melelahkan setiap mengenal absen. Pun, ketika ditampilkan pun terasa terburu-buru, nihil taji meski variasi metode pembunuhan kreatif (favorit saya adalah sebuah adegan yang melibatkan kasur rumah sakit).
Beruntung bagi Perempuan Bergaun Merah yang memasang rating 13+ berhasil mendorong tingkat kekerasan secara maksimal. Ini setidaknya mengobati sebuah kekesalan kala di lini lainnya terasa kurang seimbang. Jangan lupakan performa pemain yang ikut berperan, Tatjana Saphira dalam debut murni horornya (sejenak lupakan dwilogi Ghost Writer) tampil cukup menggila, meski yang paling membekas diingatan adalah Faradina Mufti yang masuk jajaran scream queen tanah air lewat ekspresi ketakutan sempurna dalam raut wajahnya.
Jika anda memutuskan menonton Perempuan Bergaun Merah demi mencari hiburan dan cipratan darah, filmnya sangat mengecewakan. Lain halnya jika Anda mencari sebuah keseraman dan ketegangan, filmnya tak begitu mulus dalam menyampaikan esensi utamanya. Apalagi jika melihat trek rekor horor lokal sebelumnya yang diatas rata-rata, semoga merasakan kelelahan horor tak sampai mendekati.
0 komentar:
Posting Komentar