This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 Agustus 2025

JAGAT ARWAH (2022)

                                   JAGAT ARWAH (2022)

Entah pembuka apa yang harus saya tuliskan, pikiran saya buntu, bingung hendak mulai dari mana, menyaksikan Jagat Arwah dan kemudian menulis ulasan untuknya adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan. Ada perasaan percaya tak percaya mengingat filmnya berda di bawah Visinema Pictures yang selalu melahirkan film-film berkualitas, harapan saya terhadap filmnya pun demikian, sebagaimana Mencuri Raden Saleh memberikan variansi genre baru di khasanah perfilman tanah air, Jagat Arwah adalah horor sarat akan unsur fantasi dengan beragam mitologi yang jelas penuh potensi.

Pembukanya tampil mencolok, di mana sebuah epilog dengan visualisasi animasi tampil memukau, saya tengah menyaksikan sebuah film superhero bukannya horor. Setelahnya, sebuah adegan tampil tampak menjanjikan di sebuah museum sarat akan unsur mistisme dan sebuah guillotine ditampilkan, membawa sebuah kesan berbeda. Keinginan untuk menyaksikan hal serupa seketika runtuhnya tatkala Jagat Arwah perlahan mulai menampakkan sisi aslinya.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan protagonis utamanya yang bernama Raga (Ari Irham), anak muda yang bermimpi untuk menjadi seorang musisi yang terkendala akibat restu sang ayah, Sukmo (Kiki Narendra) yang dengan santai menyebut Raga belum siap. sama seperti kebanyakan remaja masa awal umumnya, Raga jelas marah, hingga kematian sang ayah membuka sebuah fakta baru: Raga adalah wangsa Aditya ke-7.

Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengontrol batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang baik....sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.

Ditulis naskahnya oleh Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) berdasarkan ide milik Mike Wiluan (Buffalo Boys), Jagat Arwah seharusnya memberikan sebuah pengenalan bagi sang protagonis dalam masa perjalanannya, yang sekali lagi lalai dijabarkan. Demikian pula dengan penyutradaraan Ruben Adrian yang dalam debut perdananya kurang piawai atau malah belum berpengalaman mengemas sebuah spektakel yang berkesan, terutama dalam budget-nya yang sulit untuk Disebut kecil.
Padahal premis dan idenya menarik, unsur klenik, mitos hingga fantasi dikawinkan secara bersamaan. Pun kepercayaan suku Jawa mengenai sedulur papat limo pancer turut disinggung, yang hanya berakhir sebagai pernak-pernik semata, nihil kontuniti maupun kontribusi.


Jagat Arwah memiliki tiga demit yang ditampilkan secara berbeda, ketimbang keseraman, kehadirannya lebih tepat sebagai wali. Mereka adalah Nonik (Cinta Laura Kiehl) si penyembuh, Kunti (Sheila Dara) yang memiliki kekuatan telekinesis hingga Dru (Ganindra Bimo) sang petarung. Yang ketiga jelas layak diberikan kisah lebih, yang justru tak pernah disinggung oleh naskahnya yang terlampau acuh mengembangkan karakteriasi. Saya bahkan belum menyebut sosok hollow yang sempat eksis di layar sebagai salah satu film antagonis ini.




INANG (2022)

INANG (2022)

Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya sangat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Demikian pula, seperti difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang pengaturan tempat jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dimiliki beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tidak memberikan perubahan.

Mengedepankan horor-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI buatan (monster di Creature 3D lebih baik dibandingkan ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.

Barisan karakternya pun demikian, di buat atas pelengkap dasar tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug Ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.

Mereka adalah pasangan orang tua, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou) yang semenjak kedatangan Wulan telah menunjukkan kasih sayangnya. Mudah memahami kenyamanan yang dirasakan oleh Wulan, meski penonton kita tahu bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kebaikan kedua orang tua tersebut. Dari sini sebuah ironi dramatis diterapkan, yang mana membawa narasinya perlahan tapi pasti menggiring penonton masuk ke sebuah rumah misteri, sebagaimana tikus yang bersamaan dengan kedatangan Wulan yang terperangkap dalam kurungan.

Penyutradaraan Fajar Nugros pun demikian, ia tengah bersenang-senang dengan sebuah mode menunggu malapetaka yang akan datang yang secara cermat ikut melempar sebuah semiotika maupun metafora lain (tikus, bubur, patung harimau, bunga) yang berjasa besar bagi filmnya untuk dekat ke ranah art house, meskipun beberapa di antaranya acap kali terlihat gamblang, namun itu bukanlah sebuah masalah selama penerapannya tak salah sasaran.

Horornya sendiri bermula dari sebuah ketidaknyamanan yang sepanjang durasi perlahan disibak kebenarannya, favorit saya adalah tatkala Nugros menampilkan sebuah adegan mimpi yang tampak surealis. Tak selamanya tampil kelam, Nugros yang berpengalaman menjajal drama hingga komedi turut menyelipkan elemen kegemarannya secara tersirat, itu berasal dari deretan dialog-dialog tanpa saringan hingga beragam kata-kata umpatan yang membuat filmnya terasa dekat dengan penonton. Bahkan, Naysilla Mirdad dalam debut layar lebar perdananya pun tampak menikmati melontarkan dialog yang berkebalikan dengan citra dirinya sebelumnya.

Paruh pertama Inang adalah sebuah introduksi yang seketika menggaet atensi lewat kedekatan personalisasi menengah ke bawah masyarakat yang menampilkan apa adanya, menggambarkan sebuah horor dalam realita guna menunjang kehidupan yang tak selalu sesuai keinginan. Inang juga pula menyinggung perihal male gaze melalui karakter yang dimainkan secara dijanjikan oleh Totos Rasiti sebagai bos Wulan dan Nita. Sayang, menjelang pertengahan hingga akhir, elemen tersebut kian terlupakan, seakan Nugros mengambil mode auto pilot secara dadakan.

Inang adalah sebuah folk-horror yang terkadang tak konsisten perihal pemanfaatan rebo wekasan, mampu memberikan sebuah teror berkesinambungan, teror yang tak selalu melulu berwujud setan selain sosok yang lebih nyata di mana kelicikan dan tipu daya kerap dijadikan senjata bagi mereka untuk penguasa yang berdiri di atas nama 'kepemilikan'.

Di pertengahan kita sempat diperkenalkan dengan Bergas (Dimas Anggara), putra semata wayang Eva dan Agus, yang meski penampilan Dimas Anggara memang layak dipuji (terutama ketika momen konfrontasi), sedikit meninggalkan cela tatkala kehadirannya bahkan mengambil alih cerita, menjadikan karakter Wulan sebagai seorang damsel in distress setelah sebelumnya ditampilkan penuh perlawanan. Memang kontradiktif, meski tak sampai mengurangi hasil akhirnya.
Konklusinya tampil layak, meski terkadang ada sebuah potensi untuk bisa tampil lebih. Saya menyukai adegan akhirnya, meskipun terkait adegan mid-credit miliknya bisa saja tampil sebagai pisau bermata dua (meski saya sendiri dapat dengan jelas memenuhi tujuan), Sekali lagi adalah horor yang cukup memuaskan dari seorang Fajar Nugros yang masih belum sepenuhnya berpengalaman. Meski terdapat beberapa kekurangan, kepekaan esensi semakin menegaskan bahwa semuanya bukan tanpa alasan, ada sebuah hukum kausalitas yang sulit untuk dijelaskan, terutama jika sudah mengancam kekuatan alam.

JUDAA HOKE BHI (2022)

 JUDAA HOKE BHI (2022)

Keseraman Raaz (2002) mungkin telah luntur semenjak banyaknya horor yang menampilkan degradasi ketakutan dalam cara yang berbeda. Namun, bagi seorang Vikram Bhatt, sutradara kawakan yang rutin menelurkan tontonan horor di luar franchise Raaz, masih merasa bahwa trik tersebut dirasa ampuh. Saya sudah khatam dengan horor buatannya di belakangan ini, yang seperti pada umumnya ia bekerjakan, Judaa Hoke Bhi pun tak ayal merupakan satu lagi horor dengan cita rasa yang sama. Tidak lebih.

Aman (Akshay Oberoi) adalah seorang penyanyi yang beralkohol. Hubungannya dengan sang istri, Meera (Aindrita Ray) kian merenggang, terutama setelah kecelakaan yang mengecewakan putra mereka. Dengan finansial yang buruk, Meera kemudian menerima tawaran untuk menulis otobiografi Siddharth Jaiwardhan (Meherzan Mazda) dan pergi ke Uttrakhand selepas mengetahui sang suami yang sudah sadar dari koma, ternyata masih mengulanginya dengan menyelundupkan alkohol.

Ditulis secara keroyokan oleh Mahesh Bhatt, Shwetha Bothra, Aman Puranik dan Suhrita Sengupta, Judaa Hoke Bhi memulai paruh pertama dengan menampilkan nomor musikal, meneruskan kebanyakan film Vikram Bhatt sebagai salah satu film dengan soundtrack yang dengan cepat mudah diterima. Poin plus ini sayangnya tidak didukung oleh narasi yang mumpuni, yang keberadaannya sebatas melempar teori tanpa pernah benar-benar memahami akan esensinya itu sendiri.

Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya sangat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Demikian pula, seperti difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang pengaturan tempat jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dimiliki beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tidak memberikan perubahan.

Mengedepankan horor-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI buatan (monster di Creature 3D lebih baik dibandingkan ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.

Barisan karakternya pun demikian, di buat atas pelengkap dasar tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug Ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.


CAPTAIN (2022)

 CAPTAIN (2022)

Menyandang status sebagai satu lagi film lokal hasil remake sineas Korea Selatan, Kalian Pantas Mati yang merupakan adaptasi resmi dari Mourning Grave (2014) kembali unjuk gigi dalam menampilkan remake yang pantas, bahkan di beberapa lini mampu menandingi film aslinya. Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio (Miracle in Cell No. 7, 12 Cerita Glen Anggara, Ranah 3 Warna) melakukan beberapa modifikasi (yang jadi keunggulan film ini adalah mengganti kalung liontin dengan gelang akar, yang mana lebih dapat diterima), meski secara secara masihlah sebuah remake yang setia pada materi aslinya.

Rakka (Emir Mahira, yang kembali menjajaki dunia akting selepas 9 tahun hiatus) adalah remaja yang kerap terganggu oleh kemampuan indigo miliknya yang kerap memicu teman sekelnya menyebut sebagai seorang yang aneh, perundungan pun kerap dialami olehnya, itulah mengapa ia memutuskan pindah dari Jakarta ke Bogor karena merasa jengah dengan apa yang dialaminya. Keputusan untuk pindah pun rupanya tak memberikan sebuah perbedaan, kali ini Rakka masih menjadi korban pengganggu bahkan kembali diikuti oleh seorang hantu tanpa identitas (diperankan oleh Zee JKT48, yang dalam debut perdanya tampil begitu natural dan menyenangkan).

Lambat laun, Rakka dan sang hantu remaja tersebut mulai menampilkan sebuah kedekatan, dari sini Kalian Pantas Mati mulai menjajaki ranah romansa, yang mungki tampil tak mendekati sumber aslinya, menyampaikan ke sebuah adegan yang melibatkan payung dan guyuran hujan. Namun, itu bisa dipahami, mengingat fokus utama sang sutradara, Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki, Lukisan Ratu Kidul) bukanlah itu, melainkan horor supernatural dengan sentuhan pedang yang tak segan menambah kadar darah.

Ya, Ginanti kembali pada mode kesukaannya, yang meski di tampilkan secara off-screen (sehingga mendapat rating 13+ tentunya) setidaknya diperlihatkan dampak atas apa yang dilakukan maupun terjadi setelahnya. Dibantu scoring hasil gubahan Ricky Lionardi (Danur Universe), teror yang terjadi di Kalian Pantas Mati mengamini judulnya, menampilkan balasan setimpal terhadap mereka para pelaku perundungan.

Berbicara mengenai isu perundungan miliknya, Kalian Pantas Mati mampu menyulut kebencian terhadap pelaku sang, meski karakterisasi mereka teramat dipahami untuk dijadikan karakter antagonis. Pun, kita sempat melihat sang hantu menghukum pihak guru sebagai pelestari perbuatan tersebut, dan lagi-lagi motovasinya teramat halus, film aslinya lebih tegas terkait ini.

Mourning Grave ikonik dengan hantu bermasker, pun tampilan yang direplikasi oleh Kalian Pantas Mati tak kalah menyeramkan dengan janji janji (beberapa hantu lainnya pun tampil demikian), favorit saya adalah adegan yang melibatkan gunting, seolah menyatakan bahwa ancaman yang dilakukan tak segan-segan dalam memberikan sebuah pertempuran.

Tentu, semuanya takkan berjalan andai tak disokong oleh performa yang berjanji, Emir Mahira membuktikan bahwa keabsenannya di dunia peran tak mengubah performa olah rasa miliknya, sementara sebagai pendatang baru, Zee JKT48 melahirkan sebuah performa yang jauh dari kesan buruk, Zee dengan mudah dapat menjadi idola baru, selama ia jeli memilih peran kedepannya.
Paruh ketiganya jadi puncak rentetan teror yang dilipatgandakan, meski saya sendiri sedikit terganggu dengan konklusinya yang terlalu memberikan tumpang tindih dalam menjawab apa yang terjadi. Setidaknya, Kalian Celana Mati masih merupakan tontonan yang akan memuaskan target segmentasinya (para remaja) sambil memberikan pesan terkait perundungan yang masih sangat relevan terjadi di masa sekarang. Senang, melihat Ginanti Rona akhirnya kembali ke jalan yang seharusnya mewadahi kegemaran dan kesukannya dalam menampilkan sebuah mode brutal dan tak segan menumpahkan darah.


CAPTAIN (2022)

CAPTAIN (2022)

Sutradara sekaligus penulis Shakti Soundar Rajan dikenal sebagai salah satu film asal Tamil yang selalu membawakan genre baru khas hollywood untuk kollywood. Miruthan (2016) adalah film Tamil dengan genre invasi zombie pertama, Tik Tik Tik (2018) adalah sains-fiksi ilmiah pertama hingga Teddy (2021) yang sarat inspirasi akan Ted (2012). Captain adalah film Tamil dengan genre alien-invasion yang sarat akan inspirasi akan Predator (1987). Bahkan tak cukup sampai di sini, proyek Rajan selanjutnya yang berjudul Naaigal Jaakirathai disebut sebagai film Tamil pertama yang menampilkan anjing sebagai pemeran utama.

Saya selalu menyukai bagaimana sinema Hindi gemar mengeksplorasi hal-hal baru yang tak segan untuk tak menahan sesuatu. Kapten memang mempunyai semangat itu, meski sebuah lubang menganga terkait narasi yang murni sebagai tontonan dengan terdapat pesan terkait lingkungan yang terasa dipaksakan. Itulah mengapa pertunangan perdana menjanjikan hal serupa, meski setelahnya diisi oleh sebuah pengadeganan yang terlampau panjang untuk sekadar menceritakan karakterisai tokohnya.

Protagonis utama kita bernama Vetriselvan (Arya), seorang kapten yang ditugasi untuk menangani kasus teroris. Sebuah kejadian yang menimpa beberapa tentara tatkala mereka mulai memsuki hutan di sekitar sektor 42. Kejadian yang sulit dijelaskan nalar dan diterima para anggota sekaligus kapten di dalamnya.

Keerthi (Simran) yang ingin melakukan penelitian sekaligus mencari jawaban meminta bantuan Vetriselvan, yang meski telah dicap sebagai pembelot atas pembelaan yang ia lakukan terhadap Karthi (Harish Uthaman), kapten sekaligus sahabatnya yang menjadi penjahat pasca melakukan kunjungan ke sektor 42. Kini, giliran Vertriselvan dan para anggotanya untuk mencari kebenaran atas apa yang terjadi sekaligus membersihkan nama sang sahabat.

Membutuhkan waktu sekitar 50 menit guna penonton diajak masuk ke sebuah hutan bersama Vetriselvan, yang mana pada kunjungan pertamanya pun merasakan kegelisahan akibat keputusan yang berakhir pada sebuah kegagalan. Perkenalan yang seharusnya bisa memberikan pengalaman yang mengesankan justru berakhir pada sebuah kekecewaan, sementara kita malah dijejalkan oleh beragam bahasa sains guna memahami sang monster.

Minotaur. Nama monster tersebut disebut, yang menurut Dr. Keerthi mirip dengan makhluk mitologi dari Yunani, tidak memiliki suhu dan dapat mengirimkan sinyal kepada kawanannya. Tentu saja, sebuah sasaran empuk yang haram hukumnya kalua tak dieksplorasi secara lebih, dan Kapten setidaknya memberikan sebuah eksplorasi cukup meski tak sampai tampil dalam taraf yang benar-benar mumpuni.

Kesalahan Captain adalah perihal narasi yang terlampau berbelit-belit, yang akan lebih efektif jika dipangkas dan fokus akan tujuan utamanya yaitu memberikan sebuah hiburan sekelompok manusia yang melawan monster. Itu saja cukup. Ambisi lebih dihadirkan oleh Rajan tatkala filmnya terlampau memaksakan untuk menyampaikan sebuah pesan lingkungan, yang sekali lagi terasa dipaksakan. Terlebih lagi, kala Captain memberikan sebuah twist, yang sedari awal terlalu formulaik dan mudah ditebak pelakunya.

Arya memang tampil tak mengecewakan, meski kali ini karakternya tampil terlalu satu dimensi. Demikian pula dengan Simran, yang memainkan karakter abu-abu namun gagal untuk tampil mengesankan, sementara Aishwarya Lekshmi harus kena batunya, kala karakternya hanya sebatas cameo tanpa diberikan porsi yang benar-benar signifikan.
Keluhan lain ialah berupa penggunaaan efek spesial CGI yang ketara artifisial. Saya takkan membandingkan atau menyalahkan budget yang ditekan, meski cukup mempermalukan tatkala para penonton sudah terbiasa menyaksikan sebuah tampilan efek yang menjanjikan hasil yang kurang memuaskan, terutama saat menampilkan sang monster utama dengan pengambilan gambar di bawah air.

QODRAT (2022)

 QODRAT (2022)

Saya acap kali jengah dengan tontonan menyampaikan religi (baik itu drama, romansa maupun horor) yang sebatas melontarkan ceramah dan dakwah, namun Qodrat adalah menceritakannya. Di tangani oleh Charles Gozali (Nada Untuk Asa, Juara, Sobat Ambyar), materi yang kental akan sarat dakwah dan ceramah dirubah menjadi sebuah sajian yang benar-benar sesuai arah tanpa pernah melucuti esensi utamanya sebagai film religi. Modifikasi pun dilakukan dalam bentuk pengkawinan lintas genre dengan sajian aksi tangan kosong mumpuni, sebagaiaman keunggulan Charles Gozali.

Judulnya sendiri Merujuk pada nama karakter utamanya, Ustadz Qodrat (Vino G. Bastian) adalah seorang ahli rukiah yang tak pernah gagal dalam menjalankan kewajibannya membantu orang lain. Namun, semua itu berkebalikan tatkala ia gagal menyelamatkan sang putera, Alif (Jason Bangun) yang dirasuki iblis bernama Assuala. Layaknya seorang manusia biasa yang mudah putus asa, Qodrat pun kehilangan kepercayaan dan keimanannya kepada Tuhan, bahkan ia tak pernah meminta dibangunkan untuk sholat subuh sementara matanya selalu terbuka.

Setelah kejadian di penjara yang membuatnya mendapatkan remisi, Qodrat kembali ke desa Kober, tempat di mana ia menuntut ilmu di Pesantren Kahuripan yang dipimpin oleh Kiai Rochim (Cecep Arif Rahman) yang kini tak seperti sebelumnya. Kekeringan parah melanda desa, demikian pula dengan para warganya yang kebanyakan dirasuki oleh iblis. Mudah untuk kita menyadari bahwa ada yang tak beres di desa tersebut, pun demikian dengan Qodrat yang masih luntur keimanan dan kepercayaannya akan Tuhan.

Hingga sebuah peristiwa memasksanya kembali ke kodratnya sebagai perukiah tatkala ia tak sanggup menolak permintaan Yasmin (Marsha Timothy), warga setempat yang anaknya dirasuki oleh iblis, terutama setelah Qodrat mendengar bahwa nama anaknya bernama Alif (Keanu Azka Briansyah). Qodrat percaya bahwa dengan menolong Alif, ia akan terbebas dari kegagalannya menyelamatkan sang putera, terutama iblis yang kini ia hadapi pun masih bernama Assuala.

Sedari pembukanya berlangsung, Qodrat tak ragu menarik atensi dengan menampilkan sebuah adegan eksorsisme yang ditangkap oleh kamera Hani Pradigya sedemikian cantik dengan memposisikan penonton sebagai orang ketiga (layaknya bermain video game). Dari sini mulai mencuat bahwa apa yang ditulis oleh Charles Gozali bersama Gea Rexy (Sobat Ambyar, Dear Natahan, Love Reborn) dan Asaf Antariksa (Love Reborn, Naura & Genk Juara the Movie) benar-benar tak main-main, terutama kala menanggulangi unsur religinya yang jika ditilik lebih dalam merupakan manifestasi dari Al-Qur'an itu sendiri.

Charles seolah tak ingin melepas pedal rem tatkala filmnya secara perlahan meningkat mulai, mengeskalasi jump scar (yang meski ada, dan tepat guna) dengan balutan aksi sebagaimana jualan utama filmnya yang tak ragu menampilkan deretan pertarungan tangan kosong yang tampil brilian dan jauh dari mengecewakan. Ini merupakan poin plus film ini, mengingat apa yang ditampilkan oleh Qodrat merupakan sebuah pengalaman yang sangat langka dan harus dirayakan oleh sinema.

Deretan pelakonnya pun sumbangsih dalam memainkan peran. Vino G. Bastian yang debut dalam genre horor akhirnya menemukan apa yang memfasilitasi nada suaranya (pelafalan ayat suci tak pernah semengetarkan ini) sekaligus sebagai superhero bersenjatakan tasbih. Marsha Timothy adalah tandem yang sepadan, lihatlah menampilkan tatkala kerasukan, memancarkan aura mega bintang yang rasanya sulit ditandingi, sementara pujian patut dilayangkan kepada Maudy Effrosina sebagai Asha, anak sulung Yasmin, yang sebagaimana kebanyakan remaja pada umumnya bersifat pemberontak, Maudy menampilkan performa yang likeable pun demikian tatkala ia melakoni adegan drama. Tetapi MVP harus jatuh kepada dua pemeran Alif, Keanu Azka dan Jason Bangun yang kembali menambah jajaran pelakon cilik horor.

Meski sedikit terkendala oleh karakterisasi yang sedikit instan, namun itu tak mengurangi kenikmatan menyaksikan Qodrat di laya lebar, sebuah spektakel yang rasanya sulit didapat belakangan ini. Saya sangat menyukai bagaimana Gozali merangakai adegan yang begitu cantik dan estetis, termasuk itu dalam sebuah adegan pertarungan menjelang konklusi, demikian pula dengan scoring dua suara yang teramat langka, dan memberikan sebuah aftertaste yang sulit ditemukan.

Qodrat merupakan pencapaian tertinggi seorang Charles Gozali yang mempunyai kepekaan tinggi yang amat subtil (adegan mati lampu misalnya) sebuah momen yang sekilas tampak sederhana namun selaras dengan realita pula memberikan sebuah kesimpulan terhadap film horor kebanyakan yang gemar bermain gelap-gelapan dan menghilangkan logika itu sendiri. Qodrat juga merupakan sebuah pembeda walaupun apa yang ditawarkan sejatinya tidak pernah benar-benar baru, namun ia memiliki apa yang sangat diabaikan oleh rekan sejawatnya adalah mengenai struktur.

Struktur yang begitu rapi dan kontuniti hingga mendekati konklusi. Qodrat pun tak lupa memberikan sebuah pemahaman melalui rukiah itu sendiri, rukiah yang bukan hanya sebatas mengucap kebesaran Tuhan, melainkan juga memberikan sebuah pendekatan personal mengenai penerimaan dan perelaan seseorang dalam menanggapi sebuah kehilangan. Dari perspektif “Innalilahi wa inna ilaihi rajiun” seharusnya diterapkan.


RUMAH KALIURANG (2022)

RUMAH KALIURANG (2022)

Sebelum menonton Rumah Kaliurang yang menjadi film debut bagi aktor kenamaan Dwi Sasono bersama Dondy Adrian, saya terlebih dahulu menonton Qodrat di bioskop yang sampai tulisan ini dibuat pun masih menghantui pikiran saya sekaligus bangga bahwasannya film lokal (khususnya horor) di semester kedua semakin menunjukkan tajinya di samping masing-masing tampil variatif. Berdasarkan kepercayaan tersebut, saya kemudian memutuskan untuk menonton Rumah Kaliurang dengan harapan yang sama. Sayangnya, kali ini harapan tersebut bak diputarbalikan.

Premisnya sendiri teramat klise. Sekelompok sahabat (meski saya tak mengerti letak sahabatnya dari mana) yang terdiri dari: Rani (Shareefa Daanish) si wanita baik-baik, Anom (Khiva Iskak) si penakut, Aji (Wafda Saifan Lubis) si kapten, Brama (Randy Pangalila) dan Kinan (Erika Carlina), sepasang kasih yang tengah mesra-mesranya pasca menjalani LDR (Brama adalah pekerja kilang minyak) hingga untuk melakukan liburan ke sebuah pantai, di perjalanan tiba-tiba mobil mereka menabrak sesuatu, meski pada kenyataannya tak ada apapun yang tertabrak dan seketika terjadi di sana.

Kinan kemudian ingin membuang air kecil, ia pergi bersama Brama hanya untuk melakukan maksiat di sebuah rumah besar tak berpenghuni. Yang lain pun ingin mencari mereka dan disinilah teror itu bermula. Mereka terkurung di rumah tersebut dan harus menghadapi beragam bahaya.

Selanjutnya, apa yang terjadi adalah pengulangan dari kompilasi teror yang sama sekali jauh dari kesan seram maupun mencekam. Ditangani naskahnya oleh Husein M. Atmodjo (Midnight Show, Lukisan Ratu Kidul, Mencuri Raden Saleh), Rumah Kaliurang bergerak tanpa arah, semuanya tak beraturan, cukup teriakan para karakternya yang ditampilkan tanpa pernah mencoba menampilkan sumber dari keseraman itu sendiri.

Sebuah keharusan bagi film yang mengangkat legenda urban untuk mencoba menjelaskan asal-usul sumbernya yang justru tak pernah disentuh Rumah Kaliurang sekalipun. Bahkan menyebut namanya pun tak pernah dilakukan. Lalu apa tujuan memasang judul demikian kalau tidak ada sebuah kesinambungan? Mengganti judulnya dengan yang lain pun takkan berdampak.

Selain naskah yang entah maunya apa, Rumah Kaliurang semakin kesulitan tatkala dari segi departemen lainnya ikut mengikuti keruwetan filmnya. Sound mixing yang tanpa saring, transisi alur kasar, kamera yang menangkap semaunya hingga yang paling parah adalah risasan atau efek CGI filmnya yang dibuat dari filter Instagram. Sekali lagi, ada yang maunya Rumah Kaliurang ini?

Deretan pemainnya pun tak cukup membantu, meski Shareefa Daanish terlihat sangat keras menghidupkan karakternya-meski sumbernya sendiri enggan menopang performa sang aktris. Sampai sebuah twist terungkap di paruh akhir, saya hanya bisa menyerah dan pasrah sekaligus mengucap Alhamdulillah bahwa bencana yang berlangsung selama 64 menit ini akhirnya berakhir.

PONNIYIN SELVAN: PART I (2022)

PONNIYIN SELVAN: PART I (2022)

Merupakan proyek impian Mani Ratnam (semula hendak di buat pada awal tahun 1980-an hingga awal 2010-an), Ponniyin Selvan: Part I (Selanjutnya disebut PS-I) merupakan adaptasi lima buku karya Kalki Krishnamurthy dan kemudian membaginya menjadi dua bagian yang jelas bukan sebuah hal yang mudah. Ditangani oleh Ratnam bersama dua koleganya, Elango Kumaravel dan B. Jeyamohan, PS-I merupakan sebuah sajian epik yang alih-alih mengedapankan aksi peperangan memilih untuk mengedapkan sebuah gejolak batin karakternya menghadapi dalam perebutan kekuatan serta penutup di dalamnya.

Bersetting pada abad ke-10, di mana Sundara Chola (Prakash Raj) sang pemimpin kerajaan Chola tengah menghadapi guncangan eksternal dan internal di masa sakitnya perihal siapa pewaris takhta nya kelak. Sundara memiliki tiga penerus, diantaranya Aditha Karikalan (Vikram), Arunmozhi Varman (Jayam Ravi) dan Kundavai (Trisha), wanita satu-satunya diantara maskulinitas pemimpin pria. Kerajaan Chola tengah digencarkan oleh sebuah ancaman, untuk itulah Aditha Karikalan menunjuk Vanthiyatevan (Karthi) guna menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.

Lewat karakter Vanthiyatevan penonton diajak untuk mengenal barisan karakternya yang sangat banyak, yang membuat PS-I transmisi dalam memperkenalkankan pelakonnya, meski tak sampai kehilangan arah. Ancaman diduga hadir dari sang menteri keuangan, Periya Pazhuvettarayar (R. Sarath Kumar) ingin merebut takhta kekuasaan di samping balas dendam pribadi sang istri, Nandini (Aishwarya Rai Bachchan) yang ingin menghancurkan kerajaan Chola atas apa yang pernah menimpa hidupnya.

PS-I merupakan karya indah nan ambisuius dari Mani Ratnam, yang berkat kecintaan terhadap sumber materi aslinya, kentara bahwa filmnya dibuat dari hati. Ratnam tahu bagaimana menciptakan spektakel (yang sudah muncul dari awal filmnya hingga konklusi yang melibatkan banyak adegan di bawah air) adalah bukti sederhana dari hasil pola pikir itu. Pun, demikian denagan beragam intrik yang disajikan filmnya, terasa bergejolak, favorit saya adalah tatkala Kundavai dan Nandini bertemu untuk pertama kali.

Contohnya pula dengan rangkaian set-piece filmnya yang terlihat mahal dan berkelas, yang berhasil dimanfaatkan oleh Ratnam kala pengisahannya sendiri episodik, bertumpu pada pergantian tempat karakternya yang terkadang sedikit menghilangkan fokus. Terlebih lagi bagi mereka (termasuk saya) yang awam akan kisahnya. Beruntung, sinematografi hasil tangkapan kamera Ravi Varman, lukisan sempurnakan sebuah keindahan dan kemewahan.

Jajaran pemainnya tampil cemerlang, meski diluaran sana akan setuju bahwa kembalinya Aishwarya Rai Bachchan adalah sebuah wahyu yang dimiliki filmnya, itupun diamini oleh Ratnam sendiri yang seolah-olah tengah melihat bidadari. Dari sini pula unsur pemberdayaan dilimpahkan oleh Ratnam, yang sadar betul akan kemampuan sang aktris dalam mengolah rasa, termasuk hanya menangkap sorot matanya saja. PS-I bukan hanya seolah kedigdayaan pria, melainkan juga didalamnya sebuah kekuatan wanita dibalik diamnya, sementara otaknya tak kalah tajam dengan pedang yang selalu diagungkan pria.

Seperti kebanyakan film yang dibagi menjadi dua, PS-I masih menyimpan setumpuk banyak tanya, yang berarti momen utamanya masih disimpan untuk angsuran berikutnya. Tak banyak mungkin yang harus dibahas, meski sebagai pembuka sekaligus pengenalan akan kisah selanjutnya, PS-I adalah sebuah awalan yang menjanjikan. Sebelum credit tittle filmnya muncul, tak sabar menantikan PS-I yang nantinya akan menyorot salah satu karakter yang paling saya antisipasi kekuatan dalam segala kelembutannya.


BARBARIAN (2022)

 BARBARIAN (2022)

Saya selalu menyebut bahwa film horor tak harus memiliki premis yang prestisius, cukup dengan formula sederhana sebagaimana yang diterapkan oleh Barbarian, tema serupa sebelumnya pernah dipakai oleh Dave Franco dalam debut penyutrdaraannya, The Rental (2020). Dengan premisnya yang sederhana, Barbarian sukses memikat hati saya dalam menyuguhkan sebuah teror horor yang nyata tanpa pernah lupa akan jati dirinya.

Protagonis utama kita bernama Tess (Georgina Campbell) yang harus tiba-tiba kala ia mendapati rumah hasil sewaannya dari Airbnb ternyata muncul oleh Keith (Bill Skarsgård). Dari sini saja, ketegangan sudah tersulut karena hal lumrah tersebut bisa saja terjadi, demikian pula dengan pikiran Tess yang selalu "trust no one". Perlahan tapi pasti, baik Tess maupun Keith kemudian mencairkan suasana dengan saling bersapa dan menanyakan bukti pemesanan yang ternyata benar-benar valid. Karena hujan yang tak kunjung reda, Tess pun memutuskan untuk bermalam di sana.

Ditulis sekaligus disutradarai oleh Zach Cregger, Barbarian melontarkan sebuah situasi yang tidak nyaman. Saya takkan membahas lebih jauh terkait alurnya, karena Barbarian sendiri merupakan tipikal film yang lebih sedikit Anda tahu lebih besar kepuasan yang didapat. Saya hanya bisa menyebutkan bahwa ada sesuatu yang tak beres yang akan menyambangi para karakternya.

Cregger si penulis tahu betul bagaimana menyulap momen lumrah dalam film horor yang banyak menghabiskan waktu di ruang gelap menjadi semakin berkelas kala kameranya sendiri bergerak pembohong. Terima kasih kepada Zach Kuperstein (The Eyes of My Mother, The Climb, The Vigil) selaku sinematografer yang berjasa membangun ketegangan, sementara pacing-nya sendiri begerak secara perlahan dan berkulminasi pada sebuah kejutan yang tak terelakkan.

Contohnya pula dengan Cregger si sutradara yang paham betul bagaiman memanfaatkan suasana, mentransmisikan terowongan gelap maupun rubanah tak pernah merasa menyesakkan seperti ini sebagaimana kita ikut dibawa olehnya berpacu dengan ketidaktahuan, sementara keputusasaan kerap meambangi karakternya. Namun, itu juga tak menjadikan karakternya tampak bodoh, setiap keputusan yang dilakukan Tess bukan sekadar pemantik ketegangan, jauh dari itu, ini merupakan sebuah kepedulian yang didasarkan atas hati nurani.

Selama menonton, saya menebak apa yang hendak terjadi, dan hasilnya adalah sebuah nol besar kala Cregger begitu pandai membuat sebuah kelokan berkelas miliknya, tentu ada sebuah twist yang siap diungkap, kehadirannya pun bukan sebatas memberikan sebuah kejutan, melainkan melontarkan pesan terkait gender, genratifikasi hingga gerakan #MeToo yang tanpa anda sadari benar-benar hal yang biasa dan masih saja terjadi.

Konklusinya adalah sebuah kulminasi dari genre horor, di mana unsur gore, suspens hingga horor psikologis yang dikemas dalam satu momen. Barbarian pun menyulut sebuah pertanyaan menganga perihal makna judulnya. Siapakah sebenarnya yang duduk barbar di sini? Sebuah pesan tersirat sarat unsur kontemplatif di mana perlakuan, perbuatan, maupun ucapan yang menurut kita tidak atau tak pernah dilakukan bukan berarti tidak pernah dilakukan.


PEREMPUAN BERGAUN MERAH (2022)

PEREMPUAN BERGAUN MERAH (2022)

Sempat mengalami tertunda selama 2 tahun karena faktor pandemi, saya mengira bahwa Perempuan Bergaun Merah yang menjadi film panjang kedua bagi penulis sekaligus sutradara William Chandra (Sekte) akan memiliki kualitas yang matang sebagaimana yang dilakukan oleh Qodrat sebelumnya. Dengan memasang nama Timo Tjahjanto (dwilogi Sebelum Iblis Menjemput) sebagai produser hingga trailer yang dirilis dengan hasil yang menjanjikan, tentu ekspetasi tinggi pun menyambangi hasil akhir filmnya yang justru menggambarkan apa yang semula diharapkan. Lagi-lagi ekspetasi tak sesuai dengan kenyataan.

Selepas pesta minuman keras yang diadakan di rumah Kara (Stella Cornelia), di mana ia juga menggundang para sahabatnya: Marko (Aufa Assagaf), Wisnu (Jordy Rizkyanda), Rosa (Faradina Mufti), Gerry (Ibrahim Risyad) hingga teman tertutup, Dinda (Tatjana Saphira) yang membuat mereka tak sadarkan diri, Dinda yang setengah sadar menyadari bahwa Kara yang pada saat itu menggunakan baju berwarna merah menghilang secara misterius. Dinda yang terus ditanyai oleh ibu Kara (Dayu Wijanto) merasa bertanggung jawab atas hilangnya Kara, ia juga mengajak kekasih Kara, Putra (Refal Hady) untuk mencari jawaban atas peristiwa ini, terutama kala masing-masing dari mereka mulai menemukan sebuah teror dari hantu perempuan bergaun merah.

Mengedepankan kultur Tionghoa sejatinya memberikan sebuah kesegaran, di mana mitos atau legenda mengenai Hong Gui (atau Nu Gui, koreksi saya jika saya salah) turut diangkat. Sayang, unsur tersebut sebatas sebuah tempelan kala William Chandra seolah hanya fokus pada unsur investigasi hingga barisan teror sang hantu yang seperti telah kita lihat di trailer-nya sarat akan DNA Timo Tjahjanto.

Pengecualian untuk penyelidikan terkait pencarian Kara yang seolah stagnan alias jalan ditempat. Apa yang dilakukan Dinda dan Putra hanya sebatas bertanya kepada Nenek Wong (Dewi Pakis dalam mengulangi ciri khas miliknya), itupun memakan waktu yang lama untuk menemukan penjelasannya, yang Akan tersimpan di akhir cerita demi menambahkan sebuah twist tentunya. Twist yang sedari awal mudah ditebak keberadaannya secara tepat.

Terkait twist yang dipakai, terasa kontradiktif ketika penonton tiba-tiba diminta simpati terhadap salah satu karakternya yang sedari awal tak pernah secara mendalam mengenal tokohnya. Pada saat yang sama pula, hal ini menimbulkan dampak pesan yang semula William sampaikan terkait perlawanan tujuanikasi wanita. Di saat para karakter wanita dalam film horor lokal mulai meningkatkan kekuatan, Perempuan Bergaun Merah membuat sebuah kompilasi.

Semakin melelahkan ketika transisi antar adegan ketara kasar. Entah ini merupakan kesalahan di meja editing atau materi cerita yang kurang kuat atau bisa saja penyutradaraan William kurang prima hingga imbasnya apa yang disaksikan di layar terkadang terasa membingungkan pula melelahkan setiap mengenal absen. Pun, ketika ditampilkan pun terasa terburu-buru, nihil taji meski variasi metode pembunuhan kreatif (favorit saya adalah sebuah adegan yang melibatkan kasur rumah sakit).

Beruntung bagi Perempuan Bergaun Merah yang memasang rating 13+ berhasil mendorong tingkat kekerasan secara maksimal. Ini setidaknya mengobati sebuah kekesalan kala di lini lainnya terasa kurang seimbang. Jangan lupakan performa pemain yang ikut berperan, Tatjana Saphira dalam debut murni horornya (sejenak lupakan dwilogi Ghost Writer) tampil cukup menggila, meski yang paling membekas diingatan adalah Faradina Mufti yang masuk jajaran scream queen tanah air lewat ekspresi ketakutan sempurna dalam raut wajahnya.
Jika anda memutuskan menonton Perempuan Bergaun Merah demi mencari hiburan dan cipratan darah, filmnya sangat mengecewakan. Lain halnya jika Anda mencari sebuah keseraman dan ketegangan, filmnya tak begitu mulus dalam menyampaikan esensi utamanya. Apalagi jika melihat trek rekor horor lokal sebelumnya yang diatas rata-rata, semoga merasakan kelelahan horor tak sampai mendekati.

Minggu, 17 Agustus 2025

DON'T WORRY DARLING (2022)

DON'T WORRY DARLING (2022)

Diluar segala kegaduhan dan kontroversi di balik layarnya, Don't Worry Darling yang menadai karya kedua aktris sekaligus sutradara Olivia Wilde pasca Booksmart (2019), drama coming-of-age yang semenyenangkan itu, ia kembali menggandeng sang penulis langganan di film sebelumnya, Katie Silberman (berdasarkan cerita dari Carey Van Dyke dan Shane Van Dyke) dalam meramu sebuah sajian thriller dengan bumbu science-fiction hingga action. Sempat ia akui bahwa Don't Worry Darling banyak terinspirasi dari The Stepford Wives (1972), The Truman Show (1998), Inception (2010) hingga The Matrix (1999). Hasilnya? Tak seburuk yang dikatakan kebanyakan orang.

Bernuansa retro (latar tahun filmnya tak dibuat ambigu, meski jika menilik tata kostum hingga arsitektur rumahnya berlatar tahun 1950-an), Alice (Florence Pugh) dan Jack (Harry Styles) adalah sepasang suami-istri yang tinggal di sebuah kota perusahaan yang damai. Kota tersebut bernama Victory, sebuah hunian yang didesain dan diciptakan sekaligus dimiliki oleh Frank (Chris Pine). Dari perusahaan Frank pula, Jack beserta para suami lainnya juga ikut bekerja.

Pemandangan sempurna yang diharapkan oleh para mereka yang sudah atau tengah berumah tangga terjadi setiap pagi, di mana sang istri akan terjadi tangan kepada sang suami dan setelah itu ia melakukan tugas rumah semisal menyapu dan menyuci kamar mandi. Sesekali mereka pergi untuk latihan balet yang dipimpin oleh Shelley (Gemma Chan), istri Frank. Pun, kala sang suami pulang mereka menyambutnya dengan menyiapkan makanan hingga sentuhan keintiman. 

Di permukaan terlihat sempurna bukan? Namun, sebagaimana keempurnaan yang masih memiliki cela, terdapat sebuah rahasia kelam di dalamnya. Don't Worry Darling menggiring penonton pada kondisi di mana utopia nyatanya tak selaras dengan realita. Terlebih lagi saat tetangga Alice, Margaret (KiKi Layne) melakukan aksi bunuh diri pasca sebelumnya menyambangi markas perusahaan para suami yang bertempat di gurun pasir, satu-satunya larangan para warga Victory.

Paruh awal Don't Worry Darling efektif dalam menjalankannya selain sebagai proses introduksi, ada secercah misteri yang coba digiring oleh Wilde lewat keanehan yang dialami oleh Alice atau ketersediaannya akan sebuah rahasia besar, semisal ketidaktahuan istri akan pekerjaan sang suami dan keengganan suami untuk memberitahukan apa yang ia kerjakan. Karena yang terpenting, menurut para penganut tatapan laki-laki, istri menjalankannya sebagai pengurus rumah tangga. Itu saja.

Memasuki babak kedua, memulai naskah Silberman kebingungan dalam mengisi proses menuju konklusi yang harus diakui tersaji melelahkan. Sebatas diisi oleh rentetan repetisi dialog dan sekuen yang menghantui mimpi Alice. Beruntung, jajaran pemainnya tampil solid, yang setidaknya membuat penonton beta untuk mengikuti misterinya hingga akhir. Pinus sempurna sebagai antagonis lewat matanya saja, Chan dalam diamnya tampil intimidatif, Gaya yang meski semula dikeluhkan, tak seburuk bagaimana anggapan masifnya. Wilde yang turut memerankan Bunny, tampil sebagai sidekick penuh rahasia.

Namun, kekuatan terbesar Don't Worry Darling adalah bahwa ia memiliki Florence Pugh, aktris muda dengan beragam talenta. Pugh adalah kekuatan utama filmnya kala narasinya mulai mengalami penurunan, tidak dengan performanya yang selalu gemilang, dan bahkan tak menutup kemungkinan, ia adalah salah satu alasan mengapa Don't Worry Darling masih betah untuk disaksikan.

Beruntung, memasuki babak ketiga, Wilde seolah memberikan penebusan bagi filmnya di mana sekuen kebut-kebutan di padang pasair sempurna memberikan sebuah spektakel penuh gaya melalui tangkapan kamera langganan Darren Aronofsky, Matthew Libatique. Demikian pula dengan scoring gubahan John Powell yang perlahan mencekam, meski sesekali memberikan nuansa feminis.
Bersamaan dengan hal itu, Don't Worry Darling pun memberikan sentilan (atau bahkan menyimpulkan) kepada pria pemangku budaya patriarki dan misogini lewat perspektif tatapan perempuan yang alih-alih menyalahkan, mereka malah memberikan sebuah kebenaran. Dari sini, Don't Worry Darling kembali memberikan sebuah relevansi yang ironisnya masih sering terjadi.

EK VILLAIN RETURNS (2022)

 EK VILLAIN RETURNS (2022)

Ek Villain (2014) sukses baik secara kritik maupun finansial. Delapan tahun berselang, Mohit Suri kembali mengembangkan waralaba ini dengan cerita baru, meski tetap mempertahankan sang maskot utamanya, smiley killer. Bersama Aseem Arora (Malang - Unleash the Madness, Chhalaang, Bel Bottom) sebagai penulis naskah, Ek Villain Returns tampil sebagaimana sekuel kebanyakan, lebih besar dan lebih megah, hasil akhirnya pun mengikuti kebanyakan penyakit serupa, di mana naskahnya malah tampil lemah.

Tak butuh waktu lama untuk Mohit Suri tancap gas, dalam sebuah pesta, seorang penyanyi bernama Aarvi Malhotra (Tara Sutaria) ditikam secara mengenaskan. Baik media maupun pihak kepolisian tengah sibuk mencari siapa pelaku di balik penyerangan mengenaskan tersebut. Perlahan tapi pasti, dugaan kemudian mengerucut kepada Gautam Arora (Arjun Kapoor), kekasih Aarvi sekaligus anak seorang industrialis berpengaruh.

Masih mempertahankan pola sebelumnya, Ek Villain Returns memasang banyak linimasa flashback guna menjelaskan pula mengenalkan karakternya. Separuh awal dihabiskan untuk menyoroti kisah asmara Aarvi-Gautam yang dekat karena ketidaksengajaan mereka yang saling memanfaatkan satu sama lain. Pun seiring berjalannya cerita, orang terdekat yang berada pada panggilan telepon Aarvi meminta pihak kepolisian, termasuk Bhairav Purohit (John Abraham), seorang supir taksi online sekaligus staf kebun binatang.

Ketiga karakter tersebut nantinya saling terkoneksi, yang dalam naskahnya cukup terbata-bata dalam memperkenalkannya, seolah sang penulis hanya bermodalkan memanfaatkan flashback tanpa pernah mencoba membuatnya secara runut. Dari sini pula kita berkenalan dengan Rasika Mapuskar (Disha Patani), seorang pramuniaga pakaian sekaligus love-interest Bhairav. Tak ada kisah cinta yang romantis di sini, melainkan cinta sepihak sebagaimana dalam trailer-nya dijelaskan.

Berjalan di ranah abu-abu di mana kisah cinta ekstrem menjadi acuan utama, Ek Villain Returns sejatinya berpotensi tampil mumpuni andai dibekali pemahaman yang tak salah kaprah, bukan sebatas memberikan karakterisasi asal jadi sebagai pemicu sekaligus pemantik serangkaian kejadian, baik itu pertarungan maupun pembunuhan. Itulah sebabnya, sulit untuk terkoneksi maupun memberikan simpati terhadap karakternya yang di atas kertas sudah kurang motivasi.

Misalnya terkait karakter Bhairav yang menuntut John Abraham sepanjang durasi memasang wajah mesam. Kita tahu dia mengalami sebuah tragedi, namun apa yang melatari tragedi itu kurang digali, terutama ketika salah satu penyebabnya ditampilkan begitu ngeri dan kurang masuk logika. Lagi pula apa yang diharapkan dari film yang sedari awal sudah tak memasang hal seperti itu?

Setidaknya, deretan aksi yang dibungkus oleh Mohit Suri mampu mempertahankan ketegangan, meski terkait penggunaan kameranya sendiri kurang lihai dalam menangkap detail koreografi. Sebutlah momen dalam sebuah kereta maupun ketika bersantai di kebun binatang. Berbekal penggunaan slow-motion, adakalanya adegan tersebut terlihat menawan meski tak jarang berakhir pada ketiadaan substansi.

Menjelang konklusi, tentu ada sebuah twist yang siap dihadirkan oleh Mohit Suri, twist yang penempatannya sangat berantakan dan terpenting seolah mendukung perbuatan misogini. Untuk apa kita memberikan simpati saat barisan karakternya pun tak mampu untuk disukai? Penutup yang seharusnya tampil manis dan sarat dimanifestasikan akan sebuah katarsis ternodai oleh pemikiran yang hanya sebatas menampilkan sebuah eksistensi, tanpa pernah mencoba memberikan nyawa pada filmnya sendiri.

BEFORE I MET YOU (2022)

BEFORE I MET YOU (2022)

Entah ini merupakan sempalan dari After Met You (2019) atau bukan, yang jelas Before I Met You memiliki kesamaan serupa dengan film tersebut, yakni sama-sama memiliki kualitas di bawah rata-rata. Drama mengenai romantika remaja dengan segala problemnya jika berada di tangan yang tepat akan menghasilkan sebuah sajian yang tepat pula, bukan hanya sebatas memasang para pemain berparas cantik dan ganteng saja. Harus saya akui bahwa para pelakon muda di film ini memiliki akting yang sudah tidak diragukan lagi, namun ketika mereka memainkan peran yang tidak mendorong kemampuan untuk diberikan kesempatan untuk bereksplorasi hanya akan menjadikan mereka kehilangan sebuah penghargaan.

Ditulis naskahnya oleh Demas Garin dan Talitha Tan (The Secret: Suter Ngesot Urban Legend, 4 Mantan, Denting Kematian) bersama sang sutradara, Angling Sagaran (From London to Bali, Tabu, Buku Harianku), premisnya teramata klise untuk ukuran film drama remaja. Mengisahkan Gadis (Adhisty Zara) yang baru saja pindah bersama sang ibu (Endhita) demi memulai hidup baru pasca sang ayah memutuskan untuk menikah lagi. Di tengah kesedihannya, Gadis yang pindah juga ke kampus baru haus berhadapan dengan Bara (Bryan Domani) pria playboy yang gemar menguntit sekaligus memberondong Gadis dengan gombalan khas remaja. Tentu saja, Gadis tidak menyukai Bara.

Hingga pada suatu kesempatan ia bertemu dengan Rama (Kevin Ardilova), pria yang pernah ia tabrak ketika olahraga ditengah pengungsinya akan masalah rumah. sama seperti kebanyakan FTV yang bermula dari sepeda yang diputar, kebaikan Rama seketika meluluhkan hati Gadis, meski pada kenyataannya Rama masih berpacaran dengan Gadis (Hasyakyla Utami).

Konfliknya tak jauh seputar kegamangan Gadis untuk mencintai Rama atau keinginan Bara untuk memiliki Gadis. Before I Met You adalah tipikal film remaja dengan kisah cinta segita yang tampak sederhana namun diperumit demi menambah kembali jajaran konflik yang tak seberapa kaya, yang kebanyakan telah banyak diadopsi oleh beragam jenis FTV dengan judul nyelenehnya.

Guna menambahkan daya pikat, menambahkan beragam setting mewah semisal hotel maupun mobil sport yang seolah keberadaannya sebatas dimanfaatkan sebagai ajang pamer alih-alih berkontribusi bagi narasi. Demikian pula dengan penyutradaraan Angling Sagaran (yang di sini memakai nama belakangnya saja) yang seolah tak mempunyai banyak ruang untuk bergerak, sebatas menerjemahkan naskahnya yang setipis kertas tersebut.

Para pelakon pun harus kena batunya perihal ketiadan karakterisasi yang berisi. Adhisty Zara misalnya yang muncul di Dua Garis Biru (2019) seketika runtuh saat dituntut memerankan remaja labil yang gamang akan cinta dan rahasia. Ya, rahasia, filmnya memiliki rahasia berupa setumpuk twist klise yang begitu berlapis dalam sekali adegan (let me say, triple twist), menyusul kemudian adalah sebuah dramatasi yang gagal memiliki taji.
Hingga tatkala sebuah twist tersebut terungkap, bukan sebuah kejutan yang saya dapatkan melainkan sebuah tipuan bahwa filmnya mencoba untuk tampil pintar tanpa menyadari apa yang terjadi. Ah, sudahlah, mungkin saya terlalu awam untuk mencerna triple twist miliknya maupun untuk menangisi beragam dramatasi formulaik khas romansa remaja ini.


VIKRANT RONA (2022)

VIKRANT RONA (2022)

Vikrant Rona dibuka oleh sebuah dongeng mengenai brahmarakshasa oleh sekelompok anak-anak, seolah menjawab kebenaran tersebut, menyusul adegan ketika seorang wanita yang mengendarai mobil bersama anak-anak menemukan sebuah kejanggalan, yang pada akhirnya menghilangkan nyawa sang anak. Cerita seketika berselang, seolah memberikan kesan bahwa apa yang terjadi setelahnya akan berulang.

Benar saja, ketika Janardhan Gambira (Madhusudan Rao), tuan tanah penganut keluarga patriarki, kedatangan seorang teman lama, Vishwanath Ballal (Ravishankar Gowda) yang ikut serta memboyong keluarganya untuk meminta izin kepada Janardhan guna melangsungkan pernikahan sang puteri, Panna (Neetha Ashok) di sebuah rumah mereka di desa Kamarottu, yang dengan tegas Janardhan tolak dengan alasan bahwa rumah tersebut berhantu, dan terjadi oleh brahmarakshasa.

Masalah perizinan yang belum terselesaikan itu seketika dihebohkan tatkala Panna bersama Sanju (Nirup Bhandari), anak Janardhan yang kembali pulang dari London setelah 28 tahun menghilang dan menetap di sana, menemukan mayat seorang Inspektur polisi di sebuah sumur dengan kondisi tergantung dan kepala menghilang. Dari kejadian Vikrant Rona (Sudeepa) datang, menggantikan polisi yang sekaligus mencari kebenaran akan kasusnya yang sering dikaitkan dengan brahmarakshasa.

Ditulis sekaligus disutradarai oleh Anup Bhandari (RangiTaranga, Rajaratha), Vikrant Rona menawarkan sebuah aksi-petualangan sekaligus misteri layaknya sajian seperti Indiana Jones, bahkan penampilan pertama tokohnya sarat inspirasi akan aksi Jack Sparrow di Pirates of the Caribbean, ganti segala perlengkapan bajak laut dengan pengaturan ala detekif, di mana kemeja kotak-kotak, newsboy cap hingga cerutu tak pernah absen.

Pun demikian dengan tata artistiknya yang menunjang apa yang dibutuhkan filmnya, nuansa gelap, hutan belantara, kuil terbengkalai sempurna mewadahi segala kisahnya yang penuh akan misteri dan tanda tanya. Vikrant Rona pun dibekali oleh CGI mumpuni, kuantitas filmnya tak perlu diragukan lagi, meski sayang tak dibekali oleh narasi yang lebih berisi. 

Benar, narasinya kaya akan beragam premis yang coba diejwantahkan oleh Bhandari secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan arah tatkala pengadegannya sendiri kebingungan menentutkan posisi, alhasil transisinya pun begitu kasar. Perihal memaikan logika, filmnya cukup mengecoh di mana secercah misteri dan tokoh-tokoh yang sepertinya saling berganti, membawa filmnya untuk memerlukan atensi yang cukup nyaman untuk dinikmati.

Lagi-lagi Bhandari cuplikan perihal memainkan presisi di mana kebanyakan materi yang sengaja dibelokkan untuk menciptakan urgensi harus berakhir terlalu dini. Apa yang diharapkan berlangsung lama terkadang cepat berakhir, demikian pula dengan apa yang sebenarnya tidak terlalu mendukung akan cerita dibiarkan berlarut-larut, sebut saja unsur komedi di dalamnya yang alih-alih memberikan warna tersendiri, justru tenggelam seiring berjalannya durasi.

Beruntung, jajaran pemainnya tampil solid. Sudeepa jelas adalah nyawa utama filmnya, entah itu kala ia memainkan aksi laga maupun dalam porsi drama ketika kehangatannya selalu terlihat jelas di sorot matanya. Demikian pula dengan penampilan khusus dari Jacqueline Fernandez sebagai Rakkamma, pemilik bar yang meski mengundang amat minor-bahkan tak terlalu berpengaruh akan cerita, memberikan semangat kala turut memeriahkan nomor trek musikal.

Tentu akan ada sebuah twist di penghujung cerita di mana konklusinya diisi oleh berbagai aksi tangan kosong yang cukup mumpuni, meski terkait pengambilan gambarnya sangat mengganggu. Kentara yang paling penting adalah penandatanganan Bhandari dalam mengatur pemblokiran pemain, yang hadir tatakala yang dibutuhkan, padahal di sana melibatkan beberapa karakter. Ini pula yang membuat Vikrant Rona memiliki lucunya yang lemah, meski secara keseluruhan begitu salah.

Twist-nya mungkin bukan hal yang baru. Terlampau formulaik untuk ukuran film yang sedari awal tampil dengan oktan yang cukup tinggi. Komparasi dengan mitologinya terkesan ujug-ujug, sebatas menempatkan, tanpa pernah mencoba mengeksplorasinya lebih dalam. Pada akhirnya, Vikrant Rona adalah sajian yang cukup menyenangkan di beberapa bagian, potensinya terabaikan karena kurangnya kepekaan dan kerapian dalam hal penuturan.


PERFECT STRANGERS (2022)

 PERFECT STRANGERS (2022)

Menyandang status sebagai film remake terbanyak (sejauh ini baru 21 judul telah dirilis dan proses pembuatannya masih berlangsung di beberapa negara), Indonesia menjadi negara yang baru saja merilis adaptasi resmi berjudul sama buatan Italia yang dirils pada 2016 silam. Pertanyaan besar pun mencuat, terkait apa yang membuat filmnya begitu spesial dibalik masing-masing rilisnya sukses secara komersil?

Kedekatan representasi adalah penjelasan. Di berbagai negara maupun budaya manapun, pengaplikasian materi dari Perfect Strangers sangat membumi, juga di samping beragam rentetan peristiwa setelahnya yang mampu menjaga ketegangan, baik mereka yang menenangi tontonan berbasis dialog maupun mereka yang menyukai kejutan semacam twist.

Ditukangi oleh Rako Prijanto (#TemanTapiMenikah, Asal Kau Bahagia, Sang Kiai) dengan dukungan naskah dari Alim Sudio (12 Cerita Glen Anggara, Sayap-Sayap Patah, Kalian Pantas Mati), Perfect Strangers masihlah sebuah remake yang setia pada sumber aslinya, namun itu juga membuat versi terbaru ini jadi tontonan yang biasa saja, baik Rako maupun Alim paham betul apa kelebihan dan kekurangan film aslinya, modifikasi pun dilakukan, yang hasilnya begitu tepat sasaran.

Plotnya sendiri masih familiar, Enrico (Darius Sinathrya) dan Eva (Nadine Alexandra) mengundang beberapa sahabatnya: Wisnu (Adipati Dolken) dan Imelda (Clara Bernadeth), pasangan suami-istri yang tengah merenggang akibat keberadaan ibu Wisnu di rumah mereka; Anjas (Denny Sumargo) dan Kesha (Jessica Mila), pasangan baru menikah yang tengah mesra-mesranya; pula Tomo (Vino G. Bastian), pria tambun dengan janggut tebal yang kabar mengenai kekasih barunya menjadi bahan perbincangan.

Dalam perayaan apartemen baru milik Enrico-Eva, mereka berkumpul dalam sebuah makan malam sambil saling membawakan kado dan kudapan. Berdasarkan celetukan Eva yang ingin memberikan suasana yang berbeda, mereka juga melakukan sebuah permainan sederhana dengan cara meletakan handphone masing-masing di atas meja dan segala pesan maupun surel hingga panggilan harus diangkat secara terbuka dengan pengerasan suara. Lambat laun, sebuah rahasia terungakap di malam bulan purnama itu.

Seperti yang telah saya singgung diatas, pembuat Perfect Strangers tahu betul bagaimana kekurangan dan kelebihan filmnya. Bagi penonton yang sudah khatam dengan sumber aslinya, menyaksikan filmnya memberikan suasana baru yang menuntut konsentrasi akan komparasi dengan orisinalnya, sementara penonton baru akan menikmati beragam kelokan maupun tikungan yang coba disampaikan filmnya tanpa mengubah lajur sumber materinya. Ini sebuah langkah yang tepat, mesikipun itu berari harus menambah jatah durasi melebihi presisi yang dilakukan sang padanannya.

Kelebihan itu tampil tepat guna, meski sedikit mengubah apa yang dilakukan, misalnya penambahan isu seputar status sosial masyarakat kita yang begitu mengakar (pemberian kado Kesha yang misalnya Made in China) hingga perubahan terkait karakter Wisnu yang sedikit berbeda, daripada apa yang dilakukan Lele (Valerio Mastandrea) si pengacara yang lebih santai, karakter yang dimainkan oleh Adipati Dolken terasa lebih impresif, cenderung meledak-ledak, dan tanpa sadar merupakan gambaran bagaimana seorang pengacara di negeri kita. Hingga perubahan dari rumah ke apartemen (sebelumnya dilakukan oleh versi korea, Intimate Strangers, 2018).

Modifikasi tersebut rasanya sah-sah saja, mengingat sebuah perubahan tak lantas membuyarkan pesannya yang sangat kuat. Meski secara pribadi, saya menyukai apa yang dilakukan sang empunya cerita, namun penggunaan dialog olok-olok yang dilakukan versi Indonesia ini setidaknya lebih tertata dan mudah dipahami, yang satu lagi sukses diperbaiki oleh para pembuatnya yang sadar akan segala penempatan, termasuk penjelasan yang sering dilakukan secara verbal.

Beruntung bagi Perfect Strangers yang dihadiahi para pelakon yang begitu solid, para pemain terlihat luwes dan mumpuni bermain emosi maupun dialog pertukaran. Yang paling menonjol adalah Nadine Alexandra dan Clara Bernadeth, yang melalui guratan emosinya mencoba menahan apa yang mereka rasakan tanpa pernah terasa berlebihan. Vino G. Bastian sebagai lead utama pun demikian, meski awalnya penggunaan prostetik dan fat suit hingga rambut dan jenggot yang ia kenakan begitu mengganggu, namun tidak dengan luapan emosinya yang terasa lantang dan hangat seperti biasanya.

Konklusinya pun masih setia dengan sumber aslinya (disamping kekurangan utamanya yang asli merupakan drama klaustrofobia sarat observasi menjadi sajian penuh twist). Akhir yang mungkin akan banyak ditanyakan dan diperdebatkan dengan keputusan hasil akhirnya bagi sebagian orang, namun bagi saya pribadi menutup sempurna sebuah kisah dari manifestasi bulan purnama tersebut. Sebuah keputusan yang sarat akan sebuah dualisme. Jawabannya hanya sebatas memilih antara pahit dan manis, yang masing-masing memberikan hasil yang paradoks.

SRI ASIH (2022)

SRI ASIH (2022)

Penundaan jadwal perilisan ulang (semula yang diumumkan rilis pada 6 Oktober) memang memicu sebuah keraguan. Saya masih ingat jelas waktu itu ketika acara Meet and Greet filmnya sudah mulai dilaksanaan, pengumuman pembatalan rilis yang tak selang waktu lama dilakukan. Namun, setelah menyaksikannya secara keseluruhan, semua skeptisme itu seketika luntur, hanya ujaran “Inilah sajian Superhero yang kita butuhkan” yang mampu menjawabnya. 

Diangkat dari komik buatan R.A. Kosasih, Sri Asih mengetengahkan kisah mengenai Alana (Pevita Pearce) yang lahir dalam usia kandungan 5 bulan ditengah peristiwa meletusnya gunung Merapi. Selang beberapa tahun, Alana kecil yang tinggal di panti asuhan, kemudian diadopsi oleh Sarita (Jenny Zhang) yang kemudian membesarkannya menjadi seorang pejuang, terutama dalam menjaga kestabilan dan kontrol akan kemarahan Alana.

Sedari awal durasi, naskah yang ditulis oleh Joko Anwar bersama Upi (turut merangkap sebagai sutradara) turut melontarkan kritikan akan dominasi keberadaan pria (alpha male), budaya patriarki, toxic masculinity, para penjahat berdasi, pemangku keamanan yang menyimpan pemasukan dibandingkan keadailan hingga para pengusaha korup yang terang-terangan berbicara alergi dengan rakyat jelata. Masyarkat komunal kian terpinggirkan. Disitulah kebutuhan akan sosok pahlawan yang dibutuhkan.

Kemashyuran Alana sebagai petarung yang sukar dikalahkan kemudian menarik perhatian Mateo (Randy Pangalila), putera tunggal Prayogo Adinegara (Surya Saputra), pengusaha korup yang selalu menghalalkan segala cara demi mendapatkan keinginannya. Pun, kebiasaan tersebut juga mengalir kepada Mateo, yang sempat diberitakan-dibebaskan pasca diduga melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Dari sini titik balik itu kemudian menemukan gambaran setelah Alana kemudian berkenalan dengan Kala (Dimas Anggara), cucu dari Eyang Mariani (Christine Hakim) yang juga menjelaskan bahwa Alana adalah titisan dari Dewi Asih (diperankan oleh salah satu aktris kenamaan negeri ini) yang harus melindungi dunia dari ancaman Dewi Api (Dian Sastrowardoyo).

Melalui penjelasan Eyang Mariani, kita mengetahui masa depan Bumilangit yang patut untuk dinantikan, terlebih menggulirkan karakternya yang begitu menarik untuk disimak. Saya takkan membahasnya secara lebih mendalam, atau review ini akan menjadi sebuah esai dan berpotensi membuka sebuah spoiler. Jawabannya cukup disaksikan di layar lebar selagi itu masih bisa dijangkau.

Tak cukup sampai di situ, cerita semakin meluas saat kita dimulai pula dengan Jatmiko (Reza Rahadian), polisi yang sering jadi kacung untuk Prayogo, sementara lingkungan sekitar juga membencinya. Ada pula subplot mengenai Tangguh (Jefri Nichol), si wartawan sekaligus teman masa kecil Alana. Setelah gemar memainkan karakter remaja bad boy, kini Jefri kembali menunjukkan gigi dengan memainkan karakter pria penuh kecanggungan, yang dalam beberapa kesempatan kerap dijadikan bahan komedik filmnya.

Harus diakui, Sri Asih memang lebih unggul dari Gundala (2019) baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun, itu tidak berarti menjadikan filmnya sempurna, terdapat kelemahan dari narasi yang amat kentara terasa kekurangannya. Salah satunya adalah karakterisasi untuk karakter Sri Asih yang dieksplorasi secara lebih selain sebatas sosok terpilih. Begitu pula dengan sang penjahat utama, yang keberadaannya sengaja disembunyikan untuk melancarkan sebuah twist, sementara jalan yang ditempuh sebelumnya akan dilakukan eksplorasi.

Twist-nya mungkin akan mudah diprediksi, meski jalan untuk menuju kesana sedikit mencurangi. Untungnya, Sri Asih memiliki sekuen aksi mumpuni meski jauh dari kata variatif. Terlebih lagi, kerapian pengambilan gambarnya terasa stagnan, meski beberapa di antaranya tampil cekatan. Hal yang paling cukup mengganggu adalah transisi pengadeganan yang sering tampil jumpy, pun ketika ketiadaan film Sri Asih seolah kehilangan daya.

Memerankan karakter Sri Asih adalah takdir bagi Pevita Pearce, pun Pevita nsendiri adalah nyawa bagi Sri Asih. Sulit membayangkan kalau Sri Asih dimainkan bukan oleh Pevita, yang berkat kerja keras dan kemampuannya melakoni beragam aksi (90% adegan aksi ia lakukan sendiri) menjadikan karakternya sebagai salah satu sosok superhero wanita badass. Kecantikan dan kekuatan paripurna yang dimilikinya adalah anugerah bagi siapa saja yang melihatnya.
Meskipun jauh dari kata sempurna, Sri Asih adalah pencapaian tertinggi film Superhero lokal sejauh ini. Final battle-nya sendiri adalah harga yang pantas untuk mendapatkan tiket yang telah Anda keluarkan. Setidaknya, apa yang disampaikan filmnya mampu memberikan sebuah pengalaman yang cukup memuaskan. Mari kita nantikan jagat sinema Bumilangit yang sebelum filmnya di mulai sudah menampilkan sebuah proyek selanjutnya, demikian pula dengan apa yang ditampilkan setelah filmnya usai.



24 (JAFF 2022)

 24 (JAFF 2022)

mengisahkan perjalanan seorang sound engineer bernama James Choong pasca kematian yang mengharuskannya mengunjungi 24 berbeda, 24 merupakan karya keempat (atau kelima jika menghitung segmen Bunga Sayang dalam 7 Letters) sutradara Royston Tan, sekaligus yang paling personal bagi dirinya (ide pembuatan film ini muncul tatkala James Choong, sang kolabulator lama dirinya mengunjunginya). Bersamaan dengan hal itu pula, 24 merupakan ode bagi sinema, orang tercinta dan yang paling utama adalah kehidupan setelah kematian.

Pembukanya menampilkan pasangan gay yang tengah melakukan hubungan intim disertai dengan lampu merah menyala, sementara desahan dan erangan dibiarkan dan direkam oleh Choong. Seolah-olah melawan dogma, pembuka ini bisa saja merupakan manifestasi dari sebuah kelahiran yang didasari akan sebuah cinta dan harapan akan kehidupan, menyusulnya adalah sebuah festival bagi para manula yang tengah berdansa dan mendengarkan dendang lagu bersama. Sebuah perayaan akan kehidupan telah ditampilkan.

Sepanjang 24 berjalan Choong hadir dengan microphone boom miliknya yang senatiasa merekam berbagai bentangan alam hingga tempat yang berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Choong tampil nihil ekspresi, kehadirannya sebatas berada di tempat dan membiarakan para partisipan di dalamnya menggunakan metodebreaking the Fourth Wall. Misalnya, ketika ia menemui sang nenek di sebuah rumah sakit pasca operasi, tersirat sebuah kerinduan akan kebersamaan akan keluarga. Pun, demikian kala Choong yang mendatangi sang istri dan anak semata-mata wayangnya ketika mandi, Tan menyiratkan bahwasannya hubungan keluarga tak memandang batas ruang dan waktu.

Choong sempat mendatangi keramaian para pemuda yang turut menghadirkan Royston Tan dalam sebuah penampilan khusus, mereka tengah berdiskusi tentang kehidupan yang penuh dengan cobaan, bahkan mereka tak segan saling melempar kata umpatan. Sementara kamera hasil rekaman Juan Qi An selalu menampilkan statistik, seolah mengatakan pada penonton bahwa inilah yang harus kalian amati.

Memasuki pertengahan, Tan masih setia mempertahkan representasi lewat beragam percakapan dan kejadian, yang kehadirannya terkadang menguat namun beberapa tampil stagnan. Saya paham filmnya memang berjalan di ranah arthouse meditatif nan kontemplatif, namun pengadeganan berlarut-larut terkadang mengurangi intensitas, terlebih kala sebuah montase tampil tanpa adanya dialog.

Menjelang konklusi, barulah 24 mematenkan narasi dengan menampilkan sebuah perenungan akan sebuah kematian yang sudah menjadi sebuah kepastian. Ada tangisan keluarga yang tumpah, namun adapula balutan kenangan yang berlimpah ruah. Tinggal bagaimana seseorang memaknainya dan Tan membawa sebuah pencerahan tanpa pernah mengalienasi hal yang musti terjadi.

Jean-Luc Godard dalam Le Petit Soldad (1961) pernah berkata bahwa "Cinema is truth 24 times a second" yang bisa saja merupakan alasan Tan memaknai judulnya. 24 adalah sebuah elegi. Elegi yang bukan berarti mengeliminasi cinta, namun menjadikannya abadi dalam sebuah balutan kenangan akan semakin kehidupan yang tak hanya diisi oleh kesedihan, tetapi kebahagiaan.


THE BRITTLE THREAD (JAFF 2022)

THE BRITTLE THREAD (JAFF 2022)

Disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Ritesh Sharma yang sebelumnya pernah menyutradarai dokumenter mengenai perdagangan manusia dan perbuatan prostitusi masyarakat komunal dalam The Holy Wives (2010), The Brittle Thread (mempunyai judul asli Jhini Bhini Chadariya) menyentil isu perihal perumahan sosial masyarakat komunal disertai diskriminasi rasial, agama bahkan cara berpakaian.

The Brittle Thread menguraikan atas dua linimasa yang saling bersinggungan. Rani (Megha Mathur) adalah seorang penari vulgar yang selalu menghibur masyarakat dengan gerakannya yang sensual. Pekerjaan ini Rani dilakukan semata-mata demi putri semata-mata wayangnya yang tuna rungu, Pinky (Roopa Chaurasiya), yang ia sekolahkan di sebuah asrama. Dalam kehidupan Rani, hanya ada satu tujuan, ia ingin hidup sesuai dengan jalannya sendiri, bahkan keinginan Baba (Utkarsh Shrivastav), sang kekasih ia hiraukan untuk sekadar mencari dan mengganti pekerjaan.

Sementara itu Shahdab (Muzaffar Khan) adalah seorang penenun kain saree tradisional, mengerjakan satu saree memakan waktu lima belas hari, dan juga dengan bantuan mesin, yang hanya membutuhkan waktu tiga jam. Shahdab yang merupakan seorang pemuda muslim pendiam bertemu dan kemudian berkenalan dengan Adah (Sivan Spector), turis asal Israel yang perlahan memikat hati.

Di pinggiran kota Varanasi keduanya tinggal, di bawah langit yang sama dan di lorong jalan mereka mengadu nasib dengan caranya masing-masing. Tak ada keinginan lain selain memenuhi kebutuhan hidup dan cinta yang tak terungkap. Bahkan beragam diskriminasi serta pandangan orang lain mereka enyahkan, setidaknya kebutuhan dan hasrat terpendam cukup membuat keduanya untuk hidup.

Lewat tangan dingin Ritesh Sharma, The Brittle Thread merupakan karya personal sekaligus paling jujur darinya. Sebuah karya yang berdasarkan pengalaman (Sharma lahir dan besar di Varanasi, Uttar Pradesh) seolah-olah sebuah surat cinta sekaligus ironi bagi kehidupan yang kerap dinormalisasi. Kehidupan seperti apa? Kehidupan yang membiasakan seseorang melakukan diskriminasi, fanatisme kian gencar dan apa yang dikenakan seolah-olah mencerminkan pribadi seseorang.

Ritesh tak mau menutup mata, dijadikannya dua karakter yang tak sempurna dan jauh dari kesan suci. Misalnya Rani, wanita yang sering menjadi tontonan warga yang hanya ingin melihat tubuhnya sekaligus menyimpanan seorang politisi lokal, Shiv Shankar Tiwari (Ashutosh Singh) menyadari betapa lingkungannya akan budaya patriarki. Ia pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk sekedar menyambung hidup dan berkeinginan untuk menjadi pemain film. Perlakuannya mungkin tidak dapat dibenarkan, namun dapat dipahami.

Demikian pula dengan Shahdab, yang dalam satu kesempatan ingin mencium Adah, padahal tetua dan keluarga mereka mengingatkan agar menjauhinya dengan alasan berbeda agama. Tapi, cinta memanglah buta. Kali ini ia memberanikan diri untuk mengungkapkan, tak hanya sekedar membayangkan dan melakukannya kepada sebuah manekin yang selalu ia kenakan saree dan diperlakukannya secara lembut (adegannya dimuat dalam poster).

The Brittle Thread adalah tontonan yang realis, yang ingin menunjukkan betapa kejamnya dunia apalagi tatkala sesama manusia yang sama-sama terbungkus oleh helaian kain tak ubahnya binatang. Ini adalah gambaran realita yang sebenarnya, yang ingin merasa benar dan menang sendiri tanpa memperhatikan sekitar. Beragam pidato dari PM Narendra Modi, Ketua Menteri Uttar Pradesh, Yogi Adityanath hingga editor TV Arnab Goswami yang saling melontarkan kampanye fasisme, otoritarianisme dan kefanatikan agama adalah contoh sederhana dari perlakuan yang terkadang mereka tak sadari.

Semua elemen yang ditampilkan Ritesh melebur sempurna tanpa pernah terasa tumpang tindih. Ada sebuah mimpi yang terkungkung oleh realita, ada sebuah trauma yang coba dilupakan yang pada akhirnya memaksa karakternya untuk berdamai dan siap menerima beragam kejadian yang siap ditampilkan oleh kehidupan selanjutnya. Dalam sebuah adegan kita memahami bahwasannya apa yang dilalui oleh Shahdab tidaklah mudah, terutama ketika menceritakan latar belakang keluarga yang merupakan korban tak berdosa dari segala “normalisasi” yang dilakukan oleh manusia. Sharma menggunakan kejadian terungkap Masjid Babri sebagai dan sekali lagi bukti nyata kebiadaban perlakuan diskriminasi dan intoleran.

Sementara filmnya perlahan mengungkap sebuah realita pahit, kamera hasil yang direkam Priyashanker Ghosh memuat sebuah adegan secara jujur. Favorit saya adalah adegan ketika Shadab dan Adah bercerita dari hati ke hati mengenai keluarga dan lingkungan sekitar di tepi sungai, sementara di saat yang sama Rani, Pinky dan Baba tengah menikmati perjalanan diatas perahu. Kontras kehidupan dan secercah kebahagiaan mereka terlihat walaupun secara samar, bahwasannya masih ada kebahagiaan ditengah beragam kesulitan. Meski pada akhirnya, The Brittle Thread tetaplah sebuah ironi sekaligus mimpi buruk saat ketakutan terbesar seorang manusia terulang kembali.