Agustus 19, 2025
SAYAP-SAYAP PATAH (2022)
Sayap-Sayap Patah yang terinspirasi dari Mako Brimob Kelapa Dua, Depok pada 8-11 Mei 2018 menandai reuni pasca 21 tahun Nicholas Saputra dan Rudi Soedjarwo selepas Ada Apa Dengan Cinta? yang sukses melambungkan nama keduanya. Mengetengahkan drama kepolisian yang juga ikut menyentuh karakter yang didorong, Nicholas Saputra memerankan Ipda Aji, anggota Densus 88 yang bersama sahabatnya, Aiptu Aryo (Khiva Iskak), Aipda Ridwan (Revaldo) dan Aipda Kuntadi (Gibran Marten) bertugas dalam kasus-kasus terorisme yang tengah terjadi di Surabaya. Berdasarkan hal itu, tentu Aji jarang menghabiskan waktu bersama sang istri, Nani (Ariel Tatum) yang tengah hamil tua.
Ditulis naskahnya oleh Monty Tiwa (Madu Murni), Eric Tiwa (Pocong: The Origin) dan Alim Sudio (12 Cerita Glen Anggara, Mariposa, Kuntilanak 3), Sayap-Sayap Patah secara back-to-back menyajikan dua elemen tersebut secara bergantian, yang terkadang kurang seimbang dalam penuturannya. Meskipun demikian, setidaknya naskahnya mau bercerita, terutama dalam memicu kebencian mengapa tindakan terorisme yang selalu mengandalkan agama sebagai upaya masuk surga jelas sebuah perilaku biadab nan salah kaprah. Dalam sebuah sekuen yang diiringi scoring gubahan Andi Rianto, Rudi Soedjarwo seolah mereplika kekejaman terhadap dampak yang dihasilkan, yang cukup mengahantui ingatan pasca menontonnya.
Apapun film ini dibuat atau tidak dengan upaya glorifikasi (terhadap kasus Freddy Sambo yang jelas-jelas mencoreng pihak kepolisian), Sayap-Sayap Patah sejatinya merupakan sajian yang kaya potensi, di mana modal usaha nyata untuk menyelesaikan yang menguasai kepolisian selama 36 jam lamanya pun sudah terdengar bak siksa neraka dunia, sementara filmnya tampil lebih lembut, mengganti topik yang masih tampil relevan, meski mengenai kerapian diceritakan dan motif utama filmnya jelas menyalahi aturan, mengambil sebuah langkah instan yang seharusnya tak digunakan.
Sebelum ke akar permasalahannya, izinkan saya memberikan pujian khusus kepada dua penyanyi yang diluar kapasitasnya sebagai aktor, tampil mengejutkan dan mengesankan. Tak lain dan tak bukan adalah Iwa K yang memerankan Leong, pemimpin teroris yang menjadi incaran Aji dan rekannya. Sementara di pihak kepolisian terdapat Nugie sebagai Komandan Mako Brimob yang sama mengesankannya, melihat keduanya berbagi layar adalah pemandangan yang sama-sama mencekam, menggambarkan sebuah kekuasan dalam kubu yang bersebrangan.
Elemen dramanya tampil cukup memikat, di mana kegamangan Nani sebagai istri seorang polisi bisa saja hancur dan remuk begitu saja, bahkan dalam sebuah kesempatan, Nani memilih untuk pulang ke Jakarta, bertemu sang ibu (Dewi Irawan) dan berniat melangsungkan pengiriman di sana. Sekilas tampil sederhana memang, namun hal demikian tentu saja bisa terjadi di dunia nyata.
Momen yang ditunggu-tunggu tiba, yang sangat mengerikan justru muncul di belakangan demi menutup sebuah cerita. Durasi 30 menit dihabiskan untuk merangkum apa yang terjadi di dunia nyata, yang meski harus saya akui, saya tetap terjaga menyaksikannya, meski kembali lagi ada sebuah perasaan ingin menikmati lebih yang terasa mengganjal. Terkait apa yang telah saya singgung di awal, motivasi sang teroris dijelaskan secara rinci, yang mana menyalahi apa yang seharusnya murni terjadi. Memangnya filmnya hanya sebatas mengadaptasi, namun bukankah sebuah adaptasi harus mewakili tanpa benar-benar menyurangi? Lihat tanda tanya tersebut jurang antara filmnya dengan keabsahan peristiwa.
0 komentar:
Posting Komentar