Senin, 18 Agustus 2025

QODRAT (2022)

 QODRAT (2022)

Saya acap kali jengah dengan tontonan menyampaikan religi (baik itu drama, romansa maupun horor) yang sebatas melontarkan ceramah dan dakwah, namun Qodrat adalah menceritakannya. Di tangani oleh Charles Gozali (Nada Untuk Asa, Juara, Sobat Ambyar), materi yang kental akan sarat dakwah dan ceramah dirubah menjadi sebuah sajian yang benar-benar sesuai arah tanpa pernah melucuti esensi utamanya sebagai film religi. Modifikasi pun dilakukan dalam bentuk pengkawinan lintas genre dengan sajian aksi tangan kosong mumpuni, sebagaiaman keunggulan Charles Gozali.

Judulnya sendiri Merujuk pada nama karakter utamanya, Ustadz Qodrat (Vino G. Bastian) adalah seorang ahli rukiah yang tak pernah gagal dalam menjalankan kewajibannya membantu orang lain. Namun, semua itu berkebalikan tatkala ia gagal menyelamatkan sang putera, Alif (Jason Bangun) yang dirasuki iblis bernama Assuala. Layaknya seorang manusia biasa yang mudah putus asa, Qodrat pun kehilangan kepercayaan dan keimanannya kepada Tuhan, bahkan ia tak pernah meminta dibangunkan untuk sholat subuh sementara matanya selalu terbuka.

Setelah kejadian di penjara yang membuatnya mendapatkan remisi, Qodrat kembali ke desa Kober, tempat di mana ia menuntut ilmu di Pesantren Kahuripan yang dipimpin oleh Kiai Rochim (Cecep Arif Rahman) yang kini tak seperti sebelumnya. Kekeringan parah melanda desa, demikian pula dengan para warganya yang kebanyakan dirasuki oleh iblis. Mudah untuk kita menyadari bahwa ada yang tak beres di desa tersebut, pun demikian dengan Qodrat yang masih luntur keimanan dan kepercayaannya akan Tuhan.

Hingga sebuah peristiwa memasksanya kembali ke kodratnya sebagai perukiah tatkala ia tak sanggup menolak permintaan Yasmin (Marsha Timothy), warga setempat yang anaknya dirasuki oleh iblis, terutama setelah Qodrat mendengar bahwa nama anaknya bernama Alif (Keanu Azka Briansyah). Qodrat percaya bahwa dengan menolong Alif, ia akan terbebas dari kegagalannya menyelamatkan sang putera, terutama iblis yang kini ia hadapi pun masih bernama Assuala.

Sedari pembukanya berlangsung, Qodrat tak ragu menarik atensi dengan menampilkan sebuah adegan eksorsisme yang ditangkap oleh kamera Hani Pradigya sedemikian cantik dengan memposisikan penonton sebagai orang ketiga (layaknya bermain video game). Dari sini mulai mencuat bahwa apa yang ditulis oleh Charles Gozali bersama Gea Rexy (Sobat Ambyar, Dear Natahan, Love Reborn) dan Asaf Antariksa (Love Reborn, Naura & Genk Juara the Movie) benar-benar tak main-main, terutama kala menanggulangi unsur religinya yang jika ditilik lebih dalam merupakan manifestasi dari Al-Qur'an itu sendiri.

Charles seolah tak ingin melepas pedal rem tatkala filmnya secara perlahan meningkat mulai, mengeskalasi jump scar (yang meski ada, dan tepat guna) dengan balutan aksi sebagaimana jualan utama filmnya yang tak ragu menampilkan deretan pertarungan tangan kosong yang tampil brilian dan jauh dari mengecewakan. Ini merupakan poin plus film ini, mengingat apa yang ditampilkan oleh Qodrat merupakan sebuah pengalaman yang sangat langka dan harus dirayakan oleh sinema.

Deretan pelakonnya pun sumbangsih dalam memainkan peran. Vino G. Bastian yang debut dalam genre horor akhirnya menemukan apa yang memfasilitasi nada suaranya (pelafalan ayat suci tak pernah semengetarkan ini) sekaligus sebagai superhero bersenjatakan tasbih. Marsha Timothy adalah tandem yang sepadan, lihatlah menampilkan tatkala kerasukan, memancarkan aura mega bintang yang rasanya sulit ditandingi, sementara pujian patut dilayangkan kepada Maudy Effrosina sebagai Asha, anak sulung Yasmin, yang sebagaimana kebanyakan remaja pada umumnya bersifat pemberontak, Maudy menampilkan performa yang likeable pun demikian tatkala ia melakoni adegan drama. Tetapi MVP harus jatuh kepada dua pemeran Alif, Keanu Azka dan Jason Bangun yang kembali menambah jajaran pelakon cilik horor.

Meski sedikit terkendala oleh karakterisasi yang sedikit instan, namun itu tak mengurangi kenikmatan menyaksikan Qodrat di laya lebar, sebuah spektakel yang rasanya sulit didapat belakangan ini. Saya sangat menyukai bagaimana Gozali merangakai adegan yang begitu cantik dan estetis, termasuk itu dalam sebuah adegan pertarungan menjelang konklusi, demikian pula dengan scoring dua suara yang teramat langka, dan memberikan sebuah aftertaste yang sulit ditemukan.

Qodrat merupakan pencapaian tertinggi seorang Charles Gozali yang mempunyai kepekaan tinggi yang amat subtil (adegan mati lampu misalnya) sebuah momen yang sekilas tampak sederhana namun selaras dengan realita pula memberikan sebuah kesimpulan terhadap film horor kebanyakan yang gemar bermain gelap-gelapan dan menghilangkan logika itu sendiri. Qodrat juga merupakan sebuah pembeda walaupun apa yang ditawarkan sejatinya tidak pernah benar-benar baru, namun ia memiliki apa yang sangat diabaikan oleh rekan sejawatnya adalah mengenai struktur.

Struktur yang begitu rapi dan kontuniti hingga mendekati konklusi. Qodrat pun tak lupa memberikan sebuah pemahaman melalui rukiah itu sendiri, rukiah yang bukan hanya sebatas mengucap kebesaran Tuhan, melainkan juga memberikan sebuah pendekatan personal mengenai penerimaan dan perelaan seseorang dalam menanggapi sebuah kehilangan. Dari perspektif “Innalilahi wa inna ilaihi rajiun” seharusnya diterapkan.


0 komentar:

Posting Komentar