JAGAT ARWAH (2022)
Entah pembuka apa yang harus saya tuliskan, pikiran saya buntu, bingung hendak mulai dari mana, menyaksikan Jagat Arwah dan kemudian menulis ulasan untuknya adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan. Ada perasaan percaya tak percaya mengingat filmnya berda di bawah Visinema Pictures yang selalu melahirkan film-film berkualitas, harapan saya terhadap filmnya pun demikian, sebagaimana Mencuri Raden Saleh memberikan variansi genre baru di khasanah perfilman tanah air, Jagat Arwah adalah horor sarat akan unsur fantasi dengan beragam mitologi yang jelas penuh potensi.
Pembukanya tampil mencolok, di mana sebuah epilog dengan visualisasi animasi tampil memukau, saya tengah menyaksikan sebuah film superhero bukannya horor. Setelahnya, sebuah adegan tampil tampak menjanjikan di sebuah museum sarat akan unsur mistisme dan sebuah guillotine ditampilkan, membawa sebuah kesan berbeda. Keinginan untuk menyaksikan hal serupa seketika runtuhnya tatkala Jagat Arwah perlahan mulai menampakkan sisi aslinya.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan protagonis utamanya yang bernama Raga (Ari Irham), anak muda yang bermimpi untuk menjadi seorang musisi yang terkendala akibat restu sang ayah, Sukmo (Kiki Narendra) yang dengan santai menyebut Raga belum siap. sama seperti kebanyakan remaja masa awal umumnya, Raga jelas marah, hingga kematian sang ayah membuka sebuah fakta baru: Raga adalah wangsa Aditya ke-7.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Ditulis naskahnya oleh Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) berdasarkan ide milik Mike Wiluan (Buffalo Boys), Jagat Arwah seharusnya memberikan sebuah pengenalan bagi sang protagonis dalam masa perjalanannya, yang sekali lagi lalai dijabarkan. Demikian pula dengan penyutradaraan Ruben Adrian yang dalam debut perdananya kurang piawai atau malah belum berpengalaman mengemas sebuah spektakel yang berkesan, terutama dalam budget-nya yang sulit untuk Disebut kecil.
Padahal premis dan idenya menarik, unsur klenik, mitos hingga fantasi dikawinkan secara bersamaan. Pun kepercayaan suku Jawa mengenai sedulur papat limo pancer turut disinggung, yang hanya berakhir sebagai pernak-pernik semata, nihil kontuniti maupun kontribusi.
Jagat Arwah memiliki tiga demit yang ditampilkan secara berbeda, ketimbang keseraman, kehadirannya lebih tepat sebagai wali. Mereka adalah Nonik (Cinta Laura Kiehl) si penyembuh, Kunti (Sheila Dara) yang memiliki kekuatan telekinesis hingga Dru (Ganindra Bimo) sang petarung. Yang ketiga jelas layak diberikan kisah lebih, yang justru tak pernah disinggung oleh naskahnya yang terlampau acuh mengembangkan karakteriasi. Saya bahkan belum menyebut sosok hollow yang sempat eksis di layar sebagai salah satu film antagonis ini.
Pembukanya tampil mencolok, di mana sebuah epilog dengan visualisasi animasi tampil memukau, saya tengah menyaksikan sebuah film superhero bukannya horor. Setelahnya, sebuah adegan tampil tampak menjanjikan di sebuah museum sarat akan unsur mistisme dan sebuah guillotine ditampilkan, membawa sebuah kesan berbeda. Keinginan untuk menyaksikan hal serupa seketika runtuhnya tatkala Jagat Arwah perlahan mulai menampakkan sisi aslinya.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan protagonis utamanya yang bernama Raga (Ari Irham), anak muda yang bermimpi untuk menjadi seorang musisi yang terkendala akibat restu sang ayah, Sukmo (Kiki Narendra) yang dengan santai menyebut Raga belum siap. sama seperti kebanyakan remaja masa awal umumnya, Raga jelas marah, hingga kematian sang ayah membuka sebuah fakta baru: Raga adalah wangsa Aditya ke-7.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Ditulis naskahnya oleh Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) berdasarkan ide milik Mike Wiluan (Buffalo Boys), Jagat Arwah seharusnya memberikan sebuah pengenalan bagi sang protagonis dalam masa perjalanannya, yang sekali lagi lalai dijabarkan. Demikian pula dengan penyutradaraan Ruben Adrian yang dalam debut perdananya kurang piawai atau malah belum berpengalaman mengemas sebuah spektakel yang berkesan, terutama dalam budget-nya yang sulit untuk Disebut kecil.
Padahal premis dan idenya menarik, unsur klenik, mitos hingga fantasi dikawinkan secara bersamaan. Pun kepercayaan suku Jawa mengenai sedulur papat limo pancer turut disinggung, yang hanya berakhir sebagai pernak-pernik semata, nihil kontuniti maupun kontribusi.
Jagat Arwah memiliki tiga demit yang ditampilkan secara berbeda, ketimbang keseraman, kehadirannya lebih tepat sebagai wali. Mereka adalah Nonik (Cinta Laura Kiehl) si penyembuh, Kunti (Sheila Dara) yang memiliki kekuatan telekinesis hingga Dru (Ganindra Bimo) sang petarung. Yang ketiga jelas layak diberikan kisah lebih, yang justru tak pernah disinggung oleh naskahnya yang terlampau acuh mengembangkan karakteriasi. Saya bahkan belum menyebut sosok hollow yang sempat eksis di layar sebagai salah satu film antagonis ini.