Agustus 14, 2025
QORIN (2022)
Selepas merilis Inang yang memberikan angin segar lewat pendekatan slow-burn miliknya, IDN Pictures kini unjuk gigi dengan menelurkan Qorin sebagai horor keduanya, dinahkodai oleh Ginanti Rona (yang juga menulis naskah bersama Lele Laila) Qorin sekilas tampak menjanjikan lewat premisnya yang menarik dan diluar dugaan. Sayang, semuanya hanya sebatas di permukaan tanpa adanya keinginan untuk memberikan sebuah cerita.
Benar, naskahnya memang berusaha bercerita (yang sedikit membedakan dengan naskah tulisan Lele sebelumnya yang getol menebar jump scar) tetapi usaha tersebut hanya sebatas niatan saja tanpa adanya kesanggupan untuk memberikan sebuah pemaknaan akan judul yang diusungnya. Singkatnya, Qorin melupakan esensi utama, menganggap penonton sudah paham betul dengan apa yang dimaksud dan melupakan hal yang paling krusial dalam sebuah film: Rules.
Sebuah Pondok Pesantren di Cikapundung dipimpin oleh Ustaz Jaelani (Omar Daniel) pasca sang pemilik, Kiai Mustofa (Pritt Timothy) tengah pergi ke luar. Bersama sang istri, Umi Hanna (Dea Annisa) dan Umi Yana (Putri Ayudya) mereka memberikan pengajaran bagi santriwati yang tengah mempersiapkan ujian akhir.
Zahra (Zulfa Maharani) adalah siswi teladan sang kebanggan, ia berteman dengan Icha (Cindy Nirmala) dan Gendhis (Naimma Aljufri) yang merupakan teman sekamarnya. Kedatangan Yolanda (Aghniny Haque), santriwati baru dengan rambut warna merah dan pisau di tasnya menjadi tanggung jawab Zahra untuk membantu sang gadis dalam masa adaptasinya. Hingga sebuah ujian praktek memanggil qorin dijadikan Ustaz Jaelani sebagai tugas akhir menjadi penanda bagi kelangsungan hidup pesantren yang perlahan membuka teror bermunculan.
Seperti yang telah saya singgung sedari awal, Qorin meluangkan waktu untuk bercerita tanpa terburu-buru menebar sebuah kengerian (yang sengaja disimpan menjelang akhir) yang keputusannya sangat penting untuk diapresiasi-andai semuanya berjalan secara kontuniti. Saya tak segan menyebut Qorin sebagai salah satu horor yang menolak arus utama dan malah terjebak pada pola yang sama.
Kelemahan mendasar Qorin adalah ketiadaan jembatan bagi filmnya dalam merangkai alur alur yang begitu berantakan. Setidaknya, karakternya memiliki daging yang cukup untuk mengembam sebuah sisi lain dari masalah terkait lingkungan pesantren yang tak sealim kelihatannya. Saya paham, Lele Laila mencoba mengangkat hal yang tengah ramai dibicarakan mengenai kasus-kasus inovatif dan membawakan filmnya pada ranah pemberdayaan wanita.
Beberapa latar belakang yang diterapkan, pun nada seksisme dari para pemangku budaya patriarki (di sini ditampilkan dalam sosok Ustaz Jaelani dan Yafi, yang diperankan secara singkat oleh Yusuf Mahardika) turut disinggung yang tadinya diniatkan sebagai ajang perluasan narasi yang sebenarnya kekurangan isi. Qorin malah sibuk kesana-kemari tanpa berhasil menyelesaikan satu permasalahan secara tuntas.
Padahal, sisi departemennya begitu berniat dengan tata artistik yang tak kalah mumpuni (kecuali penggunaan CGI yang luar biasa kasar dan inkosisten), saya menyukai adegan pemanggilan qorin yang ditangkap dibawah guyuran hujan dengan ekspresi para santri yang begitu ditekankan oleh ketakutan dan keterpaksaan dalam ketidakerdayaan karakternya.
Selanjutnya, Qorin membuat sebuah usaha terjun bebas yang kemudian melupakan akar permasalahannya sendiri dengan menempatkan beberapa cabang yang kemudian disatukan secara paksa. Misalnya sebuah adegan kesurupan masal mampu memberikan sebuah kesan menakutkan, belum cukup, filmnya kemudian mencoba ranah gore yang amat malu-malu dan terpana, setelah trailernya mencerminkan sebuah keberanian menumpahkan darah secara berlebihan.
Sebagai sutradara yang berpengalaman dalam menangani urusan aksi dan darah, Ginanti Rona bak tengah tertekan membuat sebuah sajian yang kali takut menodai agama. Konklusinya sempat menampilkan sebuah pemberdayaan yang baru saja digantikan oleh deretan penampakan tak menyeramkan hasil dari CGI yang begitu berantakan. Bahkan, filmnya sempat tampil cringey akibat ketiadaan dan keinginan menampilkan set-piece sarat unsur chaos yang malah terkesan hec-tic.
Hingga datang sebuah adegan tambahan yang menandakan sebuah teror yang masih belum sepenuhnya terselesaikan yang malah menjadi sebuah penyakit pasaran sajian horor yang dibuat demi mengundang rasa penasaran dan mencuatkan sebuah lanjutan yang sebaiknya jangan diteruskan terlebih dahulu filmnya sendiri kebingungan dan tersesat dalam wujud dualismean yang malah tak memberikan sebuah pembaharuan.
0 komentar:
Posting Komentar