Minggu, 24 Agustus 2025

SELEPAS TAHLIL

SELEPAS TAHLIL

Selepas Tahlil sejatinya bukanlah horor yang dibuat asal-asalan. Para pembuatnya berjibaku berjuang keras tenaga guna menyumbangkan waktu untuk bercerita dalam upaya menampilkan perasaan duka karakternya selepas ditinggal orang tercinta. Sebuah momen yang sangat dekat dengan realita ini sayangnya tidak didukung oleh cerita yang mumpuni. Singkatnya, Selepas Tahlil terlampau umum di saat horor arus utama perlahan mulai menampilkan tajinya.

Semuanya bermula ketika kematian tak terduga yang menimpa Hadi (Epy Kusnandar) pasca kepulangan Saras (Aghniny Haque) dan adiknya, Yudhis (Bastian Steel) di tempat cuci mobil keluarga miliknya. Selain menimbulkan duka, kematian Hadi pun mengundang sebuah tanya tatkala prosesi pemakaman akan dilakukan selalu berakhir pada sebuah kegagalan. Apa yang terjadi pada jenazah Hadi sebenarnya?

Pertanyaan tersebut tak lantas dijawab secara cepat oleh filmnya, namun tanpa menunggu konklusi pun, penonton sudah dapat menebak alasan sang jenazah yang dia harus dimakamkan pada malam Jumat Kliwon agar berjalan lancar sebagaimana mestinya. Sayang, naskah yang ditulis oleh Husein M. Atmodjo (Mencuri Raden Saleh, Pengantin Setan, Susuk: Kutukan Kecantikan) gagal menarik atensi akibat ketiadaan urgensi.

Hal tersebut sebenarnya sudah tercium di paruh pertama filmnya yang urung memberikan sebuah sekuen yang mengikat, hanya menampilkan keseharian karakternya tanpa memberikan kepentingan di dalamnya. Saya paham, sang pembuat bermaksud menunjukkan sebuah kehangatan keluarga sebelum ajal menerpa, namun niatan tersebut nyatanya tak mebeikan dampak yang signifikan akibat nihilnya sebuah kedalaman.

Selanjutnya, Selepas Tahlil pun hanya berkutat pada kegagalan serta keanehan yang terjadi sebelum proses pemakaman dilangsungkan. Di atas kertas, hal tersebut mungkin terdengar menyeramkan, namun tidak demikian dengan eksekusinya yang nihil sebuah kebaharuan. Segala trik khas konvensional film horor klasik akan sering ditemui dalam filmnya. Misalnya, adegan kala penonton menyaksikan jenazah yang terbangun selepas dimandikan nyatanya hanya sebuah tipuan sambil lalu dalam kenyataan yang dirasakan karakternya.

Usaha filmnya untuk memindahkan setting ke Surabaya, tepatnya di kediaman sang paman, Setyo (Adjie N.A.) pun tak menghindarkan filmnya dari alur kemonotonan. Naskah yang terlampau tipis miliknya pun sulit untuk mengatrol segala pengadeganan yang ketara bak sebuah pengulangan (baca: repetitif) yang berlangsung hingga konklusi filmnya tiba.

Memasuki konklusi, filmnya pun masih menerapkan trope yang jamak dipakai. Prosesi rukiah dengan bantuan Ustaz Zuhri (diperankan oleh Abbe Rahman) hingga lantunan Al-Fatihah dan Ayat Kursi seolah menjadi andalan untuk menyelesaikan segala persoalan dari twist yang masih berkutat mengenai dengan iblis ini.

Setidaknya, penghargaan patut diberikan kepada Adriano Rudiman selaku sutradara yang tak membebankan dan mengandalkan filmnya pada sebuah serampangan jumpscare ataupun membuat deretan hantu dengan riasan berlebih. Adriano memilih opsi sederhana, demikian pula dengan keseluruhan filmnya yang terlampau sederhana dan nihil sebuah modifikasi bernama kebaharuan.


0 komentar:

Posting Komentar