Agustus 10, 2025
KETIKA BERHENTI DI SINI (2023)
Kukira Kau Rumah (2021) menjadi debut penyutradaraan pertama seorang Umay Shahab, yang pada saat itu belum genap dua. Mengangkat isu penting mengenai kesehatan mental yang sering disepelekan, dalam kacamata rangkaiannya, debutnya memberikan pencerahan melalui pembawaan yang tak salah kaprah, setidaknya itu terbukti dalam sudut pandang ilmu psikologi. Memang jauh dari kesan sempurna (terlebih konklusinya yang terasa seperti presentasi), namun kehadirannya patut diapresiasi. Dua tahun berselang, bocah yang sudah memasuki usia dewasa itu pun kembali, kali ini memainkan isu seputar kehilangan yang sangat dekat sekaligus personal.
Dita (Prilly Latuconsina), seorang desain grafis yang selalu menenteng tas bergambarkan lambang Mandala mendapati bahwa iPad miliknya harus diperbaiki. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan Ed (Bryan Domani), pria yang secara tak sengaja menggiringnya ke tempat servis langganannya. Pertemuan keduanya juga memberikan warna baru bagi kehidupan Dita, sejenak melupakan bahwa ia adalah sosok yang rapuh yang belum mengikhlaskan kematian sang ayah (Indra Brasco).
Empat tahun mereka bersama, dan Dita merasa bahwa ringkasannya begitu saja, seolah-olah berjalan di tempat tanpa adanya kejelasan. Pertengkaran pun sulit tuk dihindarkan-yang justru menjadi akhir dari segalanya selepas Ed meninggal dalam sebuah kecelakaan. Untuk kedua kalinya, Dita harus merasakan kehilangan.
Dita mungkin tak sebaik ibunya (Cut Mini) dalam menanggapi kehilangan. Itulah mengapa secara keseluruhan begitu renggang, pun kehadiran tiga sahabatnya: Untari (Lutesha), Awan (Sal Priadi) dan Ifan (Refal Hady) masih belum bisa menyelamatkannya dari kenyataan. Terlebih lagi untuk Ifan, ia begitu memendam perasaan sedari lama dengan Dita.
Dalam masa terpukulnya, Dita dihadiahi sebuah kacamata putih yang ternyata dapat menghidupkan kembali Ed dalam sebuah sistem kecerdasan buatan (baca: AI) dalam bentuk hologram. Kehidupan Dita perlahan mulai membaik, meski pada kenyataannya semuanya tak akan berjalan lama sebagaimana mestinya.
Dibantu oleh sokongan naskah dari Alim Sudio, Umay si penulis naskah dan Umay si sutradara menampilkan sebuah korelasi mumpuni dalam rangka mengembangkan sebuah narasi sarat relevansi. Tak bisa dipungkiri memang, kecanggihan teknologi yang kian berevolusi memang suatu hal yang harus diterima keberadaannya. Lewat ini pula, Umay menyampaikan pesannya sebagai ajang untuk merayakan sekaligus mengikhlaskan apa yang seharusnya terjadi.
Persentasenya jelas lebih baik dari karya sebelumnya, meski tak berarti sepenuhnya sempurna. Paruh awalnya cukup terbata-bata dalam melakukan proses introduksi-yang kesuksesan dapat diatasi. Ketika Berhenti di Sini kemudian berevolusi dalam menghadirkan sebuah inspirasi para pembuatnya, entah itu dalam bentuk karya idamanya (seperti Eternal Sunshine of the Spotless Mind) atau lagu yang selalu memberikan nyawa lewat penggunaannya.
Memasuki pertengahan, filmnya sempat goyah ketika Umay gemar berlarut-larut dalam menyoroti kubangan luka karakternya yang seolah tampil tak berkesudahan. Ada sebuah tayangan yang berlebihan sehingga para penonton menceritakan air mata dan ikut dalam pengarahannya, meski salah satu di antaranya mampu tampil tepat sasaran, sebutlah momen ketika Dita mendengar kematian pertama kekasihnya. Momen tersebut sangat sederhana, namun mampu menguarkan sebuah emosi yang bergejolak di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar