Rabu, 13 Agustus 2025

PHANTOM (2023)

PHANTOM (2023)

Phantom garapan sutradara Lee Hae-young (Believer, The Silenced) mewarisi DNA film buatan Park Chan-wook dengan segala kemisteriusan pula estetika miliknya. Pun, premisnya kurang lebih jauh berbeda, masih berbicara mengenai kedudukan penjajahan Jepang di Korea. Tak hanya karya sang maestro, Hae-young pun ikut memberikan elemen lain atas kecintaannya pada genre tersebut, sehingga terciptalah sebuah sajian multi-genre dengan pengkawinan yang tak kalah solid.

Ditulis naskahnya juga oleh Hae-young, semula Phantom berjalan layaknya film spionase pada umumnya dengan tambahan sentuhan rasa noir pula budaya barat yang dilokalkan. Pun, jika ditelisik lebih dalam lagi, Phantom adalah hasil adaptasi Sound of the Wind karya Mai Jia. Perlahan-lahan kita pun berkenalan dengan salah satu karakternya, Park Cha-kyung (Lee Hanee) si mata-mata yang ditempatkan di bidang komunikasi.

Park Cha-Kyung adalah bagian dari organisasi anti-Jepang bernama Phantom, tugas mereka kali ini adalah membunuh residen-jenderal baru. Misi tersebut berakhir pada sebuah kegagalan, yang menyebabkan Kaito (Park Hae-soo) perwakilan militer Jepang mengumpulkan beberapa tersangka. Selain Park Cha-Kyung, rekan sesamanya yang terbilang baru, Baek-Ho (Kim Dong-hee) firasat, menyusul setelahnya adalah Yuriko (Park So-dam) si sekretaris residen-jenderal, Cheong Gye-jang (Seo Hyun-woo) si pemecah kode yang lebih menularkan kucingnya daripada nyawanya, dan Junji Murayama (Sol Kyung-gu) yang mencapai setengah Korea juga terlibat terlibat dengan Kaito.

Kelimanya dikumpulkan di sebuah hotel pinggir laut. Dengan keamanan tingkat tinggi pula penjagaan yang ketat, sulit rasanya untuk para tersangka kabur. Pun, interogasi tatkala mulai dilakukan, masing-masing karakter masih terilihat abu-abu, tak bergeming meski kukuh dengan pendapatnya masing-masing bahwa mereka terlibat. Dari sini pola cerita detektif diputarbalikan, menyisakan beragam persoalan mengenai kualitas hidup pula kemisteriusan karakternya.

Semuanya dimainkan dengan penuh kejutan oleh Hae-young yang juga memberikan penghormatan kepada Agatha Christie. Pertanyaan demi pertanyaan pun semakin mencuat-yang semakin dalam filmnya menyelam-semakin tak terduga perkembangan alurnya. Semuanya dimainkan secara pelan-namun pasti, kesabaran pun sempat diuji ketika filmnya dibuka.

Hae-young ibarat menerapkan ilmu bunglon. Semakin bertambah durasi semakin beragam pula eksplorasi miliknya, kali ini giliran aksi spionase bertempo tinggi yang dimainkan, yang memfasilitasi kemampuan pula para performa pemainnya yang sudah tak diragukan lagi. Lee Hanee dan Park So-dam adalah duo femme fatale, sementara Park Hae-soo memancarkan aura otoriter yang mudah dibenci, Sol Kyung-gu adalah sosok yang pantas dibayangkan.

Salah satu kekuatan terbesar Phantom adalah kepekaan sang sutradara yang menampilkan kejutan dalam momen yang tak terduga, dua di antaranya adalah yang melibatkan meja makan di dalamnya, yang disusul oleh deretan aksi cepat (meski sulit untuk Disebut baru) dengan keindahan estetika yang selalu diperhatikan. Baik itu melalui penggunaan color-grading maupun ruang luas semisal tirai panggung, kameranya selalu mendukung, menciptakan keindahan melalui beberapa tangkapan yang memanjakan mata.
Terpenting, semuanya dilakukan secara kontuniti. Entah itu visi estetika filmnya, aksi penggaet atensi pula deretan karakter dengan kepentingan pribadi masing-masing yang dimainkan dengan penuh intrik. Phantom pun ikut menyentuh ranah queer yang tersirat dalam dua karakter utamanya. Ketika karakternya berbicara mengenai akan berhenti merokok selepas merdeka, kalimat "merokok akan jauh lebih enak pada masa itu" menyusul setelahnya. Kurang lebih Phantom pun demikian, perlahan menuntut sebuah kesabaran dan kesenangan yang lebih akan dapat di dapat setelahnya.

0 komentar:

Posting Komentar