Agustus 11, 2025
ANAK TITIPAN SETAN (2023)
Melihat tagline diatas bak sebuah parodi atau sindiran bagi Pengabdi Setan (2017) dan sekuelnya Pengabdi Setan: Communion (2022) yang rasanya akan membuat seorang Joko Anwar malu jika melihat ini. Merupakan comeback bagi sutradara Erwin Arnada (Nini Thowok, Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya, Kelam) Anak Titipan Setan mengikuti jajaran horor buatannya yang memantapkan statusnya sebagai sajian horor kelas teri.
Anak Titipan Setan banyak mengingatkan saya kepada Nini Thowok yang masing-masing mengenalkan mitologi baru bagi dunia perdemitan. Kali ini putaran sekte Jaran Penoleh yang bernasib serupa, ketika narasi sama sekali tak mendukung serta memberikan sebuah wadah yang mumpuni bagi guliran eksekusi yang digarap alakadarnya.
Mungkin, menurut pembuatnya horor itu penting menampilkan penampakan secara terus-menerus untuk membuat takut penonton. Jangankan definisi takut, menyaksikan Anak Titipan Setan malah mengundang tawa. Iya, tawa ketika melihat rentetan kejadian yang dilakukan para tokohnya yang diluar nalar dan logika.
Eyang Susan (Ingrid Widjanarko) menjalankan bisnis pembuatan batik tulis yang sudah malang-melintang. Suatu ketika, bisnisnya mulai perlahan sepi yang ternyata disebabkan oleh telatnya tumbal anak 10 tahun yang harus ia persembahkan. Dua cucunya telah menjadi korban, dan untuk mengatasi kemacetan ia memaksa Sari (Annisa Hertami), menantunya yang baru saja kehilangan anak dan suami-untuk mengirimkan surat kepada Putri (Gisella Anastasia), anak nakal yang memutuskan untuk kawin lari setelah tak direstui berakhir dengan seorang pria asal Australia dengan dalih harus membawa cucunya.
Paruh awal durasinya sudah menampilkan tanda ketidakberesan ketika Erwin Arnada mengartikan dunia ciptaan lain dengan menyalakan lampu merah sebanyak-banyaknya. Saya masih memafhumi dan berasumsi dalam hati bahwa Erwin terinspirasi oleh James Wan di Insidious. Hingga tatkala momen tersebut diulang kembali dengan pencahayaan yang terkadang tidak konsisten (bahkan salah satu lampu sangat jelas tertangkap kamera) saya mulai memahami kredibilitasnya.
Anak Titipan Setan dibuat dengan niat tak sejalan dengan pengadeganan tatkala naskah yang ditulis oleh sang sutradara bersama Wahyuddin Hasani Widodo bak setipis kertas dan kekurangan daya bahkan upaya. Yang paling kentara fatal adalah momen ketika memasuki ruangan pertunjukan yang sebatas hanya memberi sesaji berupa emas dan mengenakan pakaian berisi perkamen dan tengkorak kuda. Momen seperti ini kian direpitisi tanpa adanya urgensi selain hanya sekedar menambah durasi.
Desain hantunya yang dikreasikan sendiri oleh Erwin Arnada setidaknya memberikan kesegaran, meski ini berarti kekurangan daya gerak bagi hanunya yang seabatas menggerkan kulit, tubuhnya pun urung dihangatkan, sebatas menampikkab gerakan kaki dengam bantuan CGI. Saya sampai lupa menyebut bahwa desain anak setannya bak terinspirasi dari J-horror yang memasang wajah rata sang hantu dengan tata rias yang kurang meyakinkan (kecuali dengan anak setan perempuan yang terlihat di poster).
Selain mengandalkan jumpscare serampangan, Erwin Arnada juga sangat terobsesi dengan Scott Derrickson di mana salah satu adegan ikonik dalam Sinister (2012) ia buat ulang dengan urgensi yang harus menyelidiki keberadaannya. Ini semakin memantapkan bahwa Anak Titipan Setan murni adalah sebuah parodi.
Kehadiran Gisella Anastasia sebagai karakter utama sejatinya patut dipertanyakan. Screen-time-nya muncul di belakangan di babak ketiga filmnya. Berharap menyelamatkan filmnya, performa Gisel pun mengikuti keseluruhan filmnya, kurang tenaga dan kekurangan daya serta upaya. Terlebih lagi, di salah satu adegan petak umpet dengan sang hantu, sebuah momen di luar nalar pun muncul yang sebenarnya tak perlu disaksikan oleh kamera. Ialah ketika Gisel mengizinkan sandalnya yang copot dan kamera berdiam saja menangkap ekspresi.
Konklusinya sarat penyederhanaan. Anak Titipan Setan adalah sajian medioker yang tak berotak dengan menjadikan Jaran Penoleh sebagai jualan utam dan melupakan esensinya begitu saja. Jika Jaran Penoleh adalah manusia dan memutuskan untuk menonton film ini, Jaran Penoleh niscaya akan kehilangan harga dirinya, sama seperti saya yang tak habis berpikir untuk membuang waktu 108 menit berharga dengan teleskop yang membuat keram logika. Sungguh diluar nurul, tak habis fikri dengan sajian semacam ini.
0 komentar:
Posting Komentar