Jumat, 08 Agustus 2025

KERETA BERDARAH (2024)

 KERETA BERDARAH (2024)

Setelah vakum selama setahun dan terakhir menyutradarai Mumun (2022), Rizal Mantovani kembali ke genre yang membesarkan namanya, yang kali ini membawakan sebuah cerita yang cukup segar dan baru. Kereta Berdarah, sedari trailernya dirilis sudah menawarkan sebuah pengalaman yang berbeda dengan desain hantu unik (lebih dekat ke dunia monster daripada hantu konvensional) yang sudah jadi keunggulan film buatannya. Diatas kertas, filmnya jelas menjanjikan.

Semua berawal dari keputusan Purnama (Hana Malasan) yang mengajak serta sang adik, Kembang (Zara Leola) untuk berlibur ke sebuah resor Sangkara setelah kesembuhannya dari kanker. Untuk mencapai tujuan, mereka menaiki sebuah kereta jalur khusus bersama para penumpang lain dalam peluncuran pertamanya. Purnama dan Kembang adalah penumpang kelas ekonomi, sementara Bupati (Kiki Narendra) bersama sang investor (Yama Carlos) duduk di gerbong paling depan dengan kelas VIP.

Ditulis naskahnya oleh Erwanto Alphadullah (Mangkujiwo, Di Ambang Kematian), Kereta Berdarah turut melontarkan kritik tersembunyi, mulai dari kelas sosial, penyimpangan, kapitalis dan individualis serta muatan bernuansa ekologi. Apa yang ditampilkan Alphadullah jelas layak diapresiasi, meski untuk sampai pada titik tersebut naskah buatannya kurang cakap dalam mengejawantahkan apa yang seharusnya diterapkan.

Saya paham betul tujuan utama filmnya, meski sulit untuk menghindari aturan yang bak sebuah kemalasan karena filmnya menampilkan sampul horor. Kereta dengan tujuan Sangkara memiliki lima gerbong, dan setiap melewati terowongan satu gerbong menghilang. Demikianlah aturan yang diterapkan sang hantu yang seolah-olah patuh terhadap aturan (meski di saat yang bersamaan ini adalah sebuah pisau bermata dua).

Alhasil, teror sesungguhnya berasal ketika kereta melewati sebuah terowongan dan apa yang ditampilkan Rizal adalah bentuk berulang yang sangat mudah diprediksi. Benar, ketika momen tersebut berlangsung, Kereta Berdarah serupa judulnya tak segan untuk menumpahkan darah. Butuh intensitas tinggi dalam menanganinya, dan Rizal masih belum cakap merangkai pengadeganan yang seharusnya dilakukan.

Seperti yang telah saya singgung, desain hantunya adalah sebuah poin plus tersendiri, namun ketika hantu tersebut mulai beraksi tampil seolah tanpa taji, semuanya berlangsung dengan menyeret dan terlalu singkat untuk dinikmati. Terlebih lagi, ketika memasuki paruh ketiga, Kereta Berdarah mulai kelabakan dalam menampilkan sebuah kekacauan.

Konklusinya memang terbilang berani, meski di samping keputusan ini muncul kesan mendadak yang sulit untuk dihindari, termasuk latar belakang karakter utama yang bak sebuah adegan demi menyampaikan pesan sosial dan membuat karakternya lolos dari kejaran. Ketidaksempurnaan yang dimiliki karakternya seolah mengamini keseluruhan Kereta Berdarah yang tersendat akibat potensi yang minim energi dan urung tergali.

0 komentar:

Posting Komentar