Agustus 12, 2025
HATI SUHITA (2023)
Bagi orang yang tak terlalu menyukai tontonan religi seperti saya, mudah untuk menganggap remeh Hati Suhita berdasarkan premis formulaik miliknya yang tak memberikan perubahan selain sama-sama sebagai sajian romantika bernapaskan islami lainnya. Muncul sebuah kejutan pasca menontonnya, bahwa Hati Suhita ternyata adalah tontonan yang cukup solid dan kompleks. Terlebih lagi, ketersediannya untuk menelisik lebih dalam karakternya dan keengganan untuk menyampaikan ceramah menggurui pada umumnya adalah salah satu keunggulan terbesar filmnya.
Sejak memutuskan untuk menimba ilmu di pesantren, Alina Suhita (Nadya Arina) sudah dijodohkan oleh Kyai Hannan (David Chalik) dan Ummi (Desy Ratnasari) dengan anak semata wayangnya, Gus Birru (Omar Daniel). Hari pernikahan pun tiba, Guss Birru yang merupakan seorang aktivis pembela kebebasan bahkan tak bisa menolak keinginan orang tuanya di saat hatinya masih tertambat akan Ratna Rengganis (Anggika Bolsterli), kekasih sealigus rekan bisnisnya.
Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio (Buya Hamka, Gita Cinta dari SMA, Ranah 3 Warna) berdasarkan novel berjudul sama buatan Khilma Anis, Hati Suhita menjauh dari pakem drama perihal perjodohan yang hanya akan membuat karakter wanitanya meratap dan menangisi kisahnya setelah mengetahui cintanya berpegangan tangan. Benar, momen tersebut hadir yang kali ini tampil dalam kadar yang seharusnya sebagaimana manusia pada umumnya.
Alina Suhita dipilih sebagai menantu karena ia dipercaya dapat meneruskan kepemimpinan pesantren menjadi jauh lebih baik. Gus Birru pun menghormatinya, meski ketika malam pertama tiba, ia menegaskan tidak akan menyentuh Suhita karena ia tidak mencintainya.
Perjalanan Suhita mempertahankan rumah tangganya bukan hanya sebatas cinta, tapi amanah yang selalu jaga. Pun, kita memperlihatkan bagaimana Suhita mencoba merebut hati suaminya (yang mana hal ini tentu saja manusiawi) dengan menggodanya mengenakan pakaian dalam, sebuah adegan yang tak saya sangka akan hadirkan dari film religi. Pada saat yang sama, adegan ini pun bukan sebatas pernak-pernik semata, melainkan sebuah upaya menelusuri momen intim para karakternya.
Pengarahan Archie Hekagery (Perjanjian Pernikahan, Tarung Sarung) pun sumbangsih memberikan napas serupa, diterapkannya momen itu secara perlahan dengan iringan musik yang mendayu-dayu, sesekali ia menambahkan sebuah intrik agar penontonnya ikut terhanyut ke dalam cerita. Hasilnya? Beberapa diantaranya memang tersampaikan, sebagaimana yang terjadi dan saya lihat di studio tempat saya menonton, meski kesan sinetron-ish sulit dihindarkan sedari adegan pembukanya yang mencoba menampilkan sinematis dengan melibatkan drone sebagai alat bantunya.
Terdapat korelasi menarik antara karakter Suhita dengan kisah-kisah sejarah Jawa yang bertujuan memberikan sebuah komparasi karakternya dengan buku maupun epos setempat, yang paling berpengaruh adalah perihal cerita mengenai Dewi Suhita yang selalu tampil kuat dan tegar menghadapi segala permasalahan. Sayang, paralelisasi ini gagal tersampaikan dengan baik ketika filmnya sendiri sebatas menjadi sebua pernak-pernik nihil dampak signifikan.
Biarpun demikian, Nadya Arina tampil mengesankan lewat pembawaannya yang selalu memberikan nyawa bagi karakternya termasuk ketika seorang Suhita berdiam diri dalam menanggapi apa yang terjadi, ketika emosi yang tadi diredam membuncah hasilnya pun sesuai dengan apa yang diharapkan. Anggika Bolsterli pun tetap piawai memberikan performa solid sebagai orang yang tak kalah tersakiti, apalagi ia diwajibkan untuk merelakan dan mengikhlaskan memahami kandas begitu saja. Dibandingkan dua pemeran wanitanya, Omar Daniel mungkin kalah bersinar, meski dalam sebuah adegan krusial yang menjadi titik balik filmnya, respons Omar patut dipuji, kala banyak film serupa mengagungkan sebuah maskulinitas, Gus Birru membenarkannya dengan menundukan kepala sebagai respons murni tatakal ia mengamati wanitanya.
Tak kalah mencuri perhatian adalah para pelakon pendukungnya, Devina Aureel sebagai Aruna, sahabat dekat Suhita salah satunya. Kepiawaian Devina tak menjadikannya sebagai comic-relief belaka, ia mampu mewakili perasaan penonton lewat celetukan tanpa saring miliknya. Sang aktris jelas menyimpan bakat terpendam dalam menangani adegan komedik.
Sekali lagi, Hati Suhita adalah contoh bagaimana sajian bernapaskan religi dikemas. Tidak ada sebuah paksaan maupun celotehan mengenai agama kala filmnya sendiri mampu memanusiakan karakternya. Gus Birru misalnya, ia adalah anak tunggal seorang Kyai, terlihat jelas bahwa ia bukan sosok yang religius, tuntutan meneruskan pesantren ia gantikan dengan mengelola kafe, pun ketimbang baju koko ia memilih mengenakan kemeja kasual biasa, bahkan ia pun sering bangun tidur di saat matahari sudah meninggi. Sampai disini, Hati Suhita seharusnya bisa menjadi tonggak sederhana untuk sajian serupa kedepannya.
0 komentar:
Posting Komentar