Senin, 11 Agustus 2025

PULAU (2023)

PULAU (2023)

Sebelumnya, Pulau (di Indonesia sendiri dirilis dengan judul Pulau Terkutuk) penuh dengan kontroversi di Malaysia sedari awal trailernya dirilis yang mendapat kecaman dari Menteri Komunikasi dan Dewan Konsultasi Malaysia untuk Organisasi Islam yang berasumsi bahwa filmnya berkedok soft-porn. Mengesampingkan hal itu, Pulau sejati (yang dirilis di Indonesia tanpa sensor) menjadikan hal tersebut sebagai sebuah elemen krusial selain sebagai penyesuaian tempat yang mana dianggap sebagai hal yang lumrah jika meniliknya atas dasar seni. Alih-alih peningkatan secara kuantitas, Pulau sendiri justru miskin secara kualitas.

Itu sudah terjadi semenjak paruh jam perdana yang murni dikemas sebagai sebuah vlog jalan-jalan dengan tampilan keindahan Pulau Langkawi yang memang terlihat indah di layar. Namun, sebagai sebuah tujuan filmnya justru kekurangan ide guna mengemasnya sedemikian mumpuni tatkala mengenalkan barisan karakternya yang miskin sebuah karakterisasi selain sebagai calon untuk ditakut-takuti. Singkatnya, Pulau adalah satu lagi horor yang sebatas pengisian tanpa pernah memberikan suatu urgensi.

Premisnya sendiri diformulasikan. Sekelompok remaja yang berniat melakukan liburan di resor pilihan tak sengaja menemukan bahwa mereka menemukan sebuah pulau terlarang yang menyimpan sebuah misteri kelam. Dipimpin oleh Kat (Amelia Henderson) yang memiliki indra keenam, sisanya adalah karakter standar khas film b-movie, Khai (Ikmal Amry) yang menaruh rasa terhadap Kat dan menyadari bahwa ia memiliki saingan lain bernama Ben (Alif Satar), sepupu sahabatnya, Lili (Joey Leong) si vlogger, Mark (Vikar) si penakut yang terang-terangan ikut untuk melihat pesta bikini, dan dua pasangan mesum, Dauz (Jazmy Juma) dan Yus (Sanjna Suri).

Secara tak sengaja, resor tempat mereka juga kedatangan sang geng lawan. Dari sini semuanya bermula, tatkala kelompok Kat dan geng lawannya taruhan untuk sebuah permainan tradisional dengan hukuman yang mengharuskan yang kalah menginap di pulau terlarang. Sampai disini, Anda justru bisa menebak kemana arah naskah buatan Eu Ho (turut merangkap sebagai sutradara) bersama Fred Chong (turut merangkap sebagai produser) dan Tommy Loh bermuara.

Sulit untuk bersimpati terhadap para karakternya yang memang terang-terangan tampil bodoh. Semua larangan dilanggar begitu saja yang justru dijadikan alasan untuk sang hantu melangsungkan serangan. Jangankan hantu, manusia beratal pun akan marah jika tempatnya dirusak, bahkan dijadikan tempat mesum oleh orang tak tahu malu. Pulau diisi oleh karakter stereotip menyebalkan dalam film horor yang dengan senang hati saya sumpahi nyawanya meregang.

Sejenak saya mengingat fakta bahwa filmnya dibuat semata-mata hanya untuk menampilkan rangkaian kematian karakternya akibat melanggar aturan. Filmnya sendiri membentangkan aturan utama yang terkait serangan sang hantu yang begitu malas dan penuh tanda tanya. Apa repotnya melenyapkan satu persatu karakternya yang terang-terangan merusak tempat miliknya jika dia terlampau sakti bisa melenyapkan sekelompok orang dalam perahu yang secara khusus tidak bersalah?

Ketidakberesan itu semata-mata diperpanjang demi menghadirkan rangkaian serangan hantunya yang alih-alih menyeramkan justru mengundang tawa. Melihat sang hantu menyerang bak menegaskan bahwa ia adalah siluman katak jadi-jadian, atau tatkala ia mengikuti karakternya bersembunyi di bawah air bak sebuah gelandangan yang penuh dengan belas kasihan. Padahal, tata riasnya sendiri terlihat meyakinkan dan patut untuk diapresiasi.

Hingga datanglah sebuah twist paling bodoh yang mencurangi kesulurahan filmnya. Entah sebuah ide dari mana yang menganggap bahwa konklusinya begitu menakjubkan dan sarat akan sebuah kejutan pintar. Eu Ho dan rekan penulisnya seolah bermain-main dengan menganggap bahwa keseluruhan filmnya memang tidak seharusnya terjadi. Jika hal tersebut dikedepankan, untuk apa repot-repot membangun 112 menit penuh kekosongan?

0 komentar:

Posting Komentar