Agustus 03, 2025
MENDADAK DANGDUT

Butuh waktu 19 tahun untuk merealisasikan semangat yang dibawakan film pertama. Mendadak Dangdut (2006) adalah salah satu film bersejarah bagi sinema tanah air, kehadirannya kala itu bukan hanya sebatas memperkenalkan lagu dangdut (terbukti dengan booming-nya nomor trek Jablai yang dibawakan oleh Titi Kamal) selain ikut membawa nuansa "merakyat" yang begitu lekat. Disutradarai oleh Monty Tiwa (penulis film orsinalnya yang kala disutradarai oleh Rudy Soedjarwo) yang ikut merangkap sebagai penulis naskah bersama kedua rekannya Erik Tiwa dan Muttaqiena Imamaa, Mendadak Dangdut versi terbaru memang membawa semangat serupa, meski bukan lagi dalam bentuk yang sama.
Ketimbang remake, filmnya lebih pantas disebut rekuel karena semesta filmnya masih menghubungkan benang merah dengan sang ikon legendaris di film pertama sekaligus sosok flamboyan, Rizal Maduma (Dwi Sasono). serupa Petris (Titi Kamal) dan Yulia (Kinaryosih) alami di film pertamanya, Naya (Anya Geraldine) penyanyi pop akustik kenamaan harus melarikan diri pasca sebuah insiden menyudutkannya sebagai dalang atas terbunuhnya sang asisten, Zulfikar (Calvin Jeremy). Dalam keadaan penuh tekanan, ia kemudian melarikan diri bersama sang adik, Lola (Aisha Nurra Datau) ke sebuah desa bernama Singalaya, desa yang ditengarai sebagai tempat tinggal sang ayah, Anwar (Joshua Pandelaki).
Dalam perjalanannya, secercah harapan tampil ketika sang ayah ternyata menjadi Saksi mata kasus pembunuhan tersebut, kerumitan pun terjadi ketika kenyataan mengatakan bahwa ia mengidap alzheimer. Di saat yang sama, pertemuan Naya dengan Wawan (Keanu Angelo) dan Wendhoy (Fajar Nugra), yang tengah merintis orkes dangdut guna berpartisipasi dalam ajang Larung Pes, membawakan sebuah kehidupan baru, salah satunya menonjolkan dengan musik dangdut
sama mestinya perjalanan yang selalu membawa perubahan dan pembelajaran, Naya yang bersinggungan di dunia tarik suara dengan genre yang berbeda melupakan fakta tersebut. Reaksi awal ketika Wawan menawarkannya untuk bersorak dan kemudian berakhir pada penolakan memang bisa diterima, namun pasca keputusan berdamai dengan keadaan yang diharapkan membawa rasa di atas, persentasinya tak masuk logika.
Saya paham niatan Monty Tiwa yang menjadikan musik dangdut sebagai panggilan jiwa bagi Naya, pun gerakan instan dan konstan sebagai wujud reaksi tersebut menghasilkan sebuah momen komedik yang ikonik. Fakta tersebut memang tidak bisa diganggu gugat, namun Monty bak melupakan sebuah "proses mengenali" sebagaimana film orsinalnya ditampilkan.
Akibatnya, urgensi pun sulit untuk dirasakan. Kekosongan sebuah proses yang harusnya menjadi aspek krusial pun urung terjadi secara natural. Demikian pula dengan unsur dramanya yang seolah-olah jalan ditempat dan berlaku curang dengan memberdayakan eksploitasi terhadap penyakit sebagai bentuk kemalasan para penulisnya dalam memberikan dampak yang signifikan.
Di luar aspek tersebut, Mendadak Dangdut tampil prima, utamanya dalam membawakan celetukan komedi yang berjasa berkat kepiawan pemainnya dalam menghadirkan improvisasi secara nyata dan mengena. Nama seperti Opie Kumis, Fajar Nugra, Adi Sudirja hingga Keanu Angelo adalah nyawa utama filmnya, bahkan persona mereka mengalahkan sub-plot cerita Naya dan keluarganya. Nama yang disebut terakhir adalah yang paling gemilang, sulit menampik bahwa kealamian Keanu Angelo dalam berkelakar (bahkan di satu adegan, Monty Tiwa membiarkan Keanu untuk mengatrol filmnya dengan respon pemain yang tak berkuasa menahan tawa) adalah alasan banyak orang untuk mengunjungi bioskop.
Mendadak Dangdut memang sengaja didesain secara kekinian dengan mengusung segala pop-culture milik generasi Gen Z, modernisasi seperti ini memang perlu dan seharusnya dilakukan, namun bukan berarti mengalienasi poin positif yang sudah dilakukan film orsinalnya. Sungguh sebuah cela yang seharusnya tidak diterima.
0 komentar:
Posting Komentar