PAMALI (2022)
Menyandang judul sebagai satu lagi film horor Indonesia yang merupakan adaptasi video game pasca DreadOut (2019), Pamali membuka rentetan film horor lokal yang rilis setiap minggu menyemarakan perayaan halloween dengan cukup rasa prihatin. Ketika kuantitas mengalahkan kualitas akhirnya terjadi lagi di film horor yang cukup menjanjikan di atas kertas ini.
Kisahnya sendiri tak jauh dari formula film horor kebanyakan, di mana Jaka (Marthino Lio) ikut memboyong istrinya yang tengah hamil tua, Rika (Putri Ayudya) ke sebuah desa pasca ia kehilangan pekerjaannya. Kedatangan mereka bukan untuk menetap, melainkan tinggal selama tiga hari untuk membersihkan rumah peninggalan orang tua Jaka, Lilis (Unique Priscilla) dan Dadang (Rukman Rosadi) yang sudah lama tak didirikan. Melalui bantuan Cecep (Fajar Nugra), mereka telah menemukan orang yang sudah siap membeli rumah tersebut.
Saya tidak setuju jika sebuah film horor menampilkan premis yang berbeda-melainkan berharap bahwa sebuah kontuniti dihasilkannya tanpa pernah melupakan sebuah aturan yang diterapkan sebelumnya. Sayang, naskah yang ditulis oleh Evelyn Afnilia (Until Tomorrow, Keluarga Tak Kasat Mata, Surat dari Kematian) lalai menjabarkan pertanyaan sederhana semisal apakah mereka diganggu karena melanggar pamali? Jika bukan, mengapa repot-repot memasukan rentetan dialog pula menampilkan Rika yang melanggar adat pamali dengan menggunting kuku dan memotong rambut malam-malam?
Sesekali Pamali ikut menggiring penonton pada masa lalu, di mana dikisahkan Nenden (Taskya Namya), kakak Jaka, juga pula sisi serupa di samping hatinya terguncang kala mengetahui keberadaan suami yang tewas di medan perang. Saya mengagumi bagaimana penyutradaraan Bobby Prasetyo (Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi, Eyang Putri) dalam melakukan sebuah transisi masa kini-masa lalu yang seperti Kimo Stamboel yang dilakukan di Ivanna (2022) tampil lebih variatif tanpa harus mengurangi dampak yang dihasilkan. Meski begitu, sekali lagi hal tersebut tampil tak kontuniti di beberapa momen kasual yang ketara tampil kasar, seolah melawan arus.
Padahal, sedari filmnya dibuka, Pamali tampil lebih hati-hati di mana naskahnya meluangkan waktu untuk bercerita daripada langsung mengedor penontonnya dengan serial jumpscare, sempat pula melemparkan sebuah petunjuk yang kemudian ditinjau kembali atau untuk sekadar membuat penonton harap-harap cemas. Sayang, hal tersebut berjalan sambil lalu ketika naskahnya kembali kebingungan menutup sebuah masalah.
Ketika momen penebusan dilakukan, Pamali menumpukan momen tersebut menjelang akhir, yang mana sedari awal build-up harusnya dikembangkan, ia malah sibuk mengulur waktu, bahkan momen ketika Jaka meminta Cecep untuk memperbaiki listrik dan pintu pun berjalan lebih lama, padahal orang yang ditunjuk sama-sama dilakukan oleh orang yang sama (Iang Darmawan).
Konklusi terkait, Bobby Prasetyo belum piawai membangun ketegangan, meski sekali lagi ia sering salah menerapkan apa yang seharusnya menampilkan atmosferik dengan kesan draggy. Pun, kembali lagi naskahnya berulah menghadirkan sebuah hukum kausalitas yang entah dari mana asalnya, yang terpenting asal jadi. Sementara saya bertanya kembali keputusan sang penulis membuat Jaka seolah amnesia tanpa adanya kejelasan pasti, yang sama halnya dengan sebuah ruangan terutup yang seolah ditampilkan hanya untuk menghadirkan elemen gore yang tampil malu-malu. Beruntung pemerannya tampil menawan, baik Putri Ayudya yang membantu keseluruhan filmnya, maupun Unique Priscilla dan Rukman Rosadi yang menampilkan penampilan berkesan di tengah jatah tampil sedikit. Pamali sepenuhnya mengandalka mereka.
0 komentar:
Posting Komentar