EXHUMA (2024)

 EXHUMA (2024)

Exhuma adalah sebuah fenomena. Kalimat itu pantas disematkan pada film Arahan sutradara sekaligus penulis Jang Jae-hyun (The Priest, Svaha: The Sixth Finger) yang mampu menampilkan kengerian tanpa harus menampilkan penampakan. Pembukanya menegaskan hal itu, pemandangan sederhana berupa jendela pesawat sangat menghantui ketika musik gubahan Kim Tae-seong selalu mengiringi.

Setelahnya kita melihat siapa yang baru saja turun dari pesawat tadi, yakni masing-masing dukun muda bernama Hwa-rim (Kim Go-eun) dan Bong-gil (Lee Do-hyun) yang diminta datang ke Los Angeles atas perintah seorang uang tua, Park Ji-yong (Kim Jae-cheol) yang mengeluhkan perihal kesehatan sang anak. Tentu ada hal yang janggal yang mustahil untuk diselesaikan secara sederhana.

Masalah tadi kemudian memerlukan bantuan seorang ahli feng shui bernama Sang-deok (Choi Min-sik) serta Yeong-geun (Yoo Hae-jin) asisten sekaligus pengurus pemakaman. Keempatnya kemudian bekerja sama untuk melakukan sebuah pemindahan kuburan demi menghindari kutukan. Saya takkan membocorkan banyak plot, karena Exhuma adalah tipikal film yang semakin sedikit anda mengetahui informasi maka semakin besar sebuah kepuasan tersendiri.

Exhuma mencakup beberapa babak yang membuatnya kaya akan subteks dan konteks, namun titik balik bagi horor sebenarnya terdapat di paruh kedua selepas sebuah ritual yang dilaksanakan dengan begitu megah, detail dan kompleks. Dari sini dinamika antar karakter mempunyai sumbangsih yang luar biasa dalam mengundang yang dimainkan secara gemilang. Kim Go-eun melepas citra wanita polos dan baik hati, Park Do-hyun menguarkan sebuah kejantanan, Yoo Hae-jin berjasa dalam menstabilkan laju film dengan sentuhan comic-relief sementara Choi Min-sik adalah seluruh aktor bisa yang tak lekang oleh zaman.

sama dengan yang dirasakan penonton, karakter dalam Exhuma pun melakukan sebuah transformasi tak terduga lewat ketidaktahuan mereka yang nantinya akan mendatangkan sebuah ketakutan terbesar. Korelasi ini terjadi kontuniti seiring Jae-hyun mulai membuka tabir sebenarnya melalui sebuah misteri yang menjadi kekuatan terbesar film ini.

Misterinya terjadi dengan cepat, di mana disebarkan sedari awal entah itu melalui dialog kasual maupun lewat tangkapan gambar yang menghantarkan sebuah analogi maupun metafora yang berkaitan besar dengan sejarah Semenanjung Korea. Pun, ketika Jae-hyun banting setir menampilkan sebuah penampakan, apa yang ditampilkan sangat menakutkan sekaligus brutal. Ini terjadi ketika Exhuma meluangkan waktu untuk bercerita mengenai asal-usul luka lama setelah kuburan terbongkar dan dipindahkan (ini juga merupakan metafora secara tak langsung).

Exhuma pun tampil meyakinkan di beragam lini, termasuk salah satunya lewat permainan kamera lewat tangan dingin seorang Lee Mo-gae (beliau berjasa akan lahirnya horor Korea legendaris, A Tale of Two Sisters) yang selain mampu menampilkan momen menakutkan juga menangkap emosi para karakter secara bersamaan. Salah satu yang paling menonjol adalah pertemuan pertama Hwa-rim dengan sang entitas sebenarnya.

Berlangsung selama 134 menit, rasanya sulit untuk memesann wajah terhadap layar. Tak ada sebuah kebosanan mengikuti perjalanan kisahnya yang kemudian menampilkan dua lini cerita secara bersamaan. Terkait dengannya, mungkin tak semuanya berjalan mulus. Namun, jika Anda mampu mencerna dan meluangkan waktu untuk memahami, mengamati bahkan mencermati, hal tersebut bukan sebuah masalah karena kepuasan akan didapat setelahnya.

Selain menampilkan teror, Exhuma juga menampilkan hukum kausalitas yang sulit terelakkan. Di mana selepas sebuah tragedi, luka lama bernama trauma akan selalu ada mendekat. Konklusinya tidak menutupi hal itu, melainkan memberikan sebuah pemahaman secara universal, bahwa terlepas dari kesulitan (dari penjajahan dan kolonialisme) selalu ada sebuah harapan untuk melanjutkan kehidupan dalam sebuah lembaran baru bernama kebahagiaan.