Selasa, 12 Agustus 2025

KAJIMAN (2023)

KAJIMAN (2023)

Sebagai film panjang dengan genre horor pertamanya, sutradara Adriyanto Dewo (sebelumnya banyak mengarahkan film drama dan sempat mengisi segmen Pasar Setan dalam omnibus Hi5teria) mengikuti tradisi sutradara "spesialis non-horror" yang akhirnya menyatakan kalimat "semua akan horor pada waktunya" menjadi kenyataan. Premisnya sendiri formulaiknya, masih mengenai praktik pesugihan. Namun, alih-alih menampilkan parade penampakan, Adriyanto Dewo lebih fokus pada dampak yang dihasilkan.

Asha (Aghniny Haque) seorang perawat yang pasca kematian ibunya memutuskan untuk menjadi perawat rumah bagi seorang pasien lansia bernama Ismail (Tyo Pakusadewo) yang mengidap penyakit misterius. Timbul desas-desus bahwa rumah yang ditempati Asha adalah rumah tempat praktik pesugihan yang konon menyimpan sebuah malapetaka. Tak butuh waktu lama bagi Asha untuk menyadari itu semua.

Ditulis naskahnya oleh Daud Sumolang (Susi Susanti: Love All, Dear David) Kajiman (mempunyai judul lengkap, Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji) ikut mengeleminasi stereotip karakter dalam film horor. Misalnya karakter Bu Rum (yang dimainkan secara gemilang oleh Mian Tiara), dukun setempat yang tidak memakai seragam layaknya "dukun layar lebar", dan di rumahnya tak ditemukan berbagai macam benda aneh. Bu Rum yang sempat membantu Asha berkomunikasi dengan sang ibu hanya membutuhakan lilin saja sebagai perantara, yang mana ini lebih rasional.

Selain memberikan perbedaan, Kajiman juga turut memberikan kritisi terhadap "dukun layar lebar" itu sendiri yang dimainkan dengan mencolok oleh Rukman Rosadi. Ketimbang pembacaan mantra, dukun ini hanya sebatas memasang jurus kuda-kuda dan mendewakan uang setelahnya. Menyelesaikan kasus semisal kesurupan pun ia kelabakan, hanya perlu membutuhkan sebuah tali sebagai pengganti daripada mengusir entitas jahat.

Benar. Kajiman bukanlah tontonan horor untuk semua orang. Kecepatan yang lambat diterapkan pula alih-alih menyuapi penonton, ia malah membuat penonton untuk memecahkan misterinya sendiri layaknya menyusun sebuah puzzle agar tertata cepat dalam durasi 99 menit miliknya ini. Keputusan yang dipilih pun menimbulkan beragam persepsi, mereka yang akan memujanya berkat kerapian narasinya maupun mereka yang membencinya karena kurangnya jumlah amunisi teror maupun persentasi non-linier yang bagi penonton awam akan cukup membingungkan.

Saya berada pada golongan pertama, meski beberapa di antaranya kurang menikmati pengadeganan miliknya ini. Dewo memang melibatkan penonton di dalamnya, sesekali ia menampilkan wujud penampakan makhluknya yang begitu minimalis namun tetap mencekam. Sayang, semuanya harus berakhir pada sebuah catatan, semisal melemahkan tempo pemanfaatan yang berakhir lesu maupun penurunan scoring saat mempermainkan adegan yang cukup krusial.

Pemilihannya pun sempat bertolak belakang, kala tujuan awal filmnya untuk melibatkan penonton berujun pada sebuah konklusi yang terlampau banyak menyuapi informasi. Tak ketinggalan, beberapa adegan pun tampil begitu canggung seolah-olah tertahan batasan usia dalam mengemasnya. Salah satu kematian karakternya malah menimbulkan tawa spontan seisi studio (petunjuk: jendela).

Beruntung, Kajiman memiliki konklusi kuat dari horor kebanyakan. Ketika seseorang diambang duka yang mendalam, terdapat sebuah dunia yang lebih menakutkan daripada setan maupun pesugihan. Unsur mistis dileburkan secara mulus dengan elemen psikis yang menjadi cangkang bagi filmnya untuk menampilkan sebuah manifestasi iblis itu sendiri, terutama setelah menguasai hati dan pikiran manusia yang lemah semuanya terasa begitu mudah.


0 komentar:

Posting Komentar