PETAK UMPET
Berdasarkan kisah viral dari kanal YouTube berjudul Diculik Wewe Gombel, Petak Umpet garapan Rizal Mantovani (Jurnalrisa karya Risa Saraswati, Pusaka, Sumala) mempunyai niat baik dalam mengangkat urband legenda yang sangat dekat dengan masyarakat kita yang entah sudah berapa kali diangkat ke medium layar lebar. Itu bukan sebuah persoalan selama sang sineas mampu menghadirkan sebuah perspektif lain dengan catatan-catatan yang ditunjang oleh narasi yang setidaknya terjalin dengan rapi. Permasalahan utama dalam Petak Umpet adalah bahwa filmnya tidak memiliki pondasi yang kuat guna menampilkan versi terbaiknya.
Sesuai judulnya, permainan tradisional menjadi awal sebuah petaka ketika Sari (Alesha Fadhillah) bersembunyi di sebuah rumah besar yang sudah lama terbengkalai. Sebelum Sari melakukan tindakan tersebut, ia sempat mengalami penolakan dari sang Ibu (Putri Ayudya) untuk menemaninya bermain, sementara sang kakak, Rahman (Randy Martin) terpaksa sebatas menuruti keinginan sang ibu untuk menjaga Sari dan fokus bermain gim di ponsel miliknya.
Tak butuh waktu lama hingga Sari menghilang dan urung ditemukan selepas magrib. Tentu hal ini membuat keluarga merasa panik dan bersedih. Rahman yang merasa puas ditemani kedua sahabatnya, Shila (Saskia Chadwick) dan Rinto (Adam Farrel) memutuskan untuk mencari Sari di rumah terbengkalai yang konon melamar oleh Wewe Gombel.
Dikerjakan naskahnya secara keroyokan oleh Nugro Agung, Ali Farighi dan Puji Lestari, Petak Umpet sebatas mengulang formula yang sama tanpa adanya keinginan untuk tampil berbeda. Sebenarnya, keputusan untuk memberikan sesuatu yang berbeda tidak bersifat wajib, namun apa yang dimuat dalam narasi yang terlalu usang untuk diceritakan juga tidak memiliki arti mendesak.
Pengadeganan Rizal Mantovani pun tak sekuat tenaga, ia sebatas membiarkan para karakternya diganggu dan saling mencari satu sama lain. Ketika momen tersebut menunjukkan gigi, skor dengan kadar volume tinggi selalu mengiringi, seolah opsi yang digunakan efektif. Alih-alih rasa takut, rasa bosan dan lelah terlebih dahulu menjemput.
Hal ini tentu disebabkan oleh lemahnya naskah yang tak mampu menopang keseluruhan cerita, hanya menyisakan tumpukan lubang menganga serta cacat logika. Misalnya terkait karakter Rinto, ia digambarkan seolah mempunyai pengetahuan lebih mengenai asal-usul Wewe Gombel hingga mengatakan bahwa jika Sari tidak kembali dalam kurun waktu tiga hari, yang tersisa hanyalah mayatnya saja. Tak ada kejelasan lebih mengenai karakternya, pun penonton tak pernah melihat karakternya untuk sekadar mempunyai keingintahuan yang lebih semisal membaca buku ataupun pernak-pernik dunia mistis.
Beruntung, Petak Umpet setidaknya memiliki wujud makhluk yang cukup berbeda dan menyeramkan, mengingatkan saya akan bentuk The Pale Lady dalam Scary Stories to Tell in the Dark. Sayang, screen-time yang dimiliki sangatlah sedikit, Rizal Mantovani terlalu mengandalkan karakter Bu We (Monique Henry) dalam riasan bak Maleficent setengah jadi.
0 komentar:
Posting Komentar