Kamis, 14 Agustus 2025

KHANZAB (2023)

KHANZAB (2023)

Memanfaatkan kesuksesan Makmum (yang sudah menghasilkan dua film sementara film pendeknya melanglang buana mendapatkan penghargaan), Khanzab bak sebuah usaha aji mumpung yang meski jika ditilik lebih dalam lagi premisnya sendiri menarik. Timbul sebuah keingintahuan yang lebih dalam mengenai sosok jin yang mengganggu orang salat ini, setelah sebelumnya hanya sebatas tempelan belaka di dwilogi film sebelumnya. Sayang, harapan itu pupus, karena sejatinya Khanzab mengulangi kesalahan yang sama.

Rahayu (Yasamin Jasem) harus menerima cibiran dari masyarakat sekitar status terkaitnya sebagai anak dari Semedi (Rizky Hanggono) yang merupakan seorang dukun pengobatan alternatif (meski kebanyakan disebut dukun santet). Ia tinggal bersama sang ibu tiri, Nuning (Tika Bravani) di sebuah ruko peninggalan sang ayah, ditengah rumah masa kecilnya yang kini dijadikan musala.

Selain harus berhadapan dengan masyarakat sekitar yang sering bersifat sinis, Rahayu pun sering diganggu oleh khanzab, terutama setelah ia melaksanakan salat di musala Al-Makmum (sebuah homage yang cukup cerdik). Gangguan yang semakin intens itu perlahan kembali membuka masa lalu sang ayah yang merupakan salah satu dukun santet, korban pemenggalan oleh seseorang yang berpenampilan bak ninja pada tahun 1998 di Banyuwangi.

Ditulis naskahnya oleh Dirmawan Hatta (Mangkujiwo, Mumun) bersama Anggy Umbara (turut merangkap sebagai sutradara), Khanzab terjebak pola berulang di mana kebanyakan teror terjadi pada saat karakternya melakukan salat. Misalnya Rahayu, ia masih ngotot melaksanakan shalat setelah sebelumnya melihat kejanggalan selepas seorang pria kabur begitu saja. Pun, pola ini terus berulang di waktu lain pula di hari berikutnya.

Ambisi yang dilakukan Anggy diikuti oleh scoring film ini yang menggelegar dan memekakan telinga (termasuk juga adegan yang tak menampilkan penampakan) yang konsisten di sepanjang durasi. Saya saja bisa memaafkan kualitas film CGI ini di atas anggaran dasar, tetapi tidak dengan scoring yang sangat mengganggu konsentrasi. Setidaknya, tata artistiknya tampil mumpuni yang terkadang di dominasi oleh warna hijau (bisa jadi efek karya Dee Company sebelumnya, termasuk salah satu penulisnya, tak lain dan tak bukan Mumun).

Memasuki paruh kedua, Khanzab kembali melempar bahasan lain seputar masa lalu Semedi yang ternyata juga melibatkan beberapa pihak. Sekilas anatoginisasi pula antitesis terhadap agama beberapa kali dilempar, menjadi percuma tatkala filmnya di sisi lain serta melahirkan deretan khotbah yang menggurui dengan segala bentuk dan pembawaan sinetron-ish miliknya.

Beruntungnya, Khanzab masih memiliki pemain yang dari awal hingga akhir tampil konsisten meski narasi sempat mengeliminasi bakat apik mereka. Tika Bravani tetap piawai dalam hal olah emosi meski absen selama enam tahun, Yasamin Jasem semakin memantapkan dirinya sebagai maskot film horor masa kini hingga Arswendy Bening Swara adalah jaminan saling tanpa cela. 

Meski tak sepenuhnya sebuah bencana, beberapa jumpscare yang dihasilkan oleh Khanzab mampu menyulut sebuah ketakutan tersendiri (akibat kedekatan) dalam hasil yang hit and miss. Potensinya terkandung dalam andai para pembuatnya paham bagaimana merangkai sebuah jalinan narasi tanpa harus mengambil jalur curang dengan melipatgandakan sebuah twist yang hanya ingin terlihat keren-malah menimbulkan sebuah inkonsistensi akan kebingungannya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar