Jumat, 01 Agustus 2025

A NORMAL WOMAN

A NORMAL WOMAN


A Normal Woman menempatkan karakter utamanya di tengah keluarga borjuis yang dari luar tampak sempurna berkat segala kerupawanan mereka, namun sejatinya akrab dengan kekacauan serta hati yang hampa. Sayangnya kondisi serupa turut menimpa karya terbaru Lucky Kuswandi ini. Film yang kulit luarnya begitu cantik, tapi begitu ditelusuri lebih dalam, ada kesemrawutan yang tak lagi bisa dijelaskan.
Milla (Marissa Anita) dianggap mempunyai hidup idaman semua perempuan setelah menikahi Jonathan (Dion Wiyoko) si pebisnis kaya. Suatu ketika keduanya diwawancarai sebuah majalah ternama, dan si jurnalis berkata kepada Jonathan, "Kamu mempunyai keluarga...dan istri yang paling cantik." Sepertinya Milla tidak dianggap sebagai bagian keluarga terpandang itu.
Mungkin kenyataannya memang demikian. Si ibu mertua, Liliana (Widyawati), memperlakukannya bak asisten rumah tangga yang selalu berbuat dosa. Milla memang bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya (Maya Hasan) pun masih sering meminta uang untuk berjudi. Angel (Mima Shafa), sang putri yang kerap menerima pidato terkait fisiknya, baik oleh warganet maupun neneknya sendiri, jadi alasan Milla terus bertahan di rumah yang terkesan dingin tersebut.
Kemewahan rumah si tokoh utama diterjemahkan dengan baik oleh Teddy Setiawan selaku desainer produksi. Sinematografi Arah Batara Goempar memperkuat keindahan visualnya, mengajak penonton mengamati sudut-sudut penuh estetika mahal yang tampak asing bagi rakyat jelata seperti saya. Misal salib di kamar Jonathan dan Milla yang dibentuk oleh tata lampu, yang ikut menandakan tingginya religiositas keluarga ini. Sederhananya, rumah ini berkarakter.
Tapi sebagaimana ia tidak lahir dari keluarga kaya, Milla tak menjadikan agama sebagai tuntunan utama hidupnya. Jurang berbeda dengan keluarga Jonathan pun makin lebar. Sampai tiba-tiba Milla mengidap penyakit aneh yang membuat sensasi terasa gatal-gatal parah. Bukan hanya itu, ia mulai sering mendapat penglihatan tentang gadis cilik bernama Grace.
A Normal Woman masih menerapkan trik umum, di mana durasi 110 menit diisi oleh halusinasi yang protagonisnya alami. Semakin lama semakin melelahkan, apalagi kala setiap adegan dibawakan dengan tempo berlarut-larut. Ide besar pun akan terasa kecil, bila alih-alih dieksplorasi secara menyeluruh, ia sebatas dipaksa memanjang.
Filmnya bergantung pada hadirnya titik balik, saat karakter Erika (Gisella Anastasia), tukang rias yang sangat disukai Liliana, masuk dalam kehidupan Milla. Tapi bukannya memperkaya cerita, penambahan tokoh-tokoh baru tersebut, lengkap dengan twist yang dibawanya, sekadar memperkeruh. Kacau.
Secara tersirat, Liliana berharap Erika bisa menggantikan peran Milla sebagai pendamping Jonathan. Mengapa Liliana yang begitu angkuh, juga membenci Milla karena berasal dari keluarga miskin, malah ingin menjadikan tukang rias biasa sebagai menantu baru? Kenapa pula para ART di rumah semegah dibiarkan memakai pakaian kumal alih-alih diberikan seragam? Bukankah para borjuis selalu ingin segala sesuatu di sekitar mereka tampak memukau? Entah apa maunya film ini.
Naskah buatan Lucky Kuswandi dan Andri Cung memakai anomali yang Milla alami sebagai representasi dari "penyakit" yang banyak menjangkiti manusia: kepura-puraan. Bagaimana individu acapkali memakai topeng yang sangat berlawanan dengan wajah aslinya, sambil berlakon di atas panggung sandiwara bernama “norma sosial”. Tapi toh seberapa pun si individu jago berakting, lambat laun kepalsuan tersebut akan menyulut ketidaknyamanan.
Naskah buatan Lucky Kuswandi dan Andri Cung memakai anomali yang Milla alami sebagai representasi dari "penyakit" yang banyak menjangkiti manusia: kepura-puraan. Bagaimana individu acapkali memakai topeng yang sangat berlawanan dengan wajah aslinya, sambil berlakon di atas panggung sandiwara bernama “norma sosial”. Tapi toh seberapa pun si individu jago berakting, lambat laun kepalsuan tersebut akan menyulut ketidaknyamanan.

0 komentar:

Posting Komentar