DASIM
Setelah sempat diceritakan dalam Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga (2024) hingga Pengantin Setan (2025), sosok jin perusak dan pengganggu rumah tangga akhirnya mempunyai filmnya tersendiri. Dibawah Arahan sutradara Ginanti Rona (turut merangkap sebagai penulis naskah bersama Natania Jansen dan Decky Putra), Dasim mungkin masih berada dalam formula horror lokal pada umumnya, namun keputusan untuk tak mengeksploitasi jumpscare secara berlebihan layak untuk diberikan apresiasi lebih pula.
Salma (Zulfa Maharani) dan Arman (Omar Daniel) adalah pasangan suami-istri muda yang tengah menantikan kelahiran buah hati tercinta. Pasca kebiasaan Salma yang sering mengalami mimpi buruk, Arman memutuskan untuk memboyong Salma untuk tinggal sementara di rumah ibunya, Lastri (Meriam Bellina). Harapan untuk tinggal tenang sembari prosesi kehamilan justru membawa Salma menunggu pada serentetan keanehan serta teror misterius yang berkelanjutan.
Mudah memang untuk mempercayai dan memahami bahwa kejadian aneh yang dialami Salma berasal dari Dasim, jin perusak rumah tangga. Ketimbang menampilan repetisi jumpscare, Ginanti Rona memilih untuk membawa filmnya ke ranah horor psikologis, yang mana merupakan sebuah keputusan yang tepat dan akurat dalam menciptakan paranoia. Pun, semakin lengkap kala Zulfa Maharani menampilkan performa gemilang yang dibutuhkan oleh karakternya.
Selain itu, kejelian naskahnya dalam memainkan siapa pengirim teror dalam wujud Dasim pun bekerja sebagaimana mestinya, narasinya membentuk "calon tersangka" dengan baik, di mana penonton digiring untuk menebak siapa dalang sesungguhnya dari kejadian ini. Beberapa di antaranya bisa saja berasal dari Lastri, sang mertua yang menampakkan sikap berbeda sejak kedatangan Salma, Dhika (Morgan Oey), sahabat Salma yang menaruh perhatian lebih terhadapnya, Indri (Adinda Thomas), teman sekaligus sekretaris Arman, atau bisa saja dari Teh Diah (Dinda Kanyadewi) tetangga misterius yang menjadi tempat curhat Salma.
Singkatnya, elemen misteri yang dimainkan oleh Dasim sangat menarik untuk dikulik, di samping ketersediaan filmnya yang ingin diceritakan daripada meneras jumpscare sebanyak mungkin. Bukan nihil jumpscare, Dasim mempunyai beberapa jumpscare yang beberapa di antaranya tampil efektif, namun tak sedikit pula yang merusak ritme filmnya akibat kehadirannya yang sangat dipaksakan. Keputusan ini dapat saya pahami, mengingat penonton film horor lokal enggan mengakui sebuah film horor tanpa adanya sebuah jumpscare.
Hal lain yang saya suka dalam Dasim adalah fakta bahwa filmnya tak menjadikan elemen mistis sebagai tumpuan seutuhnya, filmnya masih memberikan sebuah jembatan bernama logika, misalnya terkait kereta hubungan antara Salma dan Arman yang terjadi akibat kurangnya komunikasi atau keputusan para pembuatnya yang menjadikan salah satu kematian karakternya yang menyebabkan serangan fisik sang dedemit, melainkan dampak dari kehadiran sang entitas.
Memasuki babak ketiga, Dasim terkena batu sandungan berupa konklusi yang tak segahar build-up miliknya, persentasinya cenderung bertele-tele dan nihil tenaga. Akibatnya, proses rukiah pun berjalan terlampau datar, sebatas berlalu begitu saja serta nihilnya kontuniti yang menciptakan sebuah cacat tersendiri (petunjuk: adegan berlatar rumah sakit). Sangat jahat memang.
Pun, di samping desain produksi yang cukup mumpuni, kelemahan lain hadir dalam wujud scoring yang terkesan melelempem di beberapa adegan, menyulitkan penonton dalam mencerna yang disampaikan. Selain itu, mengungkapkan terkait dalang dari serangkaian terornya pun cenderung mudah ditebak. Tak masalah memang, namun prediksi tersebut beriringan dengan twist yang dipaksakan, menciptakan satu lagi transisi kasar yang ditinggalkan oleh filmnya. Biarpun demikian, Dasim bukanlah sajian horor busuk, kegagalannya dalam memanfaatkan potensi pun cenderung dapat diterima, meski setelahnya berlalu begitu saja, tak meninggalkan sisa rasa yang benar-benar terasa nyata.
0 komentar:
Posting Komentar