Agustus 31, 2025
WOUNDS (2019)
Wounds sebagai film kedua dari sutradara asal Iran, Babak Anvari (Under the Shadows) memiliki muatan ampuh dalam menyulut rasa mengerikan, terutama bagi mereka para pengidap katsaridaphobia (fobia terhadap kecoak), mematenkan filmnya sebagai sebuah sajian horor psikologis, Wounds-yang perlahan bermain dengan sebuah misteri nyatanya berakhir anti-klimaks, menimbulkan sebuah kebingunan tersendiri, terutama karena kurang cakapnya Anvari menghasilkan sebuah konklusi berarti.
Will (Armie Hammer), seorang bartender asal New Orleans menjadi saksi terlibatnya sebuah perkelahian di bar, di mana sang sahabat, Eric (Brad William Henke) mengalami luka parah di pipi. Selepas terjadinya kejadian tersebut, Will menemukan sebuah ponsel yang tertinggal, diduga milik salah satu anggota remaja yang baru saja memesan bir. Ketimbang menyimpannya di bar, Akan alih-alih membawanya pergi lalu ia menemukan kembali pemiliknya
Sesampainya di rumah, Will mendapati sebuah pesan dari ponsel tersebut, berasal dari seseorang bernama Garret-yang menyatakan sebuah pesan ketakutan dan mengirimkan gambar menyeramkan berupa penggalan kepala manusia beserta kecoak yang mengelilinginya. Sang kekasih, Carrie (Dakota Johnson) meminta untuk melapor kepada polisi, namun Will bersikukuh mencari kebenarannya, hingga perlahan tapi pasti, Will mulai mengalami kejanggalan pasca ia memegang ponsel tersebut.
Dari sini, Babak Anvari mulai bermain dengan sebuah gambaran ketidaknyamanan-yang kemudian menyulut sebuah ketegangan terhadap apa yang terjadi. Luka yang tampil memikat berkat mondar-mandir yang senantiasa tertanam, perlahan menghadirkan pemandangan mengerikan pula tanda tanya yang menuntut sebuah jawaban. Keambiguan ini dijaga dengan rapi oleh Anvari, hingga puncaknya menghadirkan sebuah konklusi-yang nyaris tanpa arti.
Bukan sepenuhnya tak berarti, melainkan Anvari kurang cakap dalam menjalankan sebuah penebusan setimpal. Terlebih lagi terkait sebuah ritual gnostisme-yang urung dijelaskan lebih lanjut. Padahal, potensi tersebut akan memberikan sebuah pengetahuan baru pula eksekusi-yang dianggap seru, mengingat kurang terjamahnya aliran sinkretisme dalam sebuah film.
Disadur dari sebuah novel berjudul The Visible Flith buatan Nathan Ballingrud-yang hanya setebal 85 halaman, Anvari yang juga menulis naskahnya mengejawantahkan cerita tersebut dalam durasi 94 menit-yang cukup padat meski terlampau lemah di konklusi. Mungkin Anvari berniat mempertahankan keambiguan yang dimiliki cerita aslinya.
Armie Hammer adalah nyawa film utama ini, ia tampil berjanji dalam membawakan sebuah degradasi ketakutan, pun demikian dengan Dakota Johnson-ditengah screen time sedikit miliknya, sementara kehadiran Zazie Beetz hanya sebatas pelengkap cerita-yang urung dieksploitasi potensinya.
Meski tak se-efektif Under the Shadow dalam mempermainkan perasaan, kepiawaian Anvari dalam menghadirkan sebuah kengerian masih dapat terlihat, meski tak sampai berada pada tahap-yang lebih mendalam. Lukanya memang berkurang, meski tak berarti orang yang kontrolnya hilang sepenuhnya. Saya akan selalu menantikannya untuk mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar