Agustus 29, 2025
JAGA POCONG (2018)
Jaga Pocong menandai dua talenta berbakat untuk pertama kali terjun ke ranah horor. 1) Acha Septriasa-yang selama ini kita kenal adalah salah satu aktris terbaik tanah air, terutama saat ia tampil dalam momen dramatis. 2) Hadrah Daeng Ratu-sutradara wanita yang jejak rekam filmnya meliputi dua instalasi Mars Met Venus yang kocak itu, hingga Super Didi sebagai drama keluarga yang tampil baik. Tentu saya bersemangat kala menyaksikan kolaborasi keduanya-yang kemudian surut seketika kala mengetahui jajaran penulis naskahnya yang digawangi oleh Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) berdasar ide Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak). Dari sini letak permasalahnnya!
Acha Septriasa berperan sebagai Suster Mila, sosok suster ekosistem dan penuh prioritas tinggi. Itu terbukti ketika ia meminta sang atasan untuk menangani seorang pasien di rumah-meski waktu jaganya sudah habis. Kicauan burung kedasih menemani perjalanan Mila yang hendak menuju rumah sang pasien. Hadrah Daeng Ratu memulai sebuah petunjuk dengan janji sekaligus dekat dengan masyarakat-yang berasumsi bahwa kehadiran burung tersebut adalah pertanda akan adanya kematian.
Benar saja, setibanya Mila sampai di rumah sang pasien, ia mendapati pasien bernama Sulastri (Jajang C. Noer) sudah meninggal, mempertemukan Mila dengan sang putera semata-mata wayangnya, Radit (Zack Lee)-yang meminta Mila untuk mengurus pemakaman sang ibu-sebelum ia meminta kembali Mila untuk menjaga pocong Sulastri-sementara Radit mengurus pemakaman.
Jaga Pocong menampilkan barisan teror solid yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Proses seperti memandikan, mengafani bahkan meletakkan kapas pada hidung pemakaman kerap kita lakukan (atau lihat). Ini pula yang membuat sajian terornya sedemikian mengerikan, terlebih lagi, Hadrah tahu betul bagaimana membungkus momen tersebut hingga tersaji sarat kengerian.
Hingga seiring durasi bergulir, Jaga Pocong kian berubah 180 derajat-kala naskahnya bak berisi repetisi dan momen malas (atau kosong) dari sang penulis naskah. Sang penulis tidak punya daya untuk membuat mengisi barisan durasi guna menambal kosongnya plot (yang bukan sebuah masalah jika ditangani dengan telaten) yang kemudian melahirkan dialog barisan yang singkat sarat momen bodoh tentunya.
Ya, berbicara terkait sebuah karakterisasi, ia sama sekali tak memiliki sebuah isi bahkan motivasi-yang membuat seorang Acha Septriasa menelan potensi terbesarnya dalam berolah rasa. Setidaknya satu momen yang menampilkan Acha meringis bahkan menangis dapat dimanfaatkan oleh sang sutradara-yang paham betul potensinya-hingga kala sebuah teknik close-up diterapkan tersaji seperti seharusnya-meski sukar menolak melihat sang aktis bak tampil tanpa nyawa kala diperlukan melakoni adegan bodoh (sebutlah menarik kain kafan) sekalipun.
Yang paling terjadi adalah saat barisan dialog-nya yang ditulis oleh seorang anak kecil. Tak terhitung banyaknya Mila yang meneriakan nama Novi (Aqilla Herby), anak Radit yang ikut terjebak dalam serangkaian teror mengerikan di rumah besar nan luas tersebut. Setidaknya, sekali lagi, sang aktris tampil prima dibandingkan para pelakon sejawat yang memerankan protagonis utama film horor dengan tampilan sosok bubur basi sekalipun.
Konklusinya berlangsung proses utama filmnya. Untuk menampilkan pula menghadirkan serangkaian teror pocong yang nihil komparasi dengan tampilan twist utama filmnya. Ini seperti mengambil sebuah jalan penuh rintangan lalu menyerah begitu saja ketika ingin mencapai tujuan. Tak ada kejelasan terkait konklusi pula twist ajaib miliknya selain sebuah kalimat yang diandalkan sebagai jawaban. "Kenapa harus aku?" dan penjelasannya adalah "Ya memang harus kamu!". Baiklah, saya menyerah!.
0 komentar:
Posting Komentar