Agustus 30, 2025
LUKISAN RATU KIDUL (2019)
Lukisan Ratu Kidul-yang digarap oleh Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki) setidaknya menjadi film terbaik Dee Company. Itu-yang saya rasakan saat menikmati separuh durasi awal. Dalam hati saya berkata “Mungkin kali ini Dheeraj Kalwani sudah menemukan formula yang tepat”. Niat baik yang awalnya saya berikan kepada filmnya seketika luntur, kala Lukisan Ratu Kidul mulai menampakkan jati dirinya-yang sebenarnya.
Mengetengahkan kisah seorang kakak beradik, Dimas (Teuku Zacky) dan Satria (Wafda Saifan)-yang menerima sebuah warisan rumah peninggalan mendiang sang ayah. Rumah-yang menjadi tempat masa kecil mereka ini tak memiliki sedikitpun kenangan, bahkan di rumah tersebut-nyaris tak ada foto sekalipun. Bersama Astrid (Ussy Sulistiawaty) istri Dimas, pula ikut memboyong Sandra (Annisa Aurelia) sang buah hati, mereka memutuskan untuk menetap sambil memikirkan langkah selanjutnya.
Ditengah kebingungan yang melanda, datanglah Kevin (Fadika Royandi) menawarkan diri untuk mencarikan pembeli. Dimas-yang tengah dilanda kesulitan finansial untuk menjual rumah tersebut kepada Kevin-yang seorang kolektor lukisan Nyi Roro Kidul (Wawan Wanisar) hasil torehan tangan kakek Dimas, Rusdi Soedibyo (Egi Fedly)-yang percaya mempunyai kekuatan mistis dan percaya dapat mendatangkan keberuntungan bagi siapa saja-yang memilikinya.
Sang kolektor mengaku bahwa dia meminta dibuatkan lukisan oleh Rusdi sebanyak 13 lukisan. Namun, sang kakek baru membuat 12 lukisan. Dia percaya bahwa lukisan ke-13 berada di rumah tersebut, bahkan dia pun berani menawar 8 miliar rupiah untuk dosanya. Dari sini pikiran saya terganggu dengan sebuah pertanyaan: Mengapa Rusdi baru meniupkan kekuatan mistis pada lukisan ketigabelas? Mengapa sang kolektor tak meminta diterapkan kekuatan mistisnya dilukisan sebelumnya? Bukankah hal tersebut akan menghemat durasi pula uang?
Jangan harap pertanyaan tersebut akan menemukan penjelasannya, itu hanyalah akal-akalan Husein M Atmodjo (Midnight Show, 22 Menit, Perjanjian dengan Iblis) guna menggulirkan penceritaan. Mungkin salah saya mengharapkan sebuah kelogisan cerita dari tontonan-yang sejak awal tak memperhatikan logika.
Menuju pertengahan durasi, Lukisan Ratu Kidul semakin menjadi-jadi, mulai dari perpindahan antar-adegan-yang sangat kejam, penceritaan-yang semakin janggal hingga komparasi adegan-yang teramat jomplang. Sangat terasa benar, seolah ada beberapa tembakan-yang menghilang-mengikuti ibu Dimas dan Satria-entah di mana rimbanya.
Meskipun demikian, sensitivitas penyutradaraan Ginanti Rona masih terasa potensinya, sebut saja terkait penempatan jumpscare-yang sesuai timing-meski sosok hantunya sendiri terbilang medioker. Hingga ketika musik scoring garapan Ricky Lionardi (Rectoverso, Danur 2: Maddah, Tembang Lingsir) mengiringi, semuanya rusak sudah. Pasalnya garapan musik Ricky sendiri gemar memahami telinga, bahkan mengalahkan speaker hajatan sekalipun.
Saya masih mengharapkan secercah cahaya dari film ini, hingga kala sebuah twist tiba-tiba hadir-malah semakin merusak filmnya. Twist-yang disajikan secara tiba-tiba itu kembali mengangkat unsur okultisme terhadap Iblis. Lalau dari mana elaborasi terkait misteri Kanjeng Ratu Nyi Ratu Kidul?
Anehnya memang, memasang judul “Ratu Kidul” tanpa memasukkan unsur cerita ke dalamnya. Mungkinkah judulnya sendiri sengaja dipasang demi menarik penonton-kemudian memunculkan twist kembali? Dari sini saya mulai menyerah, dan dengan lantang berkata "TERSERAH!"
0 komentar:
Posting Komentar